Pengembangan PLTN selama ini utamanya berfokus di PLTN darat. Mengingat, kebutuhan listrik utamanya memang di darat, bukan di laut. Demikian pula, perencanaan pembangunan PLTN di Indonesia selalu difokuskan untuk dibangun di darat. Hal ini logis ketika mempertimbangkan pulau-pulau besar yang butuh listrik dengan suplai besar.
Namun, bagaimana dengan pulau-pulau kecil yang membutuhkan suplai listrik yang andal? Ditambah lagi potensi bencana gempa dan tsunami yang sewaktu-waktu dapat menyerang negeri ini [1,2].
Dari sini, prospek PLTN terapung tampak cukup menjanjikan.
Ada beberapa jenis PLTN terapung. Namun, dari jenis-jenis yang ada, jenis offshore nuclear power plant (ONPP) tampak paling cocok untuk kawasan Indonesia [3]. PLTN terapung jenis ini memiliki unit reaktor nuklir (tunggal atau ganda) dan unit pembangkit yang dipasang di dalam kapal/tongkang. Listrik yang dibangkitkan oleh unit PLTN ini dapat digunakan untuk menggerakkan kapal dari dan menuju lokasi penggunaan, serta dialirkan ke jaringan listrik di lokasi tersebut.
PLTN yang dipasang di dalam kapal bukan konsep baru. Rusia sudah sejak lama menggunakan reaktor nuklir untuk propulsi kapal pemecah es [4]. Namun, ide ini kemudian berkembang untuk menyuplai listrik di daratan yang sulit terjangkau.
Ada beberapa potensi keunggulan dari penggunaan PLTN terapung untuk wilayah Indonesia.
Pertama, karena dipasang di atas kapal, kendala-kendala tentang pembebasan lahan dan sindrom NIMBY (Not In My Back Yard atau asal tidak di halaman belakang rumahku ) secara praktis tidak ada. Instalasi yang terpasang di darat hanya sambungan ke jaringan listrik saja. Isu fault teknonik yang menjadi perhatian dalam pembangunan PLTN pun otomatis lenyap. Gempa tidak lagi menjadi isu yang bisa dieksploitasi kalangan anti-nuklir.
Kedua, PLTN terapung dapat menjangkau kawasan-kawasan kepulauan kecil dan wilayah yang sulit dijangkau melalui darat, seperti beberapa kawasan di Papua. Karena PLTN terapung sudah dibangun dan terpasang di kapal sejak sebelum pemberangkatan, tidak ada pembangunan yang perlu dilakukan di kepulauan kecil dan wilayah yang sulit terjangkau tersebut selain fasilitas sambungan jaringan listrik. Jauh lebih memudahkan daripada harus membangun pembangkit di lokasi.
Kebutuhan bahan bakar nuklir sedikit dan siklus operasinya panjang, sekitar 24-36 bulan [5]. Jadi, bahan bakar untuk 10-20 tahun operasi dapat dimuat di dalam kapal. Atau, untuk alasan keamanan, bahan bakar baru dikirim ke lokasi menjelang akhir siklus bahan bakarnya. Sehingga, suplai bahan bakar sama sekali bukan masalah bagi PLTN terapung.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Reaktor Daya Eksperimental, Reaktor Nuklir Desain Anak Negeri
Ketiga, PLTN terapung umumnya memiliki daya kecil, antara 35-120 MWe [6]. Daya itu cukup untuk daerah-daerah luar Jawa yang kebutuhan listriknya tidak sebanyak di Jawa. Membangun PLTN darat dengan daya lebih dari 250 MWe jelas sebuah pemborosan yang tidak perlu, jadi PLTN terapung memiliki skala rentang daya lebih pas.
Keempat, lebih selamat dari tsunami. Sifat gelombang tsunami adalah baru mulai meninggi ketika mencapai air dangkal, tapi di air yang lebih dalam nyaris tidak terasa. Karena panjang gelombang tsunami di permukaan laut dalam sangat panjang, amplitudonya jadi kecil [7]. Sehingga, PLTN terapung yang doknya berada di permukaan laut dalam tidak akan terpengaruh oleh gelombang tsunami.
Eksistensi PLTN terapung pun berpotensi membantu peringatan dini tsunami. Sistem instrumentasi pendeteksi dini tsunami dapat dipasang di PLTN terapung. Karena tidak ada masyarakat yang bisa begitu saja naik ke atas kapal pengangkut PLTN ini, vandalisme dan pencurian terhadap komponen sistem peringatan dini tsunami bisa dikatakan tidak akan terjadi. Namun, hal ini butuh konfirmasi dari pakar di bidangnya.
Kelima, PLTN terapung dapat digunakan untuk desalinasi air laut. Hal ini penting untuk wilayah-wilayah yang sering kekurangan air bersih. Selain membangkitkan listrik, panas buangan dari PLTN terapung bisa digunakan untuk desalinasi air laut, menghasilkan air bersih yang layak digunakan untuk keperluan sehari-hari masyarakat [8].
Ke depannya, selain desalinasi air laut, PLTN terapung berpotensi juga memproduksi bahan bakar sintetis. Jadi, PLTN terapung digunakan untuk hidrolisis air dan memisahkan CO2 dari air laut. Hidrogen dan CO2 yang dihasilkan kemudian disintetis untuk menghasilkan bahan bakar mirip bensin untuk keperluan transportasi [9]. Keunggulan dari bahan bakar sintetis ini adalah netral emisi CO2 dan tidak ada kontamintasi pengotor.
Baca juga: Thorium, Bahan Bakar Nuklir Masa Depan
Keenam, level keselamatan tinggi. Kontras dengan asumsi sebagian orang ketika pertama mendengar PLTN terapung, tingkat keselamatannya tidak berkurang, malah mungkin lebih baik. Setidaknya, dari segi termohidrolik. Karena posisinya berada di atas permukaan laut, PLTN terapung memiliki akses pendingin yang secara praktis tidak terbatas. Air laut menjadi heat sink alami bagi reaktor nuklirnya. Ketika misalnya terjadi overheating, pendinginan reaktor dapat dilakukan tanpa harus khawatir kekurangan suplai pendingin eksternal.
Bagaimana kalau terjadi sebuah skenario tidak diinginkan yang menyebabkan kapalnya tenggelam? Bahan bakar nuklir akan tetap tersegel di dalam reaktor. Lalu, air laut secara otomatis akan mendinginkan reaktor sehingga pelelehan bahan bakar dapat dicegah (kecuali reaktor nuklir yang bahan bakarnya berbentuk lelehan, maka bahan bakarnya akan memadat). Ketiadaan pelelehan menyebabkan pelepasan radioaktivitas akan sangat minim, kalau bukan tidak ada. Air laut tidak akan terkontaminasi material radioaktif dari reaktor nuklir yang tenggelam.
Rusia dan Cina tengah mengembangkan PLTN terapung tipe ONPP [6]. Akademik Lomonosov, kapal bertenaga nuklir desain Rusia, diproyeksikan menjadi PLTN terapung pertama di dunia. Saat ini, Akademik Lomonosov telah melakukan pemuatan bahan bakar di dalam unit reaktor nuklir gandanya, siap diberangkatkan akhir tahun ini atau awal tahun depan ke Pevek, kota paling utara di Rusia [10].
Namanya teknologi, pasti ada saja kekurangannya. Karena tidak ada perimeter seperti di PLTN darat, sistem proteksi fisik PLTN terapung harus lebih diperhatikan. Masalah proteksi fisik sebaiknya juga dikoordinasikan dengan TNI. Perawatan pun mengharuskan si kapal dibawa kembali ke pabrikannya, walau memang jadwal perawatannya tidak sering. Masalah keselamatan radiasi juga mesti disosialisasikan dengan baik pada nelayan-nelayan yang melaut di sekitar sana, jika ada. Tujuannya supaya resistensi masyarakat sekitar terhadap PLTN terapung bisa diminimalisir dan tidak mudah diprovokasi oleh kalangan anti-nuklir.
Keunggulan-keunggulan di atas menunjukkan bahwa PLTN terapung sangat potensial untuk menyediakan listrik yang murah, bersih, selamat dan handal bagi penduduk Indonesia khususnya di luar Jawa, di daerah-daerah kepulauan dan wilayah yang sulit dijangkau lewat darat. Semoga dalam waktu tidak terlalu lama, kita bisa mengembangkannya sendiri menggunakan teknologi reaktor nuklir termutakhir, sehingga pemanfaatannya jadi lebih optimal untuk berbagai keperluan.
Referensi:
- S. Rohadi, “Studi Seismotektonik Sebagai Indikator Gempa Bumi di Wilayah Indonesia”, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, vol. 10 no. 2, 2009, pp. 111-120.
- L. Hamzah et al, “Tsunami Catalog and Zones in Indonesia”, Journal of Natural Disaster Science, vol. 22 no. 1, 2000, pp. 25-43.
- K. H. Lee, “Recent Advances in Ocean Nuclear Power Plants”, Energies, vol. 8, 2015, pp. 11470-11492.
- O. Bukharin, “Russia’s Nuclear Icebreaker Fleet”, Science and Global Security, vol. 14, 2006, pp. 25-31.
- M. R. Oktavian et al, “Cogeneration Power-Desalination in Small Modular Reactors (SMRs) for Load Following in Indonesia”, presented in The 4th International Conference on Science and Technology (ICST) 2018, Yogyakarta, Indonesia.
- S. Banoori et al, Advances in Small Modular Reactor Technology Developments. IAEA, Vienna, 2016.
- Tsunamis. Diakses dari http://earthsci.org/education/teacher/basicgeol/tsumami/tsunami.html
- S. Nisan et al, “Sea-water desalination with nuclear and other energy sources: the EURODESAL project”, Nuclear Engineering and Design, vol. 221 no. 1-3, 2003, pp. 251-275.
- J. Morgan, Zero emission synfuel from seawater, Diakses dari https://bravenewclimate.com/2013/01/16/zero-emission-synfuel-from-seawater/\
- World Nuclear News. Russia loads fuel into floating power plant. Diakses dari (http://www.world-nuclear-news.org/Articles/Russia-loads-fuel-into-floating-power-plant)
Alumni S1 Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, mahasiswa S2 Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada. Peneliti Fisika Reaktor, Keselamatan Reaktor, dan Sistem Energi. Kadang menjadi diseminator teknologi energi nuklir.