Perkembangan rokok di Indonesia
Sejarah mencatat, bahwa orang Indonesia sudah memulai kebiasaan mengkonsumsi tembakau sebagai rokok sejak tahun 1601. Hal ini bersamaan dengan tembakau pertama kali ditanam di Jawa, pada masa kolonial. Perkembangan rokok di Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya barat yang mana jika ditinjau dari kata “rokok” dalam bahas Indonesia dan merupakan serapan dari kata “rokken” dalam bahasa Belanda. Awalnya masyarakat Indonesia hanya mengenal ‘kretek’. Rokok kretek terbuat dari campuran tembakau, cengkih dan saus perasa. Saat dihisap, rokok ini memiliki bau yang khas dan bunyi ‘kretek-kretek’ yang berasal dari pembakaran cengkih.
Perkembangan rokok di Indonesia terus mengalami evolusi pada bentuk dan citarasa mengikuti permintaan pasar. Proses evolusi tersebut mencapai puncak pada tahun 1950. Dimana terdapat penerapan teknologi yang diprakarsai oleh perusahaan rokok besar dunia, mulai memproduksi rokok filter. Inovasi ini tentunya digunakan juga oleh perusahaan rokok di Indonesia.
Apa itu rokok filter?
Rokok filter tentunya adalah produk rokok yang ujungnya memiliki teknologi filter atau penyaring. Filter digunakan untuk mengurangi kadar asap, menyaring nikotin dan mengurangi bahan kimia berbahaya yang dihirup oleh perokok. Meskipun demikian, filter rokok tidak efektif dalam menghilangkan dan mengurangi gas karbon monoksida (CO).
Filter rokok memiliki karakteristik yaitu;
- Bersifat termoplastik serta tahan terhadap panas dan tekanan
- Tidak beracun, tidak berbau dan tidak berasa
- Bersifat hidrofilik sehingga mampu mengatur konstituen asap dan membiarkan senyawa aromatik lipofilik melewatinya.
Filter rokok terbuat dari polimer selulosa asetat yang memiliki komponen berbasis karbon. Polimer selulosa asetat dibuat dengan mengesterifikasi kapas maupun pulp kayu yang diputihkan dengan asam asetat. Reaksi ini dikenal sebagai asetilasi selulosa. Ester yang terbentuk, kemudian dipintal menjadi serat dan dibentuk menjadi bundel yang disebut filter tow. Selanjutnya diberi tambahan seperti mentol, pemanis, pelembut, penghambat api, serta bahan emulsi untuk merekatkan filter pada rokok.
Rangka selulosa menyumbang terbentuknya pori. Oleh karena itu, partikel karbon besar yang dihasilkan dari pembakaran rokok dapat tertinggal di pori tersebut. Keberadaan asetat berperan dalam menyaring senyawa yang terkandung dalam rokok. Dimana senyawa aromatik lipofilik yang akan masuk dalam tubuh melalui asap. Senyawa aromatik lipofilik merupakan sejenis bahan organik yang larut dalam pelarut polar, dalam hal ini adalah asap. Selain itu beberapa logam berat yang terbentuk selama pembakaran rokok juga dapat terbawa oleh aromatik lipofilik ini.
Performa si ‘Filter rokok’
Ketika rokok terbakar, asap yang ditimbulkan dalam proses tersebut mengandung partikel atau butiran padatan hitam yang tersebar ke udara. Partikel tersebut mengandung karbon hitam yang dihasilkan oleh pembakaran rokok yang tidak sempurna dari sisa nikotin, tar dan ion logam Cd, Cr dan Pb. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja filter ternyata tidaklah maksimal. Konsensus di antara para ilmuwan kesehatan menyatakan bahwa rokok filter tidak mengurangi risiko kesehatan akibat merokok dan dapat merusak ekosistem. Adanya filter pada rokok tidak menunjukkan bahwa merokok benar-benar aman, berikut ini adalah hasil penelitiannya (Ratnani, et al 2022);
Tabel tersebut menunjukkan komposisi kimia dari asap rokok yang diuji menggunakan smoking machine rotary dan gas chromatography. Kandungan bahan kimiawi dari asap rokok filter memang berkurang. Namun, pengurangannya tidaklah signifikan hanya sekitar 1 – 5 %. Buktinya bahan kimiawi berbahaya seperti nikotin, tar dan gas CO tetap terhirup dalam tubuh. Dapat disimpulkan bahwa filter pada rokok hanyalah inovasi agar pemasaran rokok dapat terus diminati. Tidak ada bukti dari berbagai penelitian kesehatan maupun lingkungan yang membenarkan bahwa rokok memiliki manfaat kesehatan diri dan lingkungan hidup.
Tar merupakan bahan partikulat yang dihasilkan dari proses pembakaran tembakau. Ketika tembakau terbakar, berbagai senyawa organik dan anorganik mengalami penguraian dan oksidasi. Senyawa organik mengalami kondensasi melalui asap rokok saat melewati filter. Proses kondensasi ini menghasilkan lapisan lengket yang dikenal sebagai tar. Ketika di paru-paru, tar menempel pada silia. Akibatnya paru-paru berhenti bekerja dan akhirnya mati. Nikotin adalah bahan alam berjenis alkaloid yang terbentuk secara alami pada daun tembakau. Nikotin dalam tubuh dapat menyebabkan pelepasan dopamine berlebih, sehingga menciptakan sensasi ketagihan. Dalam hal potensi bahaya, tar cenderung paling berbahaya. Idealnya, menghindari kedua komponen tersebut adalah pilihan terbaik untuk kesehatan.
Ancaman dari si ‘puntung rokok’
Puntung rokok merupakan limbah yang terbentuk dari sisa filter rokok yang tidak dapat dikonsumsi dan terurai di lingkungan. Jika dilihat dari ukuran, panjang puntung rokok hanya sekitar dua sentimeter dan terlihat sepele. Namun, limbah puntung rokok menyimpan ancaman besar bagi lingkungan, terutama perairan. Puntung rokok menjadi salah satu sampah plastik yang paling banyak berserakan di dunia.
Selama merokok, filter rokok menyerap berbagai macam bahan kimia yang ada dalam asap tembakau. Setelah itu sisa filter rokok atau puntung rokok dibuang, racun-racun seperti nikotin, sisa tar dan logam berat dapat dilepaskan ke lingkungan, melalui proses difusi. Difusi adalah proses alami perpindahan zat seperti gas, cair dan padar dari area berkonsentrasi tinggi ke area berkonsentrasi rendah. Racun yang keluar dari puntung rokok telah terbukti beracun bagi organisme perairan. Ada sekitar tujuh ribu zat kimia beracun yang ikut tersaring oleh puntung rokok yang berisiko mencemari dan merusak lingkungan, terutama ekosistem laut dan badan air. Kandungan sisa nikotin pada puntung rokok dapat memabukkan bahkan membunuh ikan dalam waktu empat hari. Kandungan logam berat dari puntung rokok juga dapat mencemari air dan terakumulasi pada ikan sehingga mengganggu rantai makanan, sehingga berisiko bagi manusia jika dikonsumsi.
Penguraian limbah filter rokok atau puntung rokok memerlukan waktu hingga 10 tahun untuk bisa benar-benar hancur dan membusuk. Utamanya selulosa asetat yang terdapat dalam filter rokok merupakan sejenis plastik yang sulit untuk terurai dan dapat bertahan lama di lingkungan. Plastik selulosa asetat pada puntung rokok terurai secara bertahap, salah satunya menjadi partikel-partikel yang sangat kecil dalam bentuk microfibers dan microplastic. Kandungan bahan kimia yang ada di puntung rokok sangat berpotensi mengganggu baku mutu air tawar sehingga tidak aman untuk digunakan sehari-hari. Bentuk molekul terkecil yang dihasilkan dari degradasi selulosa asetat adalah gas CO2. Hal ini menunjukkan bahwa puntung rokok juga turut menyumbang meningkatnya jumlah CO2 dalam siklus karbon atau penyebab krisis iklim dunia.
Dinamika limbah puntung rokok
Timbulan limbah puntung rokok hingga saat ini belum menjadi perhatian dalam pemilahan sampah. Padahal, jumlahnya yang sangat banyak dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Pemerintah dan masyarakat perlu memitigasi persoalan ini demi menyelamatkan lingkungan, terutama perairan. Laporan dari United Nations Development Programme (2017) menunjukkan sebanyak 4.5 triliun puntung rokok atau sekitar 766 juta ton sampah beracun berakhir di lautan. Di Indonesia, konsumsi tembakau mencapai 322 miliar batang pada 2020 yang menghasilkan sekitar 107.3 ton sampah puntung rokok. Pusat Penelitian Oseanografi BRIN (2018-2019) menemukan puntung rokok menjadi sumber sampah tertinggi kedelapan di 18 pantai Indonesia dengan angka mencapai 6.47%. Dinamika limbah puntung rokok mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan limbah ini disebabkan dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian masyarakat mengenai bahaya dari puntung rokok yang dibuang sembarang.
Referensi
Aranditio, S. (Februari 2024), Sampah Puntung Rokok Masih Luput dari Perhatian. Diakses melalui: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/02/21/sampah-putung-rokok-luput-dari-perhatian , pada 14/03/2024.
Fathurahman, F.H., 2024, Sejarah, Kandungan dan Segmen Pasar Rokok Filter. Diakses melalui: https://www.diklatkerja.com/blog/sejarah-kandungan-dan-segmen-pasar-rokok-filter , pada 16/05/2024.
Hananto, A. (September 2018), Bukan Sedotan, Inilah Kontaminan Utama Laut Dunia, Diakses melalui: https://www.mongabay.co.id/2018/09/04/bukan-sedotan-inilah-kontaminan-utama-laut-dunia/ , pada 14/03/2024.
Harris, B., 2011, The intractable cigarette ‘filter problem’, Tobacco Control, 20, i10-i16. DOI: https://doi.org/10.1136%2Ftc.2010.040113 .
Jacob, D.B. (Maret 2024), Puntung Rokok, Ancaman Tak Terlihat Bagi Laut. Diakses melalui: https://www.mongabay.co.id/2024/03/12/puntung-rokok-ancaman-tak-terlihat-bagi-laut/ , pada 14/03/2024.
Novotny, T.E., and Hamzai, L., Cellulose acetate cigarette filter is hazardous to human health, Tobacco Control, Published Online: 18 April 2023. DOI: https://doi.org/10.1136/tc-2023-057925 .
Ratnani, R.D., Ayuningtyas, R.D., dan Maharani, F., 2022, Pengaruh Penambahan Filter Selulosa Asetat yang Berlubang Pada Bagian Porosnya (Hollow) pada Karakteristik Kimiawi Substantif Sigaret Kretek Tangan, Inovasi Teknik Kimia, 7(2), 39-46.
Souhoka, F.A., dan Latupeirissa, J., 2018, Sintesis dan Karakterisasi Selulosa Asetat (CA), Indo. J. Chem. Res., 5(2), 58-62.
Alumni Magister Kimia Universitas Gadjah Mada. Saat ini memiliki project menulis artikel ilmiah populer dengan tema Sains Kimia di Sekitar.