Bayangkan seekor hewan raksasa berbulu tebal kembali berjalan melintasi hamparan luas tundra beku di Siberia. Kedengarannya seperti adegan dari film fiksi ilmiah, bukan? Tapi kenyataannya, ini adalah proyek nyata yang sedang dijalankan oleh para ilmuwan. Mereka berusaha membawa kembali ke kehidupan mammoth berbulu, sejenis gajah purba raksasa yang telah punah sekitar 4.000 tahun yang lalu.
Proyek ini diinisiasi oleh Colossal Biosciences, sebuah perusahaan bioteknologi yang berbasis di Amerika Serikat. Tujuan mereka adalah “de-extinction” atau penghidupan kembali spesies yang telah punah. Proses ini melibatkan teknologi rekayasa genetika, yaitu teknik untuk mengubah atau menyusun ulang gen makhluk hidup.
Sebagai langkah awal menuju tujuan besar tersebut, para peneliti tidak langsung menciptakan mammoth, melainkan mulai dengan menciptakan tikus berbulu tebal, yang sifat bulunya dimodifikasi agar menyerupai bulu mammoth. Ini adalah tahap percobaan untuk menguji gen-gen yang bertanggung jawab atas pertumbuhan bulu lebat dan ketahanan terhadap cuaca dingin ekstrem.
Apa Itu De-extinction?
De-extinction, atau “penghidupan kembali spesies punah”, adalah upaya ilmiah untuk membawa kembali makhluk hidup yang sudah lama tidak ada di Bumi. Ini bukan berarti membangkitkan hewan yang sudah mati seperti di film-film, melainkan menciptakan makhluk hidup baru yang memiliki sifat-sifat utama dari spesies yang telah punah, dengan bantuan teknologi rekayasa genetika.
Rekayasa genetika sendiri adalah proses mengubah susunan DNA makhluk hidup untuk tujuan tertentu, misalnya untuk menambahkan sifat-sifat baru atau mengembalikan sifat-sifat lama yang telah hilang. Dalam konteks de-extinction, para ilmuwan mengambil potongan DNA dari spesies yang sudah punah, lalu menggabungkannya dengan DNA dari spesies yang masih hidup dan memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat.
Untuk mammoth berbulu, yang punah sekitar ribuan tahun lalu, pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan gajah Asia sebagai “wadah genetik”. Gajah Asia adalah kerabat terdekat mammoth yang masih hidup saat ini. Dengan memasukkan gen-gen penting dari mammoth, seperti gen yang mengatur pertumbuhan bulu tebal, lapisan lemak, dan adaptasi terhadap suhu dingin ke dalam DNA gajah Asia, para ilmuwan berharap dapat menciptakan makhluk yang secara fisik dan perilaku menyerupai mammoth.
Mengapa Tikus?
Banyak orang mungkin bertanya-tanya: mengapa para ilmuwan tidak langsung merekayasa gajah saja agar menjadi seperti mammoth?
Jawabannya melibatkan tiga hal penting, biaya, waktu, dan pertimbangan etika. Gajah, sebagai hewan besar, memiliki masa kehamilan yang sangat panjang, yaitu sekitar 22 bulan, atau hampir dua tahun. Selain itu, gajah biasanya hanya melahirkan satu anak dalam satu kali kehamilan, sehingga proses percobaan akan berjalan sangat lambat dan mahal. Tidak hanya itu, melakukan eksperimen genetik pada hewan besar seperti gajah juga menimbulkan banyak pertanyaan etis, terutama terkait kesejahteraan hewan dan risiko terhadap kehamilan yang gagal atau menyebabkan penderitaan.
Sebaliknya, tikus adalah pilihan ideal untuk tahap awal penelitian. Hewan ini berukuran kecil, bereproduksi dengan sangat cepat, dan sudah lama digunakan sebagai model dalam studi genetik karena kemiripan dasar biologinya dengan mamalia lainnya, termasuk manusia dan gajah. Oleh karena itu, tikus digunakan sebagai semacam “laboratorium hidup” untuk menguji dan mempelajari bagaimana gen-gen mammoth bekerja. Setelah berhasil di tikus, barulah pengetahuan itu bisa diterapkan secara lebih aman dan efektif pada gajah.
Teknologi di Balik Tikus Mammoth
Untuk mewujudkan proyek ambisius ini, para ilmuwan menggunakan alat genetika mutakhir yang dikenal sebagai CRISPR-Cas9. Teknologi ini bisa diibaratkan seperti “gunting molekuler” yang sangat presisi, yang memungkinkan para peneliti untuk memotong, menghapus, menyisipkan, atau mengganti bagian-bagian tertentu dari DNA, kode genetik yang menyusun semua makhluk hidup. Dengan CRISPR-Cas9, para ilmuwan bisa mengatur ulang gen-gen tertentu seolah-olah sedang mengedit dokumen di komputer.
Dalam kasus ini, tim peneliti menargetkan tujuh gen utama yang diyakini memberi mammoth ciri khasnya yang unik dan membantunya bertahan hidup di lingkungan yang sangat dingin seperti tundra Siberia. Tiga sifat utama yang mereka fokuskan antara lain:
- Panjang dan kepadatan bulu, agar hewan tersebut bisa terlindungi dari suhu beku.
- Warna rambut, yang biasanya keemasan atau cokelat tua, mungkin berfungsi untuk kamuflase atau perlindungan dari sinar matahari kutub.
- Struktur metabolisme lemak, yaitu cara tubuh menyimpan dan menggunakan lemak sebagai sumber energi dan penghangat di suhu ekstrem.
Setelah modifikasi gen ini diuji pada tikus, hasilnya cukup mencengangkan: lahirlah tikus-tikus laboratorium dengan bulu panjang, lebat, berwarna keemasan, dan sistem metabolisme yang menyerupai kemampuan adaptasi mammoth terhadap udara dingin. Tikus-tikus ini menjadi bukti awal bahwa kita mungkin benar-benar bisa menghidupkan kembali sebagian karakteristik hewan purba dengan bantuan bioteknologi modern.
Uji Coba dan Hasil Sementara
Dari sekitar 250 embrio tikus yang telah dimodifikasi secara genetik, hanya sebagian kecil yang berhasil berkembang hingga menjadi tikus dewasa dengan bulu yang tebal dan panjang seperti yang diharapkan. Meskipun angka keberhasilannya masih rendah, hasil ini tetap dianggap sebagai kemajuan besar dan sangat menjanjikan dalam dunia bioteknologi. Artinya, para ilmuwan telah membuktikan bahwa gen-gen mammoth bisa berfungsi ketika dipindahkan ke hewan lain.
Langkah berikutnya yang tidak kalah penting adalah mengujicoba kemampuan tikus-tikus ini untuk bertahan hidup di suhu dingin ekstrem. Ini bukan sekadar soal tampilan luarnya yang menyerupai mammoth, tetapi juga soal apakah tubuh mereka benar-benar mampu beradaptasi secara fisiologis, misalnya dengan menjaga suhu tubuh tetap stabil, menyimpan energi lewat lemak tubuh, atau tetap aktif meski lingkungan di sekitarnya sangat dingin. Kemampuan beradaptasi terhadap dingin ini adalah kunci utama jika suatu saat nanti para ilmuwan benar-benar ingin menciptakan hewan mirip mammoth yang bisa hidup di habitat aslinya, seperti tundra Siberia.
Tahapan Menuju Kelahiran Mammoth
Setelah berhasil melakukan percobaan awal pada tikus, Colossal Biosciences berencana melangkah ke tahap yang jauh lebih besar dan kompleks: menciptakan makhluk hidup hibrida yang merupakan gabungan antara gajah Asia dan mammoth berbulu. Tahapan ini melibatkan serangkaian proses bioteknologi yang canggih, dan berikut adalah langkah-langkah utamanya dalam bahasa yang lebih mudah dipahami:
- Mengambil sel telur dari gajah Asia, yaitu spesies gajah yang masih hidup dan merupakan kerabat terdekat mammoth. Sel telur ini akan menjadi “wadah” awal untuk menciptakan kehidupan baru.
- Mengedit DNA di dalam sel telur tersebut menggunakan teknologi CRISPR, yaitu alat pengedit gen yang memungkinkan ilmuwan menambahkan gen-gen mammoth, seperti yang mengatur bulu tebal, metabolisme dingin, dan lainnya ke dalam DNA gajah.
- Menciptakan embrio hibrida, yaitu embrio yang secara genetik merupakan perpaduan antara gajah dan mammoth. Embrio ini diharapkan akan tumbuh menjadi makhluk yang secara fisik dan biologis mirip mammoth, meskipun berasal dari teknologi modern.
- Menanamkan embrio ini ke dalam rahim gajah betina sebagai induk pengganti, atau sebagai alternatif, menempatkannya dalam rahim buatan (artificial womb), sebuah teknologi eksperimental yang memungkinkan embrio berkembang di luar tubuh hewan hidup.
- Menanti kelahiran anak hibrida pertama, yang ditargetkan terjadi pada akhir tahun 2028. Jika berhasil, ini akan menjadi momen bersejarah dalam ilmu pengetahuan dan bioteknologi, karena untuk pertama kalinya manusia mungkin berhasil “menghidupkan kembali” makhluk yang menyerupai hewan prasejarah yang telah lama punah.
Apakah Ini Etis?
Tidak dapat dipungkiri, proyek besar seperti menghidupkan kembali mammoth menimbulkan banyak pertanyaan etis yang serius. Banyak orang, termasuk ilmuwan dan pemerhati lingkungan, mempertanyakan apakah langkah ini benar-benar bijaksana dan bertanggung jawab.
Beberapa pertanyaan yang sering muncul antara lain:
- Apakah etis menghidupkan kembali spesies yang sudah punah? Apakah manusia berhak “memainkan peran sebagai pencipta” hanya karena kita memiliki kemampuan teknologinya?
- Apakah hewan hasil rekayasa ini akan memiliki habitat yang layak? Artinya, apakah ada lingkungan yang cocok bagi mereka untuk hidup dan berkembang, atau justru mereka akan menderita karena tidak cocok dengan dunia modern?
- Apa dampaknya terhadap ekosistem saat ini? Kehadiran spesies baru (atau “spesies yang dihidupkan kembali”) bisa mengganggu keseimbangan alam yang sudah terbentuk, atau bahkan mengancam hewan dan tumbuhan lain yang sudah ada.
Namun, di sisi lain, banyak ilmuwan dan pendukung teknologi ini melihatnya sebagai peluang besar untuk masa depan konservasi. Mereka berpendapat bahwa teknik seperti ini bisa digunakan tidak hanya untuk menghidupkan kembali spesies punah, tetapi juga untuk menyelamatkan spesies langka yang sedang berada di ambang kepunahan. Selain itu, mengembalikan hewan seperti mammoth ke habitat alaminya berpotensi membantu memulihkan ekosistem yang telah rusak akibat ulah manusia. Misalnya, tundra yang semakin gersang akibat perubahan iklim bisa terbantu dengan kehadiran hewan besar yang dulu pernah menjaganya tetap seimbang.
Dengan kata lain, teknologi ini tidak hanya tentang “membawa kembali masa lalu”, tetapi juga bisa menjadi alat penting untuk menjaga masa depan kehidupan di Bumi.
Implikasi Jangka Panjang
Jika proyek untuk “menghidupkan kembali” mammoth ini berhasil, maka kita akan memasuki era baru dalam dunia bioteknologi dan konservasi alam. Keberhasilan ini bukan hanya soal menghadirkan kembali makhluk prasejarah, tetapi membuka jalan bagi berbagai kemungkinan ilmiah yang sebelumnya hanya bisa dibayangkan dalam fiksi.
Teknologi yang digunakan dalam proyek ini memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan dalam berbagai bidang, antara lain:
- Mencegah kepunahan spesies langka. Dengan teknik pengeditan gen seperti CRISPR, ilmuwan bisa membantu menyelamatkan hewan-hewan yang saat ini hampir punah, seperti badak putih utara atau harimau Siberia, dengan memperkuat gen mereka agar lebih tahan terhadap penyakit atau perubahan lingkungan.
- Memperdalam pemahaman kita tentang evolusi dan genetika. Melalui proses menggabungkan dan mempelajari DNA dari spesies kuno dan modern, ilmuwan dapat mengetahui bagaimana makhluk hidup berubah dan beradaptasi selama jutaan tahun, serta bagaimana gen tertentu memengaruhi bentuk tubuh, perilaku, dan kemampuan bertahan hidup.
- Mengembangkan solusi berbasis biologi untuk menghadapi perubahan iklim. Salah satu contoh nyata adalah menciptakan hewan yang lebih tahan terhadap cuaca ekstrem, seperti dingin atau panas berlebihan. Ini bisa sangat berguna dalam menghadapi dunia yang semakin tidak stabil akibat pemanasan global, terutama dalam menjaga keseimbangan alam dan membantu ekosistem tetap hidup.
Singkatnya, keberhasilan proyek ini bisa menjadi batu loncatan untuk menjawab tantangan besar di masa depan, baik dalam menyelamatkan keanekaragaman hayati maupun dalam menyesuaikan kehidupan di Bumi dengan kondisi iklim yang terus berubah.
Menciptakan tikus dengan bulu yang tebal dan lebat bukanlah sekadar eksperimen aneh yang dilakukan ilmuwan di laboratorium. Di balik tampaknya yang sederhana, percobaan ini sebenarnya adalah langkah awal dari sebuah terobosan besar dalam bidang rekayasa genetika, cabang ilmu biologi yang memungkinkan manusia mengubah atau menyusun ulang materi genetik (DNA) makhluk hidup. Penemuan ini dapat membuka cara pandang baru tentang bagaimana kehidupan terbentuk, bagaimana kematian terjadi, dan bahkan bagaimana kita bisa mempengaruhi masa depan makhluk hidup di Bumi, termasuk kemungkinan menghidupkan kembali hewan yang telah lama punah.
Bayangkan seekor mammoth, kerabat gajah berbulu tebal dari zaman es, berjalan kembali di hamparan salju Siberia. Mungkinkah kita benar-benar melihat itu terjadi dalam waktu hidup kita? Mungkin saja. Tapi yang jelas, sains dan teknologi telah membawa kita lebih dekat ke masa depan yang dulu hanya bisa kita lihat dalam film-film fiksi ilmiah. Sekarang, hal-hal yang dulu dianggap mustahil sedang menjadi kenyataan berkat kemajuan ilmu pengetahuan.
REFERENSI:
Chen, Rui dkk. 2025. Multiplex-edited mice recapitulate woolly mammoth hair phenotypes. bioRxiv, 2025.03. 03.641227.
Davies, Kevin. 2025. CRISPR-Cas9 Techniques: Strategies for the Laboratory and the Classroom. Introduction to CRISPR-Cas9 Techniques: Strategies for the Laboratory and the Classroom, 3-9.