Kisah dan Penjelasan Peraih Nobel Kimia 2023: Penemuan dan Sintesis Quantum Dots

Moungi G. Bawendi, Louis E. Brus, dan Aleksey Yekimov telah dianugerahi Hadiah Nobel Kimia tahun 2023 atas penemuan dan pengembangan quantum dots. Quantum dots adalah partikel-partikel kecil yang memiliki sifat khusus yang memungkinkannya untuk digunakan dalam berbagai aplikasi teknologi canggih.

Nobel kimia 2023

Moungi G. Bawendi, Louis E. Brus, dan Aleksey Yekimov telah dianugerahi Hadiah Nobel Kimia tahun 2023 atas penemuan dan pengembangan quantum dots. Quantum dots adalah partikel-partikel kecil yang memiliki sifat khusus yang memungkinkannya untuk digunakan dalam berbagai aplikasi teknologi canggih. Seiring waktu, quantum dots telah menjadi komponen vital dalam teknologi layar televisi dan lampu LED. Teknologi tersebut bukan hanya memancarkan cahaya, tetapi juga dapat mengkatalisis reaksi kimia, sebuah kemampuan yang sangat bernilai dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu aplikasi yang paling menjanjikan adalah kemampuan quantum dots untuk memberikan cahaya yang jernih, sehingga dapat digunakan untuk menerangi jaringan tumor selama prosedur bedah, membantu para dokter dalam mengidentifikasi dan mengangkat tumor dengan lebih akurat.

Inovasi dalam Nanoteknologi: Penambahan Dimensi Warna

Di film klasik The Wizard of Oz, terdapat kutipan ikonis yang mengatakan, “Toto, aku merasa kita tidak lagi berada di Kansas.” Ketika Dorothy yang berusia dua belas tahun melihat rumahnya dihantam tornado kuat, ia terjatuh pingsan ke tempat tidurnya. Namun, saat rumahnya akhirnya mendarat, dan ia membuka pintu untuk keluar, memeluk erat anjing kesayangannya, Toto, segalanya tiba-tiba berubah. Dorothy menemukan dirinya berada di dunia yang penuh keajaiban, berwarna-warni, dan penuh warna.

Bayangkan jika ada tornado ajaib yang menyapu ke dalam kehidupan kita dan menyusutkan segalanya ke ukuran nanometer (1×10-9 m). Kita pasti akan terkejut sebagaimana Dorothy di negeri Oz. Seketika, lingkungan sekitar kita akan menjadi penuh warna yang menyilaukan, dan segala sesuatu akan berubah secara drastis. Misalnya, anting-anting emas kita akan berkilau biru, sedangkan cincin emas di jari kita akan berpendar merah ruby. Intinya adalah pada ukuran nanometer, warna suatu objek dapat berubah-ubah bergantung pada parameter atau kondisi yang ditetapkan ilmuwan.

blank
Gambar 1. Quantum dots memberikan peluang baru bagi kita untuk menciptakan cahaya berwarna. Kredit gambar: Johan Jarnestad/The Royal Swedish Academy of Sciences.

Signifikansi Ukuran: Menjelajahi Dunia Skala Nano

Di dunia nano, perilaku materi benar-benar berbeda. Ketika ukurannya mulai diukur dalam jutaan bagian dari satu milimeter, fenomena yang tak lazim mulai muncul—disebut efek kuantum—yang membuat kita terheran-heran. Para penerima Hadiah Nobel Kimia tahun 2023 telah menjadi pelopor dalam menjelajahi dunia nano ini. Pada awal tahun 1980-an, Louis Brus dan Aleksey Yekimov berhasil menciptakan, secara mandiri, partikel-partikel nano yang disebut quantum dots, yang begitu kecil sehingga efek-efek kuantum memengaruhi sifat-sifatnya. Kemudian, pada tahun 1993, Moungi Bawendi mengubah cara pembuatan quantum dots, meningkatkan kualitasnya secara signifikan—hal ini menjadi syarat penting untuk penggunaannya dalam berbagai aplikasi nanoteknologi saat ini.

Berkat penelitian para penerima hadiah Nobel, umat manusia saat ini dapat memanfaatkan beberapa sifat khas dunia nano ini. Quantum dots kini telah menjadi bagian dari produk-produk komersial dan digunakan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, mulai dari fisika dan kimia hingga kedokteran. Namun, mari kita kembali sejenak untuk memahami latar belakang pemberian Hadiah Nobel Kimia tahun 2023 ini.

blank
Gambar 2. Sebuah quantum dot adalah kristal yang seringkali terdiri dari hanya beberapa ribu atom. Dalam hal ukuran, hubungannya sama dengan sebuah bola sepak dengan ukuran bola sepak terhadap ukuran Bumi. Kredit gambar: Johan Jarnestad/The Royal Swedish Academy of Sciences.

Menerawang Prediksi: Fenomena Kuantum di Dunia Nano

Ketika Aleksey Yekimov dan Louis Brus berhasil menciptakan quantum dots pertama, para ilmuwan telah memiliki pemahaman bahwa partikel-partikel ini, dalam teori, mungkin memiliki sifat yang tidak biasa. Pada tahun 1937, seorang fisikawan bernama Herbert Fröhlich telah meramalkan bahwa nanopartikel tidak akan menunjukkan perilaku yang sama seperti partikel lainnya. Nanopartikel akan terdapak dari konsekuensi teoritis persamaan Schrödinger yang terkenal, yang menjelaskan bahwa ketika partikel menjadi sangat kecil, ruang untuk elektron dalam material tersebut menjadi semakin terbatas. Dalam kondisi ini, elektron—yang bersifat baik sebagai gelombang maupun partikel—menjadi terdesak. Fröhlich menyadari bahwa hal ini akan menyebabkan perubahan yang signifikan pada sifat-sifat materi tersebut.

Penemuan Fröhlich menarik perhatian para peneliti, dan dengan menggunakan matematika, mereka berhasil meramalkan berbagai efek kuantum yang bergantung pada ukuran. Namun, upaya untuk membuktikannya dalam eksperimen nyata menjadi tantangan tersendiri karena mereka harus menciptakan struktur yang jauh lebih kecil dari kepala jarum, yakni sekitar jutaan kali lebih kecil.

Redefinisi Harapan: Mencapai Manfaat dari Efek Kuantum

Meskipun di tahun 1970-an, peneliti berhasil menciptakan struktur nano tersebut, pencapaian itu tidak datang dengan mudah. Mereka menggunakan jenis aliran molekular untuk membentuk lapisan tipis nano dari bahan pelapis di atas material yang lebih besar. Setelah proses perakitan selesai, mereka dapat menunjukkan bahwa sifat optik lapisan tersebut berubah tergantung pada ketebalannya, sebuah pengamatan yang sejalan dengan apa yang telah diprediksi oleh mekanika kuantum.

Meskipun penemuan ini merupakan terobosan besar, namun eksperimen ini membutuhkan teknologi yang sangat maju. Para peneliti harus menciptakan lingkungan vakum yang sangat tinggi dan menjaga suhu mendekati nol mutlak, hal ini membuat sedikit orang yang berpikir bahwa fenomena mekanika kuantum belu bisa dimanfaatkan secara praktis. Tetapi, seperti biasa, dunia ilmiah kadang memberikan kejutan yang tak terduga. Kali ini, titik baliknya berasal dari penelitian tentang sebuah penemuan kuno: kaca berwarna.

Beragam Warna dari Satu Bahan: Rahasia Kaca Berwarna

Temuan arkeologis terkait kaca berwarna tertua yang ditemukan berasal dari ribuan tahun lalu. Selama berabad-abad, para ahli pembuat kaca telah melakukan percobaan untuk memahami proses pembuatan kaca dengan berbagai warna yang mencakup spektrum lengkap dari warna pelangi. Mereka mencoba menambahkan bahan-bahan seperti perak, emas, dan kadmium ke dalam campuran, kemudian mengatur suhu pembakaran dengan berbagai cara untuk menciptakan warna-warna yang indah pada kaca.

Kemudian, pada abad kesembilan belas dan dua puluh, ketika para ilmuwan fisika mulai menggali lebih dalam sifat-sifat cahaya, pengetahuan yang telah dikembangkan oleh para pembuat kaca menjadi sangat berharga. Para fisikawan mulai menggunakan kaca berwarna untuk menyaring panjang gelombang cahaya tertentu dalam eksperimen-optik mereka. Untuk mengoptimalkan eksperimen, para ilmuwan bahkan mulai memproduksi kaca sendiri, yang membawa pengertian yang lebih dalam tentang sifat-sifat kaca itu sendiri. Salah satu temuan penting yang ilmuwan dapati adalah bahwa dengan menggunakan satu jenis bahan saja, kaca bisa memiliki warna yang sangat beragam. Sebagai contoh, campuran antara kadmium selenida dan kadmium sulfida dapat menghasilkan kaca berwarna kuning atau merah—tergantung pada suhu pembakaran dan proses pendinginannya. Akhirnya, para ilmuwan juga berhasil menunjukkan bahwa warna pada kaca berasal dari partikel-partikel yang terbentuk di dalamnya, dan warna yang dihasilkan tergantung pada ukuran partikel tersebut.

Pada akhir tahun 1970-an, ketika salah satu penerima Nobel tahun 2023 ini, Aleksey Yekimov, baru saja menyelesaikan gelar doktoralnya, ia memulai karirnya di Institut Optik Negara S. I. Vavilov di Uni Soviet.

Menapak Jejak Kekayaan Warna: Eksplorasi Aleksey Yekimov pada Kaca Berwarna

Fenomena bahwa satu bahan dapat menghasilkan kaca dengan warna yang berbeda menarik perhatian Aleksey Yekimov karena kelihatannya tidak masuk akal. Biasanya, jika kita menggunakan pewarna merah kadmium untuk melukis, warnanya akan tetap merah kadmium, kecuali jika kita mencampurnya dengan pigmen lain. Namun, bagaimana bisa satu bahan saja memberikan kaca dengan warna yang beragam?

Selama studi doktoralnya, Yekimov fokus pada semikonduktor—komponen penting dalam teknologi mikroelektronika. Di dalam bidang ini, metode optik digunakan sebagai metode untuk mengevaluasi kualitas material semikonduktor. Para peneliti menyinari material dengan cahaya dan mengukur seberapa banyak cahaya yang diserap. Hal ini membantu ilmuwan untuk mengetahui bahan apa yang digunakan dalam material tersebut dan seberapa teratur struktur kristalnya.

Yekimov sudah familiar dengan metode-metode ini, sehingga ia mulai menggunakannya untuk mempelajari kaca berwarna. Setelah beberapa percobaan awal, ia memutuskan untuk secara sistematis menciptakan kaca yang diwarnai dengan tembaga klorida. Yekimov memanaskan kaca cair pada rentang suhu antara 500°C dan 700°C, dengan memvariasikan waktu pemanasan dari 1 jam hingga 96 jam. Setelah kaca mendingin dan mengeras, ia melakukan analisis dengan sinar-X. Hasil analisis menunjukkan bahwa kristal-kristal kecil dari klorida tembaga terbentuk di dalam kaca, dan proses pembuatan kaca mempengaruhi ukuran partikel ini. Pada beberapa sampel kaca, partikel tersebut hanya memiliki ukuran sekitar dua nanometer, sementara pada sampel lainnya, ukurannya bisa mencapai 30 nanometer.

Menariknya, ternyata absorpsi cahaya oleh kaca dipengaruhi oleh ukuran partikel tersebut. Partikel yang lebih besar memantulkan cahaya dengan cara yang sama seperti klorida tembaga pada umumnya (berwarna kuning), tetapi semakin kecil ukuran partikelnya, semakin banyak cahaya biru yang dipancarkan/dipantulkan. Sebagai fisikawan, Yekimov telah memahami prinsip-prinsip dasar mekanika kuantum, dan dengan cepat menyadari bahwa apa yang ia amati adalah sebuah efek kuantum yang bergantung pada ukuran partikel sebagaimana dijelaskan pada Gambar 3.

blank
Gambar 3. Efek kuantum muncul ketika partikel menyusut. Kredit gambar: Johan Jarnestad/The Royal Swedish Academy of Sciences.

Ini merupakan pencapaian pertama dalam sejarah di mana seseorang berhasil dengan sengaja menciptakan quantum dots—nanopartikel yang memunculkan efek kuantum yang bergantung pada ukuran. Pada tahun 1981, Yekimov membagikan penemuannya melalui sebuah jurnal ilmiah di Uni Soviet, tetapi akses terhadap publikasi tersebut sulit bagi peneliti di luar wilayah tersebut. Sehingga pada tahun 1983, ketika Louis Brus, penerima Hadiah Nobel Kimia berikutnya, menemukan efek kuantum yang bergantung pada ukuran pada partikel yang melayang bebas dalam larutan, ia tidak menyadari penemuan Aleksey Yekimov.

Mengungkap Rahasia Partikel: Penemuan Brus tentang Efek Kuantum

Louis Brus bekerja di Laboratorium Bell di Amerika Serikat dengan tujuan jangka panjang untuk memanfaatkan energi matahari untuk keperluan reaksi kimia. Untuk mencapai tujuan ini, ia menggunakan partikel-partikel sulfida kadmium yang mampu menangkap cahaya dan menggunakan energinya untuk menggerakkan reaksi kimia. Partikel-partikel ini berada dalam larutan, dan Brus memilih untuk membuatnya sangat kecil agar memiliki area permukaan yang lebih besar di mana reaksi kimia dapat terjadi dengan lebih efektif. Dia menyadari bahwa semakin banyak suatu material dipecah-pecah, semakin besar luas permukaannya dan memungkinkan reaksi kimia yang lebih efisien.

Saat bekerja dengan partikel-partikel kecil ini, Brus menemukan sebuah fenomena menarik—sifat optiknya berubah setelah ditinggalkan di atas meja laboratorium untuk sementara waktu. Ia menduga bahwa perubahan ini bisa disebabkan oleh “pertumbuhan” partikel. Untuk memastikan teorinya, ia sengaja membuat partikel-partikel sulfida kadmium dengan diameter sekitar 4,5 nanometer dan membandingkannya dengan partikel yang lebih besar, sekitar 12,5 nanometer. Hasilnya mengejutkan: partikel yang lebih kecil menyerap cahaya dengan panjang gelombang yang lebih biru dibandingkan dengan partikel yang lebih besar (lihat gambar 3).

Seperti yang ditemukan Yekimov sebelumnya, Brus menyadari bahwa ini adalah efek kuantum yang bergantung pada ukuran. Penemuannya ini, yang dipublikasikan pada tahun 1983, memicu minatnya untuk mempelajari partikel-partikel yang terbuat dari bahan lainnya. Dan polanya tetap sama: semakin kecil partikelnya, semakin biru cahaya yang mereka serap.

Evolusi Tabel Periodik: Menjelajahi Dimensi Baru

Anda mungkin bertanya-tanya, “Mengapa hal itu penting jika suatu zat menyerap sedikit lebih banyak cahaya biru? Apa yang begitu istimewa tentang itu?”

Nah, perubahan-perubahan optik ini sebenarnya mengindikasikan bahwa sifat-sifat suatu zat telah berubah secara keseluruhan. Sifat optik zat dipengaruhi oleh pergerakan elektron di dalamnya. Elektron-elektron ini juga bertanggung jawab atas sifat-sifat lain dari zat tersebut, seperti kemampuannya untuk mengkatalisis reaksi kimia atau menghantarkan listrik. Jadi, ketika para peneliti melihat adanya perubahan penyerapan cahaya, mereka menyadari bahwa pada dasarnya mereka tengah mengamati suatu bahan yang benar-benar baru.

Untuk memahami betapa besarnya temuan ini, Anda bisa membayangkan bahwa tabel periodik—yang biasanya hanya terdiri dari dua dimensi—tiba-tiba diperkaya dengan dimensi ketiga. Unsur-unsur kimia tidak hanya dipengaruhi oleh seberapa banyak lapisan elektron yang dimiliki dan berapa banyak elektron yang ada di lapisan terluar, tetapi, pada skala nano, ukuran juga menjadi faktor penting. Hal ini memberikan kemungkinan baru bagi para ahli kimia untuk merancang dan mengembangkan bahan-bahan inovatif—tentu saja, hal ini sangat menggairahkan para peneliti!

Namun, di tengah antusiasme ini, terdapat satu kendala yang harus dihadapi. Metode yang digunakan Louis Brus untuk menciptakan nanopartikel umumnya menghasilkan kualitas yang sulit diprediksi. Quantum dots, yang merupakan kristal-kristal kecil, seringkali memiliki cacat dan ukuran yang bervariasi. Meskipun mungkin untuk mengendalikan pembentukan kristal untuk mendapatkan ukuran rata-rata yang diinginkan, mengurutkan partikel-partikel tersebut setelah pembuatan menjadi tantangan tersendiri yang menghambat kemajuan dalam pengembangan teknologi ini.

Revolusi dalam Produksi Quantum Dots oleh Moungi Bawendi

Inilah tantangan yang diputuskan untuk dipecahkan oleh penerima Penghargaan Nobel Kimia ketiga tahun 2023 ini. Moungi Bawendi memulai pelatihan pascadoktoralnya di laboratorium Louis Brus pada tahun 1988, tempat upaya intensif sedang dilakukan untuk meningkatkan metode produksi quantum dots. Dengan berbagai percobaan menggunakan berbagai pelarut, suhu, dan teknik, mereka berusaha mencari solusi untuk membentuk nanokristal yang teratur. Meskipun terjadi kemajuan, namun kualitas kristal-kristal yang dihasilkan belum mencukupi.

Namun, Bawendi tidak menyerah. Ketika ia mulai bekerja sebagai pemimpin penelitian di Massachusetts Institute of Technology, MIT, upaya terus dilakukan untuk menghasilkan nanopartikel berkualitas tinggi. Terobosan besar terjadi pada tahun 1993, ketika kelompok peneliti memutuskan untuk menyuntikkan zat-zat yang akan membentuk nanokristal ke dalam pelarut yang dipanaskan dengan hati-hati. Mereka menyuntikkan jumlah zat yang cukup untuk menyaturasi larutan dengan tepat, yang menyebabkan embrio kristal yang sangat kecil mulai terbentuk secara bersamaan (lihat gambar 4).

blank
Gambar 4. Proses Produksi Quantum Dots oleh Moungi Bawendi. Kredit gambar: Johan Jarnestad/The Royal Swedish Academy of Sciences.

Kemudian, dengan mengubah suhu larutan secara dinamis, Moungi Bawendi bersama kelompok penelitinya berhasil menghasilkan nanokristal dengan ukuran yang spesifik. Selama proses ini, pelarut membantu memberikan permukaan yang mulus dan merata pada kristal-kristal tersebut.

Hasil nanokristal yang dibuat oleh Bawendi hampir sempurna, sehingga menghasilkan efek kuantum yang jelas. Metode produksi yang mudah digunakan ini membawa revolusi dalam bidangnya—semakin banyak ahli kimia yang tertarik untuk bekerja dengan nanoteknologi dan mulai menyelidiki sifat-sifat unik dari quantum dots.

Penggunaan Komersial dari Quantum Dots

Tiga puluh tahun kemudian, quantum dots telah menjadi bagian yang sangat penting dalam alat-alat nanoteknologi dan telah merambah ke produk-produk yang kita gunakan sehari-hari. Para peneliti telah menggunakan quantum dots terutama untuk menghasilkan cahaya berwarna. Ketika quantum dots diberi cahaya biru, mereka menyerap cahaya tersebut dan memancarkan warna yang berbeda. Dengan mengubah ukuran partikel, kita dapat mengendalikan warna yang dihasilkan oleh quantum dots tersebut.

Sifat-sifat bercahaya dari quantum dots ini telah dimanfaatkan dalam teknologi layar komputer dan televisi yang menggunakan teknologi QLED, di mana huruf ‘Q’ merujuk pada quantum dot. Dalam teknologi ini, cahaya biru dihasilkan menggunakan dioda yang sangat efisien secara energi, yang telah diakui dengan Penghargaan Nobel dalam bidang Fisika pada tahun 2014. Quantum dots digunakan untuk mengubah warna dari sebagian cahaya biru tersebut, sehingga memungkinkan untuk menghasilkan tiga warna primer yang dibutuhkan dalam layar televisi.

Selain itu, quantum dots juga digunakan dalam beberapa lampu LED untuk mengatur kecerahan cahaya dari dioda tersebut. Dengan demikian, kita bisa mendapatkan cahaya yang segar seperti cahaya matahari atau yang lebih menenangkan seperti cahaya hangat dari lampu yang diredupkan. Penggunaan quantum dots dalam bidang biokimia dan kedokteran juga telah dimulai. Para peneliti menggunakan quantum dots untuk melacak sel dan organ, sementara para dokter menginvestigasi potensi penggunaan quantum dots untuk mendeteksi jaringan tumor dalam tubuh.

Semua ini menunjukkan bahwa quantum dots membawa manfaat yang besar bagi manusia, dan kita baru saja menyentuh permukaan dari potensi yang mereka miliki. Para peneliti percaya bahwa di masa depan, quantum dots dapat memberikan kontribusi besar dalam pengembangan teknologi elektronik yang fleksibel, sensor-sensor yang sangat kecil, serta sel surya yang lebih efisien. Namun, masih banyak yang perlu dipelajari tentang fenomena kuantum yang menakjubkan ini. Jika ada seorang anak seperti Dorothy yang mencari petualangan, dunia nanoteknologi memberikan banyak peluang dan keajaiban yang menunggu untuk dijelajahi.

Referensi:

[1] https://www.nobelprize.org/prizes/chemistry/2023/popular-information/ diakses pada 23 Maret 2023

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *