Setelah melahirkan, peran wanita kian bertambah. Banyak hal yang perlu dilakukan, mulai dari urusan domestik sebagai manajer, guru, koki, perawat, dan akuntan bagi anak dan suami. Hingga berkutat dengan kendali eksternal dan berbagai peran untuk kebermanfaatan. Oleh karena itu, ungkapan bahwa setiap wanita bergelar Ibu adalah luar biasa, merupakan kebenaran yang perlu kita akui bersama.
Kesehatan Mental Ibu
Dengan kompleksitas peran yang dialami, maka wajar bila ketahanan jiwa seorang Ibu menjadi sangat penting. Menurut Psikolog, Erika Kamaria Yasmin, dalam pembahasan kesehatan mental Ibu oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan bahwa keadaan Ibu akan mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Lebih lanjut, kondisi Ibu adalah kunci bagi perbaikan keluarga, dimana keluarga adalah kunci dari perbaikan bangsa. Lalu, bagaimana realitas ketahanan mental para Ibu saat ini?
Berdasarkan data WHO tahun 2019 menunjukkan fakta bahwa setidaknya sekitar 10% ibu hamil dan 13% ibu melahirkan mengalami gangguan kesehatan mental. Pada rata-rata negara berkembang pun angkanya lebih besar yaitu 15,6% selama hamil dan 19,8% setelah melahirkan. Di Indonesia sendiri, kita tak bisa menampik bahwa kasus Ibu bunuh diri karena depresi sering ditemui. Data ini sungguh menjadi red flag tidak hanya bagi segelintir pihak atau stake holder yang berwenang tetapi untuk kita semua yang masih memiliki nurani.
Faktanya kaum wanita yang menjadi Ibu baru seringkali dihadapkan pada kebingunan atas identitas diri yang terkikis karena amanah buah hati. Tersebutlah kaum wanita dalam periode permakrisis: keadaan serba tak nyaman dan penuh ketidakstabilan. Masa ini juga dimaknai sebagai perubahan hidup drastis yang tak dapat dihindari. Jika Inggris mengalami permakrisisnya karena Brexit, pandemi Covid-19, hingga perang Ukraina, maka seorang Ibu ber-permakrisis dengan peran baru bersama kebimbangan terhadap tiga dimensi yang perlu dibagi: ranah domestik, keinginan mengaktualisasikan diri, dan kebutuhan terhadap waktu untuk menyendiri.
Baca juga: Literasi Kesehatan Mental Ibu di Indonesia – Pasca Melahirkan (warstek.com)
Menyelami Sumber Premakrisis
Oleh karena itu, mari kembali menyamakan isi pikiran dan hati dengan merefleksikan satu demi satu poin pemicu permakrisis terjadi.
Pertama, katanya peran domestik adalah tanggung jawab seorang Ibu. Katanya begitu tetapi bukankah ada suami yang juga harus memainkan peran penting? Maka terkadang visi dan misi keluarga itu harus dievaluasi karena mungkin masing-masing diri, suami dan istri, harus kembali sadar atas tanggung jawab yang dimiliki. Berbagi peran serta saling mendukung dan berkolaborasi adalah hal yang dinanti karena Ibu tetaplah manusia yang butuh dukungan dan motivasi. Seharusnya.
Kedua, katanya seorang Ibu butuh mengaktualisasikan diri. Tiap manusia tanpa terkecuali, sebagaimana teori Abraham Maslow, perlu tempat untuk validasi sebagai puncak kebutuhan yang harus dipenuhi. Wadah aktualisasi diri inilah yang menjadi jalan untuk membuka potensi agar tetap utuh sesuai mimpi. Jadi, jelas. Jangan pernah berhenti mencari ranah aktualisasi. Seharusnya.
Ketiga, waktu luang untuk diri sendiri sebagai kunci. Secara umum, studi terdahulu tentang waktu luang mengelompokkan gagasan umum menjadi beberapa bagian. Salah satunya adalah gagasan waktu luang sebagai bagian yang terpisah atau tersendiri. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Liyod (2012:627) menjelaskan bahwa waktu luang berperan penting bagi seseorang untuk menemukan diri sendiri. Jadi, cobalah memanfaatkan waktu sendiri untuk menemukan apa yang sebenarnya dicari. Seharusnya.
Ya, seharusnya kita mulai paham untuk memvalidasi ketiga kebutuhan itu dengan tidak membenturkan satu sama lain. Stigma yang masih melekat di masyarakat bahwa wanita akan sulit mengenali diri setelah memiliki anak adalah hal yang perlu dikoreksi. Apresiasi dan dukungan sekitar lagi-lagi jadi afirmasi untuk merawat dan menjaga semangat agar Ibu dapat menyeimbangkan urusan domestik, aktualisasi eksternal, dan waktu diri sendiri.
Akhirnya, mari memulai langkah kecil ini dengan semangat untuk saling memanusiakan antar manusia. Salah satunya dengan membangun stereotype bahwa Ibu memiliki hak dan kesempatan yang luas dengan beragam opsinya. Yakinilah, setiap Ibu pasti bisa melalui permakrisisnya dengan menyeimbangkan tiap kebutuhan dengan peran kehidupan.
Referensi
- Kementerian PPA. 2021. “Kesehatan Mental Ibu Kunci Pengasuhan Anak di Masa Pandemi”. Dalam https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3555/kesehatan-mental-ibu-kunci-pengasuhan-anak-di-masa-pandemi. Diakses pada 16 Oktober 2023.
- WHO. 2019. “Improving Maternal Mental Health: Millennium Development Goal 5”. Dalam https://www.who.int/mental_health/maternal-child/maternal_mental_health/en/. Diakses pada 16 Oktober 2023.
- Wibawanto, Gregorius Ragil. 2021. Kaum Muda dalam The Social Dilemma: Sebuah Refleksi tentang Narasi Kerja, Waktu Luang, dan Subjektivitas di Era Post-Fordist: Volume 10 Nomer 1. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.