Rasa sedih merupakan bentuk emosi dalam diri yang tak jarang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun sering dianggap sebagai bentuk emosi negatif, sebenarnya hal ini memiliki penjelasan secara ilmiah. Harapannya dengan mengetahui dan memahami emosi ini dari berbagai perspektif ilmiah, kita dapat lebih bijak dalam menyikapi emosi ini pada aktivitas sehari-hari.
Perspektif Neurosains
Rasa sedih adalah salah satu emosi dasar yang memengaruhi tubuh dan pikiran manusia. Sebagai bagian dari evolusi, emosi ini memiliki fungsi adaptif, membantu individu menghadapi kehilangan, seperti kehilangan sumber daya, status, atau hubungan interpersonal. Dalam perspektif neurosains, rasa sedih dipengaruhi oleh berbagai proses neurobiologis dan psikologis, yang melibatkan area otak tertentu, perubahan fisiologis, dan pengaruh sosial budaya.
Basis Neurobiologis Rasa Sedih
Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas otak selama rasa sedih melibatkan struktur subkortikal kuno, seperti subgenual anterior cingulate cortex (sgACC), amigdala, dan hippocampus. Wilayah ini terkait dengan pengolahan emosi, ingatan, dan regulasi otonom tubuh. Selain itu, neuroimaging menunjukkan bahwa rasa sedih berkaitan dengan pengurangan aktivitas di area kortikal, termasuk prefrontal cortex, yang memengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan regulasi emosi.

Sumber: Arias, et al. 2020. The neuroscience of sadness: A multidisciplinary synthesis and collaborative review. Neuroscience and Biobehavioral Reviews 111: 199–2.
Elektrofisiologi juga menunjukkan adanya asimetri frontal yang signifikan, dengan penurunan aktivitas di sisi kiri dorsolateral prefrontal cortex (dlPFC), area yang sering menjadi target terapi, seperti stimulasi magnetik transkranial (TMS), untuk mengobati depresi yang disertai rasa sedih kronis.
Perdebatan Teori Emosi
Dalam studi neurosains, terdapat dua teori utama tentang emosi, yaitu Teori Emosi Dasar dan Konstruksionisme Psikologis. Teori Emosi Dasar menyatakan bahwa emosi seperti rasa sedih merupakan reaksi bawaan yang diatur oleh sirkuit subkortikal, seperti sistem PANIC/GRIEF yang diidentifikasi oleh Panksepp. Sebaliknya, Konstruksionisme Psikologis menganggap emosi sebagai konstruksi sosial yang terbentuk melalui kombinasi domain umum di otak, termasuk persepsi interoseptif dan konsep emosional yang dipengaruhi oleh pengalaman dan budaya. Kedua pandangan ini memberikan wawasan tentang bagaimana rasa sedih dihasilkan dan diatur, baik sebagai respons biologis maupun fenomena psikososial.
Dampak pada Kesehatan Mental dan Fisik
Rasa sedih yang kronis dapat berkembang menjadi gangguan depresi mayor, yang ditandai dengan hilangnya motivasi, kelelahan, dan gangguan tidur. Penelitian menunjukkan bahwa depresi dan emosi negatif yang terkait dapat meningkatkan risiko kondisi fisik kronis, seperti penyakit kardiovaskular, bahkan memperpendek harapan hidup. Oleh karena itu, memahami mekanisme neurobiologis rasa sedih menjadi penting dalam mengembangkan intervensi terapeutik yang lebih efektif.
Baca juga: Apa itu Humor dan Mengapa Kita Tertawa? Begini Penjelasan Ilmiahnya
Rasa Sedih: Perspektif Psikologi dan Fisiologi
Rasa sedih merupakan salah satu emosi dasar manusia yang timbul sebagai respons terhadap situasi tertentu, seperti kehilangan seseorang yang dicintai atau kegagalan mencapai tujuan. Berdasarkan penelitian oleh Shirai dan Suzuki (2017) yang menggabungkan psikologi dan fisiologi, rasa sedih ternyata tidak bersifat tunggal, melainkan terdiri dari beberapa subtipe dengan ciri khas masing-masing. Penelitian ini mengungkapkan perbedaan yang dapat dilihat dari respons psikologis dan fisiologis individu dalam menghadapi situasi yang memicu rasa sedih.
Psikologi Rasa Sedih
Rasa sedih sering dipandang sebagai respons universal yang melibatkan perasaan kehilangan, kekosongan, atau ketidakberdayaan. Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa rasa sedih memiliki dua subtipe utama, yaitu sedih karena kehilangan seseorang (loss) dan sedih akibat kegagalan mencapai tujuan (failure).
Pada kondisi kehilangan, subjek lebih cenderung menunjukkan ekspresi emosi yang berkaitan dengan air mata. Dalam situasi ini, rasa sedih biasanya berlangsung lebih lama dan diekspresikan dengan intensitas yang lebih tinggi. Sebaliknya, rasa sedih yang disebabkan oleh kegagalan lebih cenderung terkait dengan kemarahan pada diri sendiri dan berkurang lebih cepat seiring waktu. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh tingkat kemampuan individu untuk mengatasi situasi tersebut. Misalnya, kehilangan seseorang lebih sulit untuk diubah daripada kegagalan yang dapat diperbaiki melalui usaha lain.
Respons Fisiologis terhadap Rasa Sedih
Studi ini juga mengamati respons fisiologis terhadap rasa sedih melalui pengukuran seperti denyut jantung (HR), tekanan darah sistolik dan diastolik (SBP dan DBP), serta tingkat konduktansi kulit (SCL). Hasilnya menunjukkan perbedaan signifikan antara dua jenis sedih tersebut.
Pada kondisi kehilangan, terjadi peningkatan tekanan darah diastolik yang lebih tinggi, yang dihubungkan dengan intensitas emosi yang lebih besar, terutama ketika subjek merasakan dorongan untuk menangis. Sebaliknya, pada kegagalan, tekanan darah lebih stabil, namun intensitas rasa sedih berkorelasi dengan peningkatan tekanan darah sistolik, yang mengindikasikan kemarahan pada diri sendiri sebagai respons terhadap kegagalan tersebut.
Selain itu, respons konduktansi kulit (SCL) memperlihatkan pola yang berbeda. Pada kondisi kehilangan, SCL membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali ke baseline, menunjukkan bahwa emosi tersebut bertahan lebih lama. Sementara itu, pada kondisi kegagalan, SCL menurun lebih cepat, mencerminkan adaptasi yang lebih cepat terhadap situasi tersebut.
Implikasi Psikologi dan Fisiologi
Penelitian ini memberikan wawasan penting bahwa rasa sedih bukan hanya emosi tunggal, melainkan terdiri dari berbagai subtipe yang dipengaruhi oleh konteks situasional. Hal ini juga menyoroti perlunya pendekatan yang berbeda dalam memahami dan menangani rasa sedih, baik dalam terapi psikologis maupun intervensi fisiologis.
Sebagai contoh, terapi untuk kehilangan mungkin perlu lebih berfokus pada dukungan emosional yang dapat membantu individu menerima situasi tersebut. Sebaliknya, dalam kasus kegagalan, terapi dapat diarahkan pada pengembangan strategi untuk memperbaiki situasi atau mengelola rasa frustrasi yang muncul.
Referensi
Arias, et al. 2020. The neuroscience of sadness: A multidisciplinary synthesis and collaborative review. Neuroscience and Biobehavioral Reviews 111: 199–2. Diakses pada 29 Desember 2024 dari https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0149763418306146
Shirai and Suzuki. 2017. Is Sadness Only One Emotion? Psychological and Physiological Responses to Sadness Induced by Two Different Situations: “Loss of Someone” and “Failure to Achieve a Goal”. Diakses pada 29 Desember 2024 dari https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00288