Teknologi telah mendominasi kehidupan keseharian kita dan sudah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat perkotaan. Berdasarkan Survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) menemukan bahwa 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet (jika diprosentasekan dengan total penduduk Indonesia sebanyak 256,2 juta orang, maka sebesar 51,79%). Data survei juga mengungkap data pengakses internet di Indonesia dengan statistiknya sebagai berikut :
- 67,2 juta orang atau 50,7 persen mengakses melalui perangkat genggam dan komputer.
- 63,1 juta orang atau 47,6 persen mengakses hanya dari smartphone.
- 2,2 juta orang atau 1,7 persen mengakses hanya dari komputer.
Erik Meijer, Presiden Direktur Telkomtelstra dalam siaran Pers menyatakan “Perkembangan digitalisasi perekonomian, menjadikan Indonesia sebagai pasar yang dinamis, khususnya pertumbuhan start-up berbasis teknologi baik dari segi bisnis maupun dari segi jumlah” . Dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, pada tahun 2016 Indonesia memiliki start-up tertinggi sekitar dua ribu start-up.
Teknologi yang canggih di masyarakat perkotaan tidak memberikan dampak yang positif terhadap penanganan sampah, bahkan kehidupan masyarakat modern memproduksi sampah lebih banyak daripada masyarakat tradisional. Kenyataan ini dapat kita saksikan di kota-kota besar, yaitu persoalan penanganan sampah yang tak kunjung terpecahkan. Contohnya produksi sampah di wilayah Jabodetabek, jika diambil angka rata-rata produksi sampah per orang sekitar 500–1.500 gram per hari, maka produksi sampah di wilayah tersebut berkisar 10.000–15.000 ton per hari (dengan asumsi jumlah penduduk wilayah Jabodetabek sekitar 20 juta orang). Jakarta saja bisa menghasilkan sampah sekitar 6.500 ton per hari, sedangkan Tangerang sekitar 1.000 ton per hari.
Kita sudah mengenal kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan sampah berbagai daerah seperti usaha lapak rongsokan, jasa pengelolaan sampah, jasa pengelolaan limbah, dan bank sampah. Tujuan dari pengelolaan sampah ini selain meningkatkan nilai ekonomi juga untuk mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA. Dengan trend perkembangan startup, risekita.id merinci beberapa startup yang bergerak dibidang Sampah yaitu :
- Angkuts.id. Startup asal Pontianak yang bergerak di bidang jasa angkutan baik barang hidup atau mati termasuk sampah.
- Mallsampah.com. Startup yang bergerak di bidang Eco-Market place layanan dimana kita dapat melakukan aktivitas jual-beli. Produk yang transaksikan antara lain sampah kering/Non organik, produk bersisi ramah lingkungan, produk organic, produk daur ulang, produk Go-green, Tanaman & bibit dan semua kebutuhan yang berkaitan dengan penyelamatan bumi dan gerakan hijau.
- Ganesha Ecosphere Limited Enviro Management (GEM). Startup yang bergerak di bidang waste management yang berdomisili di India. GEM adalah contoh start-up yang berhasil mengumpulkan limbah dari pabrik, kantor, hotel, motel, dan institusi. Sampah tersebut dikumpulkan dan didaur ulang ke dalam produk seperti T-shirts, topi, dan tas.
Apabila sampah di perkotaan dapat dimanajemen dengan baik, maka dapat meningkatkan PDB. Pada tahun 2015 Produk Domestik Bruto (PDB) yang dirilis Badan Pusat Statistik sebesar Rp 11.540 triliun, sumbangan kegiatan ekonomi dari pengelolaan sampah dan daur ulang baru mencapai Rp 35,5 miliar dari total PDB. Dalam kurun waktu 2010-2015 pertumbuhan sumbangan kegiatan ekonomi dari pengelolaan sampah dan daur ulang meningkat, di tahun 2015 meningkat sebesar 7,17 persen dibandingkan ditahun 2010. Pertumbuhannya lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 4,79 persen tahun 2015.
Start-up yang bergerak dalam bidang manajemen sampah ini harus terus didukung oleh pemerintah. Fenomena banyaknya kegagalan bisnis rintisan termasuk start-up dapat dijelaskan oleh jurnal ekonomi berjudul“a valley of death in the innovation sequence an economic investigation”. Jurnal tersebut menjelaskan penyebab Valley of Death dalam sebuat perjalanan start-up untuk sampai ke tahap komersial yaitu bukan pada rendahnya biaya investasi R&D, melainkan pada tidak adanya dukungan di tahap ke 2 (pengembangan) seperti kebijakan pemerintah, pendanaan dari pemerintah/sektor swasta/publik. Selain itu juga disebabkan oleh tidak siapnya sebuat ide bertransisi dari motif sosial ke motif ekonomi.
Potensi teknologi digital di Indonesia sangatlah besar. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Erik Meijer, transformasi teknologi digital di Indonesia turut mendorong pertumbuhan ekonomi yaitu menyumbang GDP terbesar kedua di Indonesia pada semester 1 tahun 2016. Menyadari besarnya potensi yang dapat diperoleh melalui penggunaan teknologi, maka hal tersebut dapat digunakan untuk mengelola sampah, mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa, dan sekaligus membuka peluang yang sangat baik bagi para investor dan pelaku industri internasional untuk berinvestasi di Indonesia. Istilahnya adalah “sambil menyelam mencari berlian”. Guna mendukung hal tersebut, pemerintah Indonesia harus segera fokus pada persoalan deregulasi dan pembangunan infrastruktur, investasi, dan ekspansi bisnis yang berkaitan dengan manajemen sampah. [Anton Sugiarto]