Mengelola Sampah yang Awalnya Masalah menjadi Anugerah

“Apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai” Layaknya bunyi sebuah peribahasa begitulah potret tumpukan sampah yang menggunung di […]

blank

“Apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai”

Layaknya bunyi sebuah peribahasa begitulah potret tumpukan sampah yang menggunung di tempat pembuangan sampah (TPS) atau yang berceceran di sepanjang jalan. Tak lain dan tak bukan fenomena tumpukan sampah tersebut adalah hasil konsumsi dari manusia itu sendiri. Sumber sampah bisa berasal dari rumah tangga, pertanian, perkantoran, perusahaan, rumah sakit, pasar, dan sebagainya.

Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/ material yang kita gunakan sehari-hari[1]. Kondisi ini bakal diperparah ketika musim hujan datang, jalanan berlumpur dan sampah membuat saluran air mampet bahkan bisa mendatangkan tamu tak diundang alias banjir.

blank
Membuang Sampah Sembarangan Juga bisa Sebabkan Banjir. Sumber: kompas.com

Jika ditelusuri lebih jauh, kita dapat mengetahui beberapa fenomena persampahan, seperti sungai Citarum (sungai terpanjang & terbesar di Provinsi Jawa Barat, 29 km) yang merupakan pemasok air bersih untuk perumahan, perkotaan, dan industri di Kota Bandung kini masuk dalam kategori sungai terkotor dunia. Para nelayan telah beralih profesi menjadi pemulung sampah karena ikan-ikan di sungai mati menjadi bangkai disebabkan oleh membludaknya limbah pewarna dan sampah plastik[2].

blank
Seorang penduduk setempat bernama Dedi Rahman yang memungut sampah plastik dan kaleng di Sungai Citarum yang sudah tercemar limbah pabrik, sampah penduduk, dll. Sumber: undark.org (2017)

Begitu pula parahnya persentase sampah di Jakarta tahun 2016, di mana sekitar 7.000 ton sampah terproduksi di Jakarta perharinya. Pasalnya 1 ton sampah menghasilkan 50 kg gas metana (CH4) dan metana memiliki kekuatan merusak 20-30 kali lipat dari pada gas CO2. Gas metana berada di atmosfer selama 7-10 tahun dan per tahun meningkatkan suhu sebesar 1,3 °celcius[3].

Well, that’s so complicated.

But, every cloud has a silver lining (setiap masalah ada solusinya). Mari kita arahkan teropong ke negara maju di mana perkembangan daur ulang sampah sudah begitu pesat.

Di negara matahari Jepang, peraturan pemerintah dan kedisiplinan masyarakat dipadukan untuk memilah dan membuang sampah pada warna dan hari yang berbeda. Pengelolaan sampah dibedakan dalam beberapa kategori seperti botol PET, botol beling, sampah plastik, batu baterai, kaca, dan barang elektronik yang tersedia di perumahan dan juga supermarket, sehingga cara ini mampu menghindarkan Jepang dari krisis sampah.

blank
Poster berbahasa jepang yang menjelaskan pemilahan sampah berdasarkan kategori. Disebut juga dengan gomi bunbetsu. 

Lain halnya dengan pendekatan negara tulip Belanda, sejak 2012 pemanfaatan 12 pabrik insinerator telah membakar 7,6 juta ton sampah yang dipilah-pilah dari rumah dan menghasilkan energi sebesar 4.014 GWh cukup untuk memberi kebutuhan listrik sebanyak 800.000 rumah[4].

Sekarang beralih ke jagonya mengolah sampah yakni Swedia (Skandinavia). Sejak tahun 1991 Swedia merupakan negara yang menetapkan pajak yang tinggi untuk penggunaan bahan bakar fosil. Peran pemerintah dan masyarakat sangat vital dalam hal ini, koran bekas diolah menjadi kertas daur ulang, botol plastik di daur ulang menjadi barang pakai, dan sampah makanan diolah menjadi pupuk kompos. Sebanyak 50% dari sampah itu diolah menjadi energi listrik untuk ratusan ribu rumah dan pemanas di saat musim dingin. Hebatnya lagi Swedia mengimpor 700 ribu ton sampah dari negara-negara Eropa agar pabrik pengolahan tetap berjalan. Well, that’s so insane[5].

Okay, now stop melting and complaining !

Begitu banyak sampah yang dapat di daur ulang dan dikomersialkan dalam lingkaran usaha, baik secara modern maupun tradisional. Beragam jenis sampah, terutama sampah organik, dapat dengan mudah dan sederhana diaplikasikan menjadi bahan olahan. Kompos dan pupuk cair, sebagai contoh, merupakan hasil nyata olahan sampah yang memiliki kontribusi besar dalam dunia pertanian. Tak kalah, biogas dan beragam olahan briket pun mempunyai pangsa pasar cukup menjanjikan di masa datan sebagai pengganti supply energi [6].

blank
Sampah organik untuk pupuk kompos. Sumber; Tanamanhiasan.com

Tidak usah jauh-jauh keluar negeri, sebenarnya Indonesia juga memiliki potensi untuk mengolah sampah dengan baik. Kota Surabaya, di tahun 2017 memproduksi sekitar 1.500 ton sampah yang dibuang ke TPA. Walikota Surabaya, kader lingkungan, dan ibu rumah tangga melakukan gerakan sampah mandiri 3R, reduce, reuse, dan recycle sehingga mampu mengubah sampah menjadi pupuk kompos, hingga kerajinan tangan yang menghasilkan uang dan menjual energi listrik ke PLN sekitar 2 MW untuk Proyek Landfill Gas Powerplant.

Setali tiga uang dengan Kota Kendari, TPA Puuwatu sebagai daerah percontohan di tahun 2016 untuk pengelolaan sampah dan gas metan yang dihasilkan diolah menjadi bahan bakar bagi unit-unit genset untuk menghasilkan listrik [7]. Begitu juga dengan pemanfaatan biomassa yang santer dalam penelitian mahasiswa seperti ampas kelapa, serbuk kayu, bonggol jagung, dedaunan yang dipadatkan dapat diproses menjadi briket untuk kebutuhan memasak pengganti minyak tanah.

The last but not least, lalu apa peran kita sebagai masyarakat awam untuk membantu mengatasi krisis sampah ini agar bertransformasi menjadi anugerah. Sebenarnya, pendidikan tentang adiwiyata di Sekolah SMP dan SMA sudah gencar sekarang ini, tempat sampah organik dan non organik sudah disediakan. Begitu juga dengan perokok aktif, buanglah bungkus rokok pada tempatya, para mahasiswa dan pekerja juga harusnya mulai mengganti botol minum kemasan yang dibeli harian dengan tumbler yang SNI, dan penting bagi para ibu rumah tangga untuk menggunakan goody bag (tas ramah lingkungan) untuk mengurangi jumlah sampah plastik.

Bagaimanapun, semua kembali kepada kesadaran dan kedisplinan masyarakat untuk membiasakan solusi sederhana tersebut, jika tidak mau melulu ketinggalan dengan negara maju nun jauh disana.

Keep Green!!

Referensi

1. Sejati, Kuncoro. 2009. Pengolahan Sampah Terpadu dengan Sistem Node, Sub Point, dan Center Point. Yogyakarta: Kanisius.
2. Alamak, Citarum, sungai terjorok di dunia! . http://citarum.org/info-citarum/arsip-berita/media-online/222-alamak-citarum-sungai-terjorok-di-dunia.html. (Diakses pada 28 Desember 2017).
3. Dinas Lingkungan Hidup. Persentase Sampah Jakarta. http://data.jakarta.go.id/. (Diakses pada 28 Desember 2017)
4. Pengelolaan Sampah di Negara-negara Maju. https://environment-indonesia.com/portfolio/pengelolaan-sampah-di-negara-negara-maju/. (Diakses pada 28 Desember 2017).
5. Ramadhan, Bimastyaji S. Pengelolaan Sampah di Swedia. https://bimastyaji.wordpress.com/2017/02/26/pengelolaan-sampah-di-swedia/. (Diakses pada 28 Desember 2017).
6. Hartono, Rudi. 2008. Penanganan dan Pengolahan Sampah. Bogor: Penebar Swadaya.
7. Gidheon, Arthur. 4 Teknologi atasi Masalah Sampah di Indonesia. http://bisnis.liputan6.com/read/3059440/4-teknologi-atasi-masalah-sampah-di-indonesia. (Diakses pada 28 Desember 2017).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *