Udara merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan untuk menunjang kehidupan di bumi. Kualitas udara berpengaruh terhadap kehidupan makhluk hidup. Makhluk hidup membutuhkan udara yang bersih, artinya udara mengandung oksigen, nitrogen, dan gas lain yang seimbang untuk bernapas dan menjalankan aktivitas kehidupan.
Pencemaran udara terjadi karena masuknya zat pencemar (polutan) yang bersumber dari aktivitas alam maupun aktivitas manusia. Pencemaran udara lebih banyak ditemui di wilayah perkotaan. Pencemaran udara di perkotaan disebabkan oleh kendaraan bermotor yang memadati jalanan kota, emisi atau kotoran dari asap pabrik, kepadatan penduduk, pembakaran sampah, dan pembukaan lahan melalui tebang dan bakar yang mengakibatkan udara dipenuhi oleh karbon monoksida (CO).
Salah satu upaya untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran udara adalah melakukan monitoring kualitas udara menggunakan bioindikator. Bioindikator adalah organisme, baik hewan maupun tumbuhan, yang respon fisiologisnya menunjukkan keberadaan zat tertentu dalam lingkungan. Jenis tumbuhan yang berperan sebagai bioindikator akan menunjukan perubahan keadaan, ketahanan tubuh, dan memberikan reaksi sebagai dampak perubahan kondisi lingkungan. Hal tersebut akan memberikan informasi tentang tingkat pencemaran lingkungan. Salah satu tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai bioindikator pencemaran udara adalah lichen (lumut kerak).
Lichen adalah tumbuhan tingkat rendah yang masuk ke dalam divisi Thallophyta. Lichen merupakan hasil simbiosis dari dua komponen yaitu fungi (mycobiont) dan alga atau cyanobacteria (photobiont) yang secara morfologi dan fisiologi merupakan satu kesatuan. Fungi memperoleh hasil fotosintesis dari alga dan alga memperoleh tempat untuk hidup.
Keberadaan lichen dapat digunakan untuk mengetahui kualitas udara suatu lingkungan. Lichen memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap udara yang tercemar. Lichen tidak memiliki lapisan kutikula sehingga permukaan talus secara langsung menyerap gas dan polutan-polutan lainnya. Sebagian lichen sangat sensitif terhadap gas sulfurdioksida (SO2) dan gas-gas buangan lain dari kendaraan bermotor.
Kehidupan lichen dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi substrat lichen, sedangkan faktor abiotik meliputi suhu dan kelembaban. Lichen dapat hidup optimal di lingkungan dengan kualitas udara yang baik, yaitu udara dengan kadar nitrogen (N), Oksigen (O2), karbondioksida (CO2) yang seimbang dan minimnya polutan seperti timbal (Pb), sulfurdioksida (SO2), dan karbonmonoksida (CO).
Sebagai bioindikator kualitas udara, lichen dapat menunjukkan sensitivitas dari morfologi talusnya. Hal tersebut karena lichen bergantung pada nutrisi dan air di udara. Lichen tidak memiliki struktur pelindung seperti kutikula yang ditemukan di tumbuhan vascular, sehingga zat-zat polutan di udara dapat dengan mudah terakumulasi dalam talus lichen. Penelitian yang dilakukan oleh Agnieszka dan kawan-kawan yaitu logam berat terakumulasi sangat tinggi pada talus lichen yang terdapat di pusat kota Slupsk Polandia hal ini menunjukkan kualitas udara yang buruk, sedangkan polusi udara terendah terdapat di pinggiran kota Slupsk.
Banyaknya akumulasi polutan pada talus lichen menyebabkan penurunan dan kerusakan klorofil pada lichen tersebut.Kerusakan klorofil pada lichen dapat mengganggu proses fotosintesis yang berdampak pada terganggunya pertumbuhan lichen akibat kekurangan nutrisi. Banyaknya jumlah polutan di udara seperti CO2, SO2, NO2, dan debu yang berasal dari gas buangan transportasi, akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan penurunan jumlah jenis lichen.
Semakin buruk kualitas udara di suatu wilayah maka tingkat keanekaragaman lichen semakin rendah. Terhambatnya pertumbuhan lichen juga ditandai adanya perubahan warna talus menjadi lebih pucat atau kusam. Perubahan warna thalus dapat berlanjut hingga memutih sebagai tanda telah terjadi kerusakan secara kronis. Pemucatan warna thalus tersebut merupakan dampak rusaknya lapisan alga yang menyusun lichen. Lapisan alga yang mengalami kerusakan khususnya adalah bagian klorofil sebagai dampak absorpsi sejumlah gas pencemar dalam jangka waktu yang lama.
Referensi
Ramadhani, R.W., Nadia, S. dan Kistantia, E.M. 2022. Lichen Sebagai Bioindikator Kualitas Udara Di Kecamatan Jebres Kota Surakarta. Jurnal Ilmu Lingkungan. Volume 16, Nomor 2. DOI 10.31258/jil.16.2.p.207-221.
Parzych, A., Anna, Z., dan Aleksander, A. 2016. Epiphytic Lichens As Bioindicators Of Air Pollution By Heavy Metals In An Urban Area (Northern Poland). Journal of Elementology. J. Elem., 21(3): 781-795. DOI: 10.5601/jelem.2016.21.1.861.
Muslim dan Ashar, H. 2018. Eksplorasi Lichenes Pada Tegakan Pohon Di Area Taman Margasatwa (Medan Zoo) Simalingkar Medan Sumatera Utara. Jurnal Biosains Vol. 4 No. 3.
Kurniasih, K., Munarti, dan Dimas, P., Anna, A., L. 2020. Potential of Lichen as a Bioindicator of Air Quality in Sentul Bogor Area. JURNAL Penelitian Ekosistem Dipterokarpa Vol.6 No.1 Juli 2020 17-24.