Homo floresiensis adalah spesies manusia purba yang mendapat julukan populer “manusia Hobbit” karena tubuhnya yang sangat mungil, tingginya hanya sekitar satu meter, setara anak berusia 5–6 tahun di zaman sekarang. Fosil mereka pertama kali ditemukan pada tahun 2003 di Liang Bua, sebuah gua di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Analisis menunjukkan bahwa mereka masih hidup hingga sekitar 50.000 tahun lalu, sehingga sempat hidup bersamaan dengan manusia modern (Homo sapiens) yang sudah menyebar di berbagai wilayah.
Sejak penemuan tersebut, para ilmuwan terus mencari jawaban atas pertanyaan besar: dari mana sebenarnya asal-usul mereka? Ada dua dugaan utama. Pertama, mereka mungkin keturunan Homo erectus, spesies manusia purba berpostur lebih tinggi yang kemudian mengalami island dwarfism, yaitu proses evolusi yang membuat ukuran tubuh hewan atau manusia menjadi lebih kecil ketika hidup di pulau dengan sumber daya terbatas. Dugaan kedua, mereka mungkin berasal dari garis keturunan hominin lain yang sejak awal memang berukuran kecil, lalu bertahan hidup di Flores selama ribuan tahun.

Island dwarfism atau pengecilan tubuh di pulau adalah fenomena evolusi di mana ukuran tubuh suatu spesies menyusut secara signifikan ketika mereka hidup di lingkungan pulau yang terbatas. Pulau sering memiliki sumber daya yang minim, seperti makanan dan ruang gerak serta sedikit predator besar. Dalam kondisi seperti ini, individu dengan tubuh lebih kecil cenderung lebih mudah bertahan hidup karena mereka membutuhkan energi dan makanan yang lebih sedikit.
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada manusia purba. Contohnya bisa kita lihat pada gajah purba yang hidup di pulau-pulau Mediterania ribuan tahun lalu dari ukuran raksasa, mereka berevolusi menjadi “gajah kerdil” setinggi sekitar 1 meter saja. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa spesies rusa, tikus, bahkan badak purba.
Dalam konteks Homo floresiensis, island dwarfism menjadi salah satu penjelasan mengapa mereka jauh lebih kecil daripada Homo erectus atau manusia modern. Pulau Flores yang terisolasi, dengan ekosistem terbatas dan tanpa hewan besar sebagai predator, bisa menjadi “laboratorium alami” yang membentuk tubuh mereka menjadi mungil selama ribuan generasi.
Baca juga artikel tentang: Jejak Kaki Purba yang Mengungkap Sejarah Migrasi Manusia: Temuan 115 Ribu Tahun di Jazirah Arab
Jika dibandingkan dengan manusia modern (Homo sapiens), Homo floresiensis memiliki proporsi tubuh yang cukup berbeda. Tinggi mereka hanya sekitar 1,06 meter dengan berat sekitar 25–30 kilogram, mirip ukuran anak sekolah dasar masa kini. Bentuk tengkoraknya juga unik: kapasitas otaknya hanya sekitar 380–420 sentimeter kubik, kira-kira seukuran otak simpanse modern, dan jauh lebih kecil dibanding otak manusia modern yang rata-rata mencapai 1.300–1.500 sentimeter kubik.
Meski ukuran otaknya kecil, bukti arkeologis menunjukkan bahwa Homo floresiensis cukup cerdas. Mereka mampu membuat alat batu sederhana untuk memotong daging, mengupas kulit, atau mengolah tanaman. Struktur rahang dan giginya menunjukkan kemampuan mengunyah makanan keras, sementara lengannya sedikit lebih panjang dibanding kaki jika dibandingkan dengan proporsi manusia modern, ciri yang sering terlihat pada manusia purba yang lebih primitif.
Perbedaan ini membuat para ilmuwan tertarik meneliti apakah Homo floresiensis adalah “versi mini” dari Homo erectus yang beradaptasi di pulau, atau justru keturunan dari garis evolusi yang lebih tua dan berbeda.
Temuan terbaru di Sulawesi memberikan petunjuk baru yang berpotensi mengubah teori asal-usul Homo floresiensis. Di situs arkeologi Calio, Sulawesi Selatan, para peneliti menemukan perkakas batu yang diperkirakan berusia antara 1,04 hingga 1,48 juta tahun. Usia ini jauh lebih tua daripada bukti keberadaan Homo floresiensis di Flores, yang baru muncul sekitar 700.000 tahun lalu.

Fakta ini memunculkan dugaan bahwa leluhur Homo floresiensis mungkin tidak langsung datang dari daratan Asia Tenggara menuju Flores. Sebaliknya, mereka kemungkinan besar terlebih dahulu menetap di Sulawesi selama ratusan ribu tahun sebelum akhirnya menyeberang ke Flores. Sulawesi, yang terletak di wilayah Wallacea, daerah kepulauan yang terpisah oleh laut dalam dari daratan besar, mungkin menjadi “pintu gerbang” migrasi manusia purba menuju pulau-pulau di selatan.
Jika benar, maka Homo floresiensis bisa jadi adalah keturunan populasi hominin yang sudah beradaptasi di Sulawesi, kemudian melanjutkan perjalanan ke Flores, dan di sana tubuh mereka mengalami proses island dwarfism hingga menjadi mungil seperti yang kita kenal sekarang. Temuan ini membuat para ilmuwan kini tertarik mencari fosil di Sulawesi, karena kerangka manusia purba di sana bisa menjadi “mata rantai” yang hilang dalam memahami perjalanan evolusi mereka.
Baca juga artikel tentang: Mengapa Kita Suka Karbohidrat? Jawabannya Ada dalam DNA Kita Sejak Zaman Purba
Menyeberangi laut dalam di masa prasejarah bukanlah hal mudah, apalagi bagi manusia purba yang tidak memiliki teknologi perahu seperti zaman sekarang. Wilayah Wallacea yang mencakup Sulawesi, Flores, dan pulau-pulau sekitarnya, selalu terpisah oleh laut dalam, bahkan saat zaman es ketika permukaan laut jauh lebih rendah. Artinya, untuk berpindah dari satu pulau ke pulau lain, hominin harus benar-benar melintasi perairan terbuka.
Para ilmuwan menduga ada dua kemungkinan cara mereka menyeberang. Pertama, rafting alami: mereka mungkin secara tidak sengaja terbawa arus laut di atas rakit alami yang terbentuk dari batang-batang kayu, akar, dan tumbuhan yang hanyut akibat badai atau banjir besar. Kedua, kemungkinan pembuatan rakit sederhana: meskipun kemampuan teknologi mereka terbatas, ada bukti bahwa manusia purba di wilayah lain sudah mampu mengikat kayu menjadi rakit untuk menyeberangi sungai atau teluk.
Menariknya, meskipun tantangan alam begitu besar, ombak tinggi, arus kuat, dan keterbatasan perbekalan. Nyatanya beberapa kelompok berhasil sampai dan bertahan hidup di pulau-pulau terpencil ini. Hal ini menunjukkan bahwa Homo floresiensis, atau leluhurnya, memiliki ketangguhan fisik dan mungkin juga kemampuan navigasi sederhana yang memungkinkan mereka menjelajah wilayah yang bagi banyak hewan besar lain mustahil ditempuh.
Kisah Homo floresiensis adalah salah satu misteri paling menarik dalam sejarah manusia purba. Fosil mungil yang ditemukan di Liang Bua, Flores, membuka pintu bagi pertanyaan-pertanyaan besar tentang migrasi, adaptasi, dan evolusi. Kini, temuan perkakas batu berusia lebih dari satu juta tahun di Sulawesi memberi bab baru pada cerita ini.
Kemungkinan besar, leluhur Homo floresiensis pertama kali menginjakkan kaki di Sulawesi, menetap di sana selama ribuan generasi, lalu melanjutkan perjalanan ke Flores. Di pulau kecil yang terisolasi itu, mereka menghadapi sumber daya terbatas dan tekanan lingkungan unik, memicu proses island dwarfism yang membuat tubuh mereka semakin mungil.
Jejak ini mengingatkan kita bahwa sejarah manusia tidak selalu tentang perjalanan besar menuju peradaban, tetapi juga tentang kelompok-kelompok kecil yang beradaptasi dengan cara luar biasa di tempat-tempat terpencil. Setiap fosil, setiap perkakas batu, adalah fragmen dari kisah panjang kita sebagai spesies penjelajah. Dan di antara fragmen itu, Homo floresiensis berdiri sebagai bukti bahwa bahkan manusia terkecil pun memiliki peran besar dalam peta evolusi umat manusia.
Baca juga artikel tentang: Kolam Air yang Telah Ada Sejak 2 Miliar Tahun Membuka Tabir Kehidupan Purba di Bumi
REFERENSI:
Cherry, John F & Leppard, Thomas P. 2025. Human dispersal, human evolution, and the sea: the Palaeolithic seafaring debate. University Press of Colorado.
Taub, Benjamin. 2025. We May Finally Know Where The “Hobbit” Humans Came From. IFL Science: https://www.iflscience.com/we-may-finally-know-where-the-hobbit-humans-came-from-80307 diakses pada tanggal 11 Agustus 2025.