Dalam tinjauan antariksa, bumi merupakan suatu planet yang berada di tata surya bersama dengan planet-planet dan benda tata surya lainnya. Lingkungan tata surya di sekitar bumi dinamakan lingkungan antariksa. Lingkungan antariksa merupakan medium antarplanet di sekitar bumi, terutama di antara bumi dan matahari. Oleh karena itu, lingkungan antariksa sangat terkait dengan cuaca antariksa yang digerakkan oleh aktivitas matahari dan dinamika magnetosfer.
Secara umum, lingkungan antariksa dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu lingkungan netral, lingkungan plasma, lingkungan radiasi, dan lingkungan partikular. Orbit satelit biasanya berada di wilayah magnetosfer. Kondisi ekstrem di lingkungan antariksa akan berpengaruh pada orbit serta operasi satelit.
Secara garis besar, radionuklida alamiah yang ada di sekeliling kita dapat dikelompokkan menjadi radionuklida primordial dan radionuklida kosmogenik. Radionuklida primordial adalah radionuklida yang terbentuk di permukaan bumi, sedangkan radionuklida kosmogenik terbentuk karena adanya interaksi nuklir antara radiasi kosmis dari angkasa luar dengan atom-atom yang ada di atmosfer bumi.
Radiasi dari luar angkasa yang paling penting untuk diketahui adalah radiasi kosmis. Hasil studi menunjukkan bahwa radiasi dari luar angkasa terdiri dari dua, yaitu radiasi kosmis primer dan sekunder.
Radiasi kosmis primer dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu radiasi kosmis galaksi, radiasi yang terperangkap dalam medan magnet bumi, dan radiasi kosmis dari matahari. Sinar kosmis galaksi berasal dari luar sistem tata surya dan sebagian besar berupa partikel bermuatan positif. Radiasi tersebut berupa energi yang dipancarkan oleh bintang-bintang yang ada di alam raya, dapat juga berasal dari ledakan supernova yang terjadi di angkasa luar yang jaraknya puluhan tahun cahaya dari bumi. Hasil studi menunjukkan bahwa di luar atmosfer bumi sinar kosmis terdiri atas radiasi dalam bentuk proton (87%), partikel-α (12%) dan lain-lainnya (1%).
Tidak semua radiasi kosmis primer dapat mencapai bumi. Pada saat partikel bermuatan listrik tersebut mendekati bumi, sebagian sinar tersebut ada yang terperangkap oleh medan magnet bumi. Kira-kira 30% dari sinar kosmis primer tertangkap oleh medan magnet bumi dan membentuk sabuk radiasi. Radiasi yang terperangkap oleh medan magnet bumi membentuk dua sabuk radiasi, yaitu elektron dan proton yang dapat diamati pada tempat yang sangat tinggi.
Elektron dan proton yang bermuatan kecil yang dapat merusak satelit dan mengubah ozon telah mengungkapkan beberapa misteri mereka kepada para ilmuwan dari Univesity of Otago.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Geophysical Research Letters, kelompok ilmuwan dari University of Otago mengamati partikel bermuatan yang berinteraksi dengan sejenis gelombang radio yang disebut ‘EMIC’, yaitu gelombang yang dihasilkan di sabuk radiasi bumi (cincin yang partikel bermuatan tak terlihat yang mengorbit bumi).
EMIC merupakan singkatan dari Electromagnetic Ion Cyclotron, atau gelombang siklotron ion elektromagnetik adalah jenis gelombang dengan frekuensi yang sangat rendah. Gelombang elektromagnetik ini biasa ditemukan di dalam sabuk radiasi bumi. Walaupun telah lama diketahui bahwa gelombang ini mampu mengeluarkan elektron energik sabuk dan atmosfer bumi, batas energi interaksi ini masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Dalam penelitian tersebut, para peneliti menggabungkan banyak data dari detektor elektron yang diberikan oleh beberapa satelit GPS untuk menyelidiki secara statistik efek dari gelombang EMIC pada populasi elektron di sabuk radiasi.
Para peneliti menunjukkan bahwa gelombang EMIC ini memang benar mampu menyebabkan penurunan populasi elektron yang signifikan pada energi yang jauh lebih rendah dari yang sebelumnya dianggap mungkin. Hasil ini memiliki konsekuensi yang penting tidak hanya untuk model bagaimana populasi elektron sabuk radiasi berubah dari waktu ke waktu, tetapi juga untuk memahami bagaimana gelombang EMIC terkait dengan perubahan kimia di atmosfer Bumi.
Penulis utama, yaitu Dr Aaron Hendry, dari Department of Physics, University of Otago mengatakan bahwa penting untuk memahami bagaimana pengaruh gelombang ini terhadap sabuk radiasi bumi–yang diisi dengan satelit-satelit mahal dan penting–dan iklim bumi.
“Mirip seperti atmosfer bumi, magnetosfer bumi–wilayah di sekitar bumi dimana medan magnet kita lebih kuat dibandingkan matahari–terkadang mengalami ‘badai’ yang kuat, atau periode aktivitas yang tinggi. Badai ini dapat menyebabkan perubahan signifikan pada jumlah partikel di sabuk radiasi dan bisa mempercepat beberapa di antaranya ke kecepatan yang sangat tinggi, menjadikannya berbahaya bagi satelit kita. Mengetahui berapa banyak jumlah partikel ini, serta seberapa cepat pergerakannya, sangat penting bagi, sehingga kita dapat memastikan satelit tetap bekerja.”
“Aktivitas di dalam sabuk radiasi kadang dapat menyebabkan orbit partikel-partikel ini berubah. Jika perubahan ini menjadikan partikel cukup rendah untuk mencapai atmosfer bagian atas bumi, mereka dapat mengenai udara padat, kehilangan semua energi mereka, kemudian jatuh dari orbit.”
Gelombang EMIC diketahui dapat menyebabkan perubahan tersebut dan mendorong hilangnya partikel dari sabuk radiasi. Selain menyebabkan tampilan cahaya yang indah, yang kita kenal sebagai aurora, hujan partikel-partikel ini juga dapat menyebabkan perubahan kimia kompleks ke atmosfer bagian atas yang dapat menyebabkan perubahan kecil tapi penting, perubahan jumlah ozon yang ada di atmosfer.
“Meskipun perubahan ini kecil, memahami bahwa mereka sangat penting untuk memahami dengan benar bagaimana kimia atmosfer bekerja, bagaimana atmosfer berubah dari waktu ke waktu, dan bagaimana dampaknya terhadap iklim,” Kata Dr. Hendry.
Untuk studi terbaru mereka, para peneliti menggunakan data dari satelit GPS untuk melihat berapa banyak elektron yang dapat gelombang EMIC hantamkan ke atmosfer bumi.
Aturan umum dalam sabuk radiasi adalah pada kecepatan yang lebih lambat, Anda memiliki lebih banyak elektron. Jadi, jika kecepatan minimum dari interaksi gelombang EMIC diturunkan, ada lebih banyak elektron di sekitar untuk berinteraksi dengan gelombang.
Dengan melihat data dari satelit yang memantau berapa banyak elektron yang ada di sabuk radiasi dan seberapa cepat mereka, para peneliti mampu menunjukkan bahwa seberapa banyak elektron pada sabuk radiasi yang turun secara signifikan ketika gelombang EMIC ada.
“Yang menarik, kami juga melihat perubahan jumlah elektron dengan kecepatan yang jauh lebih rendah daripada kecepatan minimum yang ‘diterima’ saat ini. Ini berarti EMIC dapat memengaruhi jumlah elektron yang jauh lebih besar dibandingkan yang sebelumnya kami pikir mungkin. Jelas, kami perlu memikirkan kembali bagaimana memodelkan interaksi ini, dan dampaknya pada sabuk radiasi. Ada banyak elektron di sabuk radiasi, sehingga dapat menumbuk cukup banyak dari mereka ke atmosfer untuk membuat perubahan nyata yang luar biasa.
“Ini menunjukkan bahwa kita perlu mempertimbangkan gelombang EMIC ini ketika kita berpikir tentang bagaimana sabuk radiasi berubah seiring waktu, dan bagaimana perubahan pada sabuk radiasi ini memengaruhi iklim di Bumi.”
Dr. Hendry mengatakan dampak dari elektron yang digerakkan oleh EMIC pada kimia atmosfer saat ini tidak dimasukkan oleh model iklim utama, yang mencoba memprediksi bagaimana iklim di bumi akan berubah seiring berjalannya waktu, jadi pastikan bahwa proses ini dipahami dan dimasukkan ke dalam model ini sangat penting.
“Perubahannya sangat kecil dibandingkan dengan hal-hal seperti dampak manusia terhadap iklim, tapi kita perlu untuk memahami keseluruhan gambar untuk memahami dengan baik bagaimana semuanya cocok satu sama lain.”
Referensi:
[1] A.T Hendry, C. J. Rodger, M.A. Cliverd, S.K. Morley. 2021. Evidence of Sub-MeV EMIC-Driven Trapped Electron Flux Dropouts From GPS Observations. Geophysical Research Letters. 48 (9). DOI : 10.1029/2021GL092664.
[2] Djamaluddin, Thomas. 2006. Kondisi Lingkungan Antariksa di Wilayah Orbit Satelit. Berita Dirgantara. 16 (2). ISSN 1411-8920.
[3] University of Otago. “ Understanding of invisible but mighty particles in Earth’s radiation belts.” ScienceDaily. ScienceDaily, 26 May 2021 <https://www.sciencedaily.com/releases/2021/05/210526093111.htm>, diakses pada 31 Mei 2021, pukul 21.21
[4] Yuliati, Helfi dan Mukhlis Akhadi. 2005. Radionuklida Kosmogenik untuk Penanggalan. Buletin Alara. 6(3). 163-171.