Fenomena quiet quitting—ketika pekerja Gen Z memilih menjalankan tugas sesuai deskripsi tanpa ekstra effort—telah menarik perhatian akademisi dan praktisi. Seperti diulas oleh Ramdani Yaspi Kurniawan (Maret 2025), banyak pihak mendebat apakah fenomena ini tanda kemunduran etos kerja, atau justru bentuk adaptasi sehat terhadap dunia kerja modern.
Sebagai generasi digital-native, Gen Z membawa banyak pengalaman unik seperti diantaranya:
- Kesadaran kesehatan mental dan work-life balance: Berbeda dari generasi sebelumnya, mereka lebih intropeksi terhadap dampak jangka panjang gaya kerja intens, memilih efisiensi tanpa beban over commitment.
- Digital fluency dan media sosial: Informasi lewat TikTok/LinkedIn membuat mereka cepat meniru aksi seperti quiet quitting kolega di negara lain.
Kurniawan (2025) menyoroti bahwa Gen Z menginternalisasi gambaran kerja sebagai bagian dari kehidupan, bukan pusat eksistensi mereka.
Beberapa kajian akademis lainnya turut memberikan kerangka teoretis mendalam:
a. Teori Disengagement — EVLN (Exit‑Voice‑Loyalty‑Neglect)
Ochis (2024) menjelaskan quiet quitting sebagai perilaku neglect, bentuk disengagement psikologis di antara Gen Z yang dirawat lebih agresif ketimbang generasi sebelumnya.
b. Social Exchange dan Burnout
Penelitian di Vietnam (2025) dengan teori sumber daya, pertukaran sosial, dan komitmen organisasi menunjukkan work-life balance, komitmen organisasi, dan dukungan perusahaan menjadi faktor sentral memediasi burnout serta sikap quiet quitting.
Dengan demikian, quiet quitting bukan sekadar sikap malas, tapi reaksi rasional terhadap lingkungan kerja yang tidak seimbang.
Data Empiris dari Indonesia
Studi di Indonesia (Psikologi Prima, Mei 2025) membandingkan Gen Z dan Milenial. Hasilnya: tingkat quiet quitting relatif rendah di kedua generasi—mengindikasikan bahwa sebagian besar pekerja tetap berkomitmen.
Namun, Kurniawan (2025) selanjutnya menyoroti bahwa faktor-faktor seperti job burnout dan tekanan terus-menerus bisa menyebabkan naiknya tren quiet quitting, jika lingkungan kerja tidak ditata ulang.
Evaluasi: Kemunduran atau Adaptasi Cerdas?
Argumen bahwa quiet quitting menandakan kemunduran etos kerja melewatkan satu hal krusial yaitu terkait definisi baru tentang etos kerja:
- Mengukur bukan hanya intensitas effort, tapi juga konsistensi, keberlanjutan, dan tanggung jawab mental terhadap pekerjaan.
- Disiplin dan produktivitas tidak harus selalu ekstra, tetapi dapat juga tercapai dengan menggunakan energi secara bijak dan tetap menjaga kualitas hidup.
Sebaliknya, quiet quitting adalah sinyal bagi perusahaan bahwa:
- Budaya kerja intensif tanpa reward bisa memicu disengagement.
- Relasi kerja perlu ditata agar adanya penghargaan dan dukungan tepat guna meningkatkan loyalitas.
Rekomendasi Praktis untuk Organisasi
Berdasarkan perspektif di atas, beberapa langkah praktis terbukti bisa menyehatkan budaya organisasi:
- Rancang ulang budaya kerja: Batasi jam lembur yang tidak esensial, perjelas ekspektasi performa.
- Support mental dan fisik: Sediakan program wellbeing—missal coaching, konseling, dan cuti mental.
- Perkuat komunikasi & pengakuan: Transparansi atas reward sistemik meningkatkan rasa dihargai.
- Fleksibilitas dan pilihan: Berikan opsi remote atau hybrid dan peluang pengembangan sesuai minat Gen Z.
Langkah-langkah ini mendukung keterlibatan pekerja tanpa memaksa mereka “selalu on”, menyeimbangkan produktivitas & kebahagiaan.
Baca juga: https://warstek.com/desentralisasi-pendidikan/
Kesimpulan
Quiet quitting bukan kemunduran, melainkan refleksi dalam dunia kerja modern yang semakin kompleks dan menuntut keseimbangan. Melalui pendekatan berbasis pengalaman Gen Z, teori disengagement EVLN, dan studi empiris lokal, jelas bahwa fenomena ini seharusnya menjadi alarm bagi organisasi untuk bertransformasi:
- Menghargai effort sesuai akun.
- Merancang sistem kerja inklusif dengan penghargaan dan dukungan.
- Membumikan etos kerja baru: produktif, sehat, dan manusiawi.
Mengembangkan adaptasi ini membantu memelihara etos kerja yang relevan dengan tantangan era digital—menjaga produktivitas jangka panjang sekaligus kualitas hidup pekerja Gen Z yang semakin kritis dan sadar akan hak mereka.
Referensi
- Kurniawan, R. Y. (2025). Quiet Quitting: Tanda Kemunduran Etos Kerja Gen Z? Universitas Widyatama ([researchgate.net][1])
- Ochis, K. (2024). Generation Z and Quiet Quitting… ([researchgate.net][4])
- Nguyen & Vu (2025). Quiet Quitting: Insights from Gen Z in Vietnam ([researchgate.net][2])
- Veren et al. (2025). Overview of Quiet Quitting Among Millennial & Gen Z in Indonesia ([jurnal.unprimdn.ac.id][5])

