Konflik antara fakta sains dan kepentingan politik
Dalam menentukan arah perkembangan suatu bangsa, kebijakan publik sangat diperlukan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Kebijakan publik yang ditetapkan seharusnya didasari atas aspirasi seluruh pihak yang dipengaruhi oleh kebijakan tersebut, termasuk saintis. Saintis dalam setiap perumusan kebijakan selalu diikutsertakan sebagai ahli untuk mencegah kebijakan yang terbentuk melenceng dari kebenaran sains yang ilmiah. Namun, dalam ruang perumusan yang penuh dengan orang dari berbagai macam latar belakang, mulai dari politisi, advokat, aktivis hingga perwakilan masyarakat cenderung menyulitkan para saintis untuk mengomunikasikan gagasannya. Tidak hanya saintis, politisi sebaliknya juga mengalami kesulitan yang sama ketika berinteraksi dengan para saintis.
William Sutherland, seorang zoologis dan David Spiegelhalter, seorang matematikawan yang keduanya berasal dari Universitas Cambridge serta Mark Burgman, seorang ekologis dari Universitas Melbourne menerbitkan sebuah artikel di Nature tentang dua puluh hal yang harus dipahami politisi ketika merumuskan kebijakan bersama para saintis. Artikel ini bertujuan agar para politisi dapat memahami penjelasan saintis yang berbasis data sehingga mampu menghasilkan produk kebijakan yang lebih baik.[4]
Secara umum, kedua puluh hal tersebut berisi penjelasan tentang metode penelitian dan metode statistik yang dipakai para saintis. Mulai dari bias data, jumlah populasi, sampel acak, hingga penggunaan variabel penelitian juga dijelaskan di sini. Selain itu juga diterangkan bahwa saintis adalah manusia yang juga memiliki preferensi personal. Politisi juga diminta untuk memaklumi karena perhitungan sains tidak ada yang seratus persen benar dan ada kemungkinan kesalahannya, namun tetap valid.[4]
“Politisi itu cerdas, penuh strategi, tetapi mereka kurang memerhatikan sains,” kata Burgman kepada Guardian Australia. Ia juga menambahkan bahwa para politisi merasa terintimidasi dan mengabaikan fakta sains. Dalam kondisi komunikasi yang sulit antara saintis dan politisi, ia berharap politisi memiliki kemampuan untuk mendengarkan dan melaksanakan setiap masukan dari saintis.[4]
Seakan tidak terima dengan justifikasi oleh ketiga saintis tersebut, Dr. Chris Tyler, kepala kantor sains dan teknologi di Parlemen Inggris menuliskan dua puluh hal yang harus dipahami saintis ketika merumuskan kebijakan bersama politisi. Ia mengatakan bahwa saintis terlalu sering menyalahkan politisi dalam kesulitan yang dihadapi ketika menyusun kebijakan. Hal seperti ini tidaklah tepat karena saintis juga harus membuka diri untuk memahami politisi yang memang bertugas menyusun kebijakan.[3]
Hal serupa sebenarnya juga terjadi dalam interaksi antara saintis dan media massa. Fiona Fox, direktur Science Media Center telah berulang kali menyatakan bahwa media akan memperlakukan sains dengan lebih baik ketika para saintis juga memperlakukan media dengan lebih baik. Chris percaya bahwa hal yang sama berlaku untuk koneksi antara sains dan kebijakan.[3]
Kedua puluh hal tersebut menjelaskan bahwa menyusun kebijakan bukanlah hal yang mudah bagi politisi. Ada banyak proses politik yang kompleks di dalamnya. Chris juga menjelaskan bahwa penyusunan kebijakan berasal dari latar belakang yang berbeda dan masing-masing politisi yang terlibat dipilih oleh rakyat dengan karakter yang berbeda pula. Hal ini menuntut saintis untuk menghormati hakikat politisi yang juga manusia sehingga bisa melakukan kesalahan dan memiliki preferensi personal sesuai suara rakyat yang mendukungnya. Menurut Chris, sains bukanlah hal yang paling diutamakan, malahan ekonomi dan hukum selalu menjadi yang terpenting dalam perumusan kebijakan.[3]
Dalam artikel penulis sebelumnya yang berjudul “Perubahan Iklim : Saintis Harus Mulai Memahami Politik,” dijelaskan bahwa seorang saintis harus bisa mengendalikan politik untuk menciptakan pengaruh bagi masyarakat. Pengaruh dalam bentuk partisipasi masyarakat ini sudah pasti akan mempengaruhi proses penyusunan kebijakan. Penjelasan tentang perubahan iklim yang awalnya bersifat penelitian sains memang sulit dipahami para politisi. Namun jika masalah perubahan iklim menimbulkan fenomena sosial seperti demonstrasi maupun kampanye media sosial, politisi akan paham bahwa ini merupakan masalah penting yang harus diselesaikan dengan menyusun kebijakan yang membantu mengatasi perubahan iklim.
Peran saintis dalam penyusunan kebijakan diharapkan dapat menghasilkan evidence based policy (kebijakan berdasarkan sains), namun kecenderungan yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump lebih mengutamakan policy-based evidence yang justru melawan kebenaran sains. Hal ini disebabkan oleh kedekatannya dengan para pengusaha yang sering merusak lingkungan sehingga Donald Trump akan melawan siapa pun yang menentang kebijakannya termasuk para saintis.[2]
Sains memiliki otoritas epistemik yang berarti sains merupakan metode terbaik yang dimiliki manusia untuk mengungkap kebenaran dunia. Kebenaran sains yang telah terdistribusi dengan baik ke masyarakat akan menghasilkan gerakan politik yang mungkin mengancam kepentingan pemerintah dan pengusaha. Oleh karena itu, sains sering menjadi target serangan bagi politis. Donald Trump pun benar-benar menunjukkan sikapnya yang anti-sains dengan tidak ada satu pun kabinetnya yang memiliki gelas S3 bidang sains. Bahkan Scott Pruitt, saintis yang skeptis terhadap perubahan iklim dan dekat dengan pengusaha energi justru dicalonkan menjadi Kepala Badan Perlindungan Lingkungan (EPA).[2]
Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah pada interaksi saintis dan politisi dalam perumusan kebijakan publik. Cara yang pertama dan terpenting adalah meningkatkan pengetahuan dan taraf pendidikan masyarakat sehingga kepercayaannya terhadap sains meningkat. Dalam demokrasi, kebijakan sangat ditentukan oleh mayoritas suara rakyat. Jika seluruh rakyat paham akan sains maka mereka akan menuntut politisi yang mereka pilih untuk menyuarakan sains dalam perumusan kebijakan.
Saintis yang terlibat langsung dalam perumusan kebijakan perlu memiliki keterampilan networking yang baik. Hal ini diperlukan untuk menambah dukungan dari berbagai pihak terhadap kebijakan berbasis sains. Selain itu, saintis yang terlibat perlu menjaga komunikasi dengan para politisi agar tidak saling menyalahkan satu sama lain yang berujung menjadi kebijakan salah arah. Saintis tidak boleh merasa superior dengan mengisolasi diri dalam komunitasnya. Peningkatan kualitas saintis sangat diperlukan dalam hal ini, bukan peningkatan kuantitas.[1]
Referensi
[1] https://theconversation.com/how-to-improve-governments-use-of-science-90586 (diakses 17 Oktober 2019)
[2] https://theconversation.com/why-politicians-think-they-know-better-than-scientists-and-why-thats-so-dangerous-72548 (diakses 17 Oktober 2019)
[3] https://www.theguardian.com/science/2013/dec/02/scientists-policy-governments-science (diakses 16 Oktober 2019)
[4] https://www.theguardian.com/science/2013/nov/20/top-20-things-politicians-need-to-know-about-science (diakses 16 Oktober 2019)
Sumber gambar :
https://blogs.plos.org/thestudentblog/2017/03/31/where-science-and-policy-collide-funding-academic-research/ (diakses 1 Desember 2019)