Setengah Bumi Berisiko: Satelit Raksasa Hancur di Orbit, Apa yang Terjadi?

Sebuah satelit komunikasi besar buatan Boeing mengalami kehancuran saat berada di orbit. Peristiwa ini berdampak luas, memengaruhi layanan komunikasi di berbagai wilayah, termasuk Eropa, Afrika Tengah, Timur Tengah, Asia, dan Australia. Kerusakan satelit ini mengakibatkan gangguan pada jaringan internet, siaran televisi, dan komunikasi telepon di beberapa negara.

ORBIT

Sebuah satelit komunikasi besar buatan Boeing mengalami kehancuran saat berada di orbit. Peristiwa ini berdampak luas, memengaruhi layanan komunikasi di berbagai wilayah, termasuk Eropa, Afrika Tengah, Timur Tengah, Asia, dan Australia. Kerusakan satelit ini mengakibatkan gangguan pada jaringan internet, siaran televisi, dan komunikasi telepon di beberapa negara.

Selain memengaruhi kehidupan sehari-hari, insiden ini juga memperburuk masalah sampah antariksa (space debris) di orbit Bumi. Sampah antariksa terdiri dari puing-puing satelit yang tidak berfungsi, pecahan roket, dan serpihan kecil dari objek yang bertabrakan di luar angkasa. Kehancuran satelit ini menambah jumlah puing-puing di orbit, meningkatkan risiko tabrakan dengan satelit aktif dan stasiun luar angkasa.

Masalah sampah antariksa menjadi perhatian serius karena dapat menciptakan efek domino atau dikenal sebagai sindrom Kessler—di mana puing-puing yang bertabrakan menghasilkan lebih banyak serpihan, sehingga mengancam operasional satelit penting di masa depan. Kejadian ini menunjukkan betapa pentingnya pengelolaan satelit dan pengembangan teknologi untuk mengurangi risiko sampah antariksa, agar keberlanjutan eksplorasi dan komunikasi antariksa dapat terjamin.

Satelit Intelsat 33e, yang berperan penting dalam menyediakan layanan komunikasi pita lebar bagi berbagai wilayah, beroperasi dari ketinggian sekitar 35.000 km di atas Samudra Hindia. Satelit ini berada dalam orbit geostasioner, yaitu orbit khusus di mana satelit bergerak sejajar dengan rotasi Bumi di sepanjang garis khatulistiwa. Orbit ini memungkinkan satelit untuk tetap berada di titik tetap di atas permukaan Bumi, sehingga ideal untuk layanan komunikasi seperti internet dan siaran televisi.Pada 20 Oktober, muncul laporan bahwa Intelsat 33e mengalami kehilangan daya mendadak, yang mengganggu operasionalnya. Beberapa jam setelah insiden tersebut, US Space Forces-Space mengonfirmasi bahwa satelit tersebut tampaknya telah pecah menjadi sedikitnya 20 bagian. Kehancuran ini menimbulkan kekhawatiran serius karena pecahan-pecahan satelit tersebut menambah jumlah sampah antariksa yang mengorbit Bumi.

Satelit di orbit geostasioner sangat penting karena mereka mendukung jaringan komunikasi internasional di wilayah terpencil yang sulit dijangkau melalui infrastruktur darat. Namun, ketika satelit seperti Intelsat 33e rusak atau hancur, puing-puing yang dihasilkan dapat tetap berada di orbit selama puluhan hingga ratusan tahun, meningkatkan risiko tabrakan dengan satelit lain. Insiden seperti ini menggarisbawahi pentingnya pemantauan dan pengelolaan sampah antariksa untuk mencegah gangguan terhadap jaringan satelit yang krusial bagi kehidupan modern.

Misteri di Luar Angkasa

Hingga saat ini, belum ada informasi pasti mengenai penyebab hancurnya Intelsat 33e. Namun, kejadian seperti ini bukanlah hal baru dalam dunia satelit dan antariksa. Beberapa insiden serupa telah terjadi di masa lalu, dengan beragam penyebab. Ada kasus di mana penghancuran satelit dilakukan secara sengaja, misalnya dalam uji coba anti-satelit (ASAT) oleh beberapa negara. Uji coba ini melibatkan peluncuran rudal untuk menghancurkan satelit sebagai demonstrasi kekuatan militer, tetapi tindakan ini memperparah masalah sampah antariksa, yang berbahaya bagi satelit lainnya.

Selain itu, pernah terjadi tabrakan tidak di sengaja antara satelit aktif atau antara satelit yang sudah tidak berfungsi. Contohnya, pada tahun 2009, satelit komunikasi milik Iridium bertabrakan dengan satelit Rusia yang sudah tidak aktif, menciptakan ribuan serpihan yang masih beredar di orbit hingga sekarang. Satelit juga bisa rusak akibat peningkatan aktivitas Matahari, seperti selama badai matahari. Ketika Matahari mengalami peningkatan aktivitas, ia memancarkan partikel energi tinggi dan radiasi yang dapat mengganggu peralatan elektronik di satelit atau menyebabkan perubahan atmosfer yang mempengaruhi orbit satelit, terutama satelit di orbit rendah.

Kehancuran Intelsat 33e mengingatkan kita akan kerentanan satelit terhadap berbagai risiko di luar angkasa. Oleh karena itu, penting bagi lembaga dan negara yang bergantung pada teknologi satelit untuk meningkatkan pemantauan dan mengembangkan sistem mitigasi risiko guna menjaga keberlanjutan operasional di orbit Bumi.

Menurut laporan dari Science Alert, Intelsat 33e pernah mengalami sejumlah masalah teknis selama beroperasi di orbit. Satelit ini dirancang dan diproduksi oleh Boeing dan diluncurkan pada Agustus 2016 dengan tujuan mendukung layanan komunikasi di berbagai wilayah. Namun, sejak awal, satelit ini tidak berfungsi sepenuhnya sesuai rencana.Salah satu masalah utama muncul pada 2017, ketika Intelsat 33e mengalami keterlambatan dalam mencapai orbit geostasioner yang ditargetkan. Orbit ini penting karena memungkinkan satelit untuk tetap berada di titik tetap di atas permukaan Bumi, sehingga dapat memberikan layanan komunikasi secara stabil. Alih-alih mencapai orbitnya tepat waktu, satelit ini memerlukan waktu tiga bulan lebih lama dari jadwal yang direncanakan.

Keterlambatan ini disebabkan oleh masalah pada sistem pendorong utama satelit, yang bertanggung jawab untuk mengendalikan ketinggian dan percepatan satelit menuju orbitnya. Sistem pendorong (propulsion system) ini sangat penting dalam mengoreksi lintasan dan memastikan satelit berada di jalur yang benar. Ketika terjadi malfungsi pada sistem pendorong, satelit bisa kehilangan kendali atau terhambat dalam mencapai posisi orbit yang optimal.

Riwayat masalah ini menggambarkan tantangan kompleks yang sering dihadapi dalam pengoperasian satelit. Meskipun teknologi antariksa terus berkembang, faktor seperti malfungsi teknis dapat berdampak besar pada operasional satelit dan layanan yang mereka sediakan. Kejadian ini juga menyoroti perlunya perencanaan mitigasi risiko dan pemantauan berkelanjutan untuk memastikan bahwa satelit dapat berfungsi secara optimal selama masa operasionalnya.

Masalah lain pada sistem propulsi (penggerak) terjadi ketika satelit Intelsat 33e menjalani prosedur yang dikenal sebagai station-keeping atau penjagaan posisi stasiun. Prosedur ini sangat penting karena memungkinkan satelit untuk tetap berada di orbit yang benar dengan ketinggian dan posisi yang stabil di atas Bumi. Dalam orbit geostasioner, satelit harus terus melakukan penyesuaian kecil agar tidak bergeser dari lokasinya dan dapat memberikan layanan komunikasi secara konsisten.

Namun, sistem pendorong Intelsat 33e mengalami masalah saat melakukan penyesuaian ini, sehingga satelit harus menggunakan lebih banyak bahan bakar dari yang diperkirakan untuk mempertahankan posisinya. Akibatnya, konsumsi bahan bakar yang berlebihan ini membuat masa operasional satelit menjadi lebih pendek dari yang direncanakan. Awalnya, misi Intelsat 33e dijadwalkan berakhir setelah 15 tahun, tetapi dengan kondisi ini, misi akan berakhir sekitar 3,5 tahun lebih awal*, yaitu pada 2027.

Sebagai dampak dari masalah teknis tersebut, Intelsat mengajukan klaim asuransi sebesar USD 78 juta. Klaim ini diajukan untuk menutupi kerugian finansial yang disebabkan oleh kerusakan pada sistem propulsi, yang mengurangi efektivitas dan masa guna satelit. Insiden ini menunjukkan betapa pentingnya perencanaan cadangan dan pengelolaan risiko dalam misi antariksa, mengingat setiap komponen, seperti sistem pendorong, memainkan peran krusial dalam memastikan satelit dapat beroperasi dengan baik dan mencapai masa pakai yang diharapkan.

Namun, pada saat satelit Intelsat 33e hancur, satelit tersebut tidak lagi memiliki asuransi. Intelsat kini sedang melakukan penyelidikan untuk mencari tahu apa yang menyebabkan kerusakan dan kehancuran ini, tetapi ada kemungkinan penyebab pastinya tidak akan pernah terungkap. Menariknya, satelit Intelsat lain dari seri EpicNG 702 MP, yang juga diproduksi oleh Boeing, mengalami kegagalan serupa pada 2019, yang menambah daftar masalah teknis dalam misi satelit ini.

Meningkatnya Masalah Sampah Luar Angkasa

Lebih penting dari insiden ini adalah dampak jangka panjang terhadap orbit Bumi yang semakin dipadati oleh sampah luar angkasa. Kehancuran satelit seperti Intelsat 33e menghasilkan puing-puing baru yang menambah risiko di orbit. Puing-puing ini termasuk serpihan besar hingga partikel kecil yang dapat bertahan di orbit selama puluhan hingga ratusan tahun, mengancam operasional satelit aktif dan stasiun luar angkasa.

Menurut estimasi Badan Antariksa Eropa (ESA), saat ini terdapat lebih dari 40.000 objek berukuran lebih besar dari 10 cm yang mengorbit Bumi. Selain itu, ada sekitar 130 juta keping puing yang berukuran lebih kecil dari 1 cm. Meskipun kecil, serpihan ini tetap berbahaya karena bergerak dengan kecepatan sangat tinggi—hingga 28.000 km/jam—sehingga dapat merusak atau menghancurkan satelit aktif jika terjadi tabrakan.Dengan bertambahnya jumlah sampah antariksa, risiko tabrakan meningkat, menciptakan efek domino yang dikenal sebagai sindrom Kessler, di mana tabrakan antariksa menghasilkan lebih banyak puing, yang kemudian meningkatkan kemungkinan tabrakan berikutnya. Oleh karena itu, peristiwa seperti ini menyoroti urgensi pengelolaan sampah antariksa, termasuk pengembangan teknologi untuk membersihkan orbit dan mencegah tabrakan di masa depan.

Saat ini, total massa benda antariksa buatan manusia yang mengorbit Bumi diperkirakan mencapai 13.000 ton. Untuk memberikan gambaran, massa ini setara dengan 90 paus biru jantan dewasa, yang merupakan hewan terbesar di Bumi. Dari jumlah ini, sekitar sepertiga—yakni 4.300 ton—berupa puing-puing antariksa, yang sebagian besar berasal dari sisa-sisa badan roket dan serpihan satelit yang tidak berfungsi.

Tantangan Melacak Sampah Antariksa

Melacak dan mengidentifikasi puing-puing luar angkasa merupakan tantangan besar, terutama karena objek-objek ini tersebar di berbagai orbit dengan kecepatan sangat tinggi. Di orbit yang lebih tinggi, seperti tempat Intelsat 33e beroperasi pada 35.000 km di atas permukaan Bumi, hanya objek dengan ukuran tertentu yang bisa terlihat menggunakan fasilitas pemantauan saat ini. Salah satu kekhawatiran utama dari kehancuran Intelsat 33e adalah bahwa serpihan-serpihan kecil yang dihasilkan kemungkinan terlalu kecil untuk terdeteksi. Meskipun ukurannya kecil, serpihan-serpihan ini tetap berbahaya karena dapat bergerak dengan kecepatan ribuan kilometer per jam, cukup untuk merusak atau menghancurkan satelit aktif jika terjadi tabrakan.

Dalam beberapa bulan terakhir, astronom dan peneliti luar angkasa telah menyaksikan semakin banyak insiden pemecahan benda-benda antariksa. Banyak di antaranya adalah objek yang telah dinonaktifkan atau ditinggalkan di orbit, bergerak tanpa kendali. Serpihan ini memperparah masalah sampah antariksa yang sudah ada, meningkatkan risiko tabrakan dan mengancam keselamatan satelit aktif, termasuk satelit komunikasi dan observasi penting.

Perkembangan ini menegaskan pentingnya pengelolaan sampah antariksa secara proaktif. Teknologi dan kebijakan baru diperlukan untuk membersihkan orbit Bumi dan mencegah sindrom Kessler, di mana tabrakan antariksa menghasilkan lebih banyak serpihan dan menciptakan efek domino yang bisa membahayakan seluruh ekosistem ruang angkasa.

Pada Juni lalu, satelit RESURS-P1 mengalami keretakan saat berada di orbit rendah Bumi pada ketinggian sekitar 470 km. Keretakan ini menciptakan lebih dari 100 serpihan puing yang dapat dilacak menggunakan teknologi pemantauan antariksa. Namun, kejadian tersebut kemungkinan juga menghasilkan serpihan-serpihan yang lebih kecil yang terlalu kecil untuk terdeteksi dengan fasilitas pemantauan saat ini. Meski tak terlihat, serpihan kecil ini tetap berbahaya karena dapat bergerak dengan kecepatan tinggi dan menimbulkan kerusakan serius jika bertabrakan dengan satelit atau wahana lain.

Pada Juli, terjadi insiden lain ketika wahana antariksa 5D-2 F8 milik Defense Meteorological Satellite Program (DMSP), sebuah satelit cuaca militer, hancur di orbit. Peristiwa ini menambah daftar kejadian di mana satelit yang dinonaktifkan hancur, menciptakan puing-puing baru di orbit Bumi.Kemudian, pada Agustus, bagian tahap atas roket Long March 6A (CZ-6A), milik China, pecah menjadi berkeping-keping. Peristiwa ini menghasilkan setidaknya 283 keping puing yang dapat dilacak dan diperkirakan juga menciptakan ratusan ribu serpihan kecil yang tidak dapat terpantau.

Insiden-insiden ini menyoroti tantangan besar dalam mengelola sampah antariksa, karena setiap pecahan baru meningkatkan risiko tabrakan di masa mendatang. Puing-puing dari satelit dan roket yang hancur ini dapat tetap berada di orbit selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun, menciptakan ancaman serius bagi satelit aktif dan wahana antariksa lainnya, termasuk Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Meningkatnya jumlah puing-puing di orbit memperparah risiko terjadinya sindrom Kessler, yaitu situasi di mana tabrakan antariksa menghasilkan lebih banyak serpihan, memicu tabrakan beruntun yang dapat membuat orbit Bumi menjadi zona berbahaya bagi operasional di masa depan. Insiden ini menegaskan perlunya pengembangan teknologi pembersihan orbit dan kebijakan internasional untuk mengurangi ancaman dari sampah antariksa.

Masih belum dapat dipastikan apakah kehancuran satelit dan roket terbaru ini akan berdampak langsung pada objek lain di orbit. Inilah mengapa pemantauan langit secara berkelanjutan menjadi sangat penting. Dengan pemantauan yang konsisten, para ilmuwan dan badan antariksa dapat melacak pergerakan puing-puing antariksa dan memprediksi risiko tabrakan, serta memahami lingkungan orbit yang semakin padat dan kompleks. Ketika puing-puing antariksa terbentuk, muncul pertanyaan besar: siapa yang bertanggung jawab untuk membersihkan atau setidaknya memantau puing-puing tersebut? Saat ini, tanggung jawab pengelolaan sampah antariksa masih menjadi masalah global yang belum sepenuhnya terselesaikan. Meskipun beberapa negara dan lembaga antariksa, seperti NASA atau ESA (Badan Antariksa Eropa), memantau puing-puing besar dan mengoordinasikan upaya untuk menghindari tabrakan, tidak ada kesepakatan internasional yang jelas tentang pihak mana yang bertanggung jawab untuk membersihkan orbit Bumi.

Sebagian besar puing di luar angkasa berasal dari peluncuran roket dan satelit yang dilakukan oleh berbagai negara dan perusahaan. Namun, setelah misi selesai, satelit atau roket yang sudah tidak digunakan dibiarkan begitu saja di orbit, menjadi sampah antariksa. Upaya untuk membersihkan orbit membutuhkan teknologi yang mahal dan rumit, seperti satelit penangkap puing atau sistem laser yang dapat memindahkan serpihan keluar dari orbit. Tanpa kerja sama internasional dan kebijakan yang jelas, ancaman dari sampah antariksa akan terus meningkat. Sampah-sampah ini tidak hanya mengancam satelit komunikasi dan sistem navigasi, tetapi juga menimbulkan risiko bagi astronot di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dan misi eksplorasi luar angkasa di masa depan. Oleh karena itu, komunitas internasional harus segera mengembangkan regulasi dan teknologi yang efektif untuk mengurangi dampak dan risiko dari sampah antariksa sebelum situasinya semakin memburuk.

Secara prinsip, negara yang meluncurkan objek ke luar angkasa bertanggung jawab atas segala kerusakan atau gangguan yang ditimbulkan oleh objek tersebut, terutama jika kesalahan dapat dibuktikan. Prinsip ini diatur dalam Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects (Konvensi Tanggung Jawab Internasional atas Kerusakan yang Disebabkan oleh Objek Antariksa), yang disahkan pada tahun 1972. Konvensi ini menggariskan bahwa negara peluncur bertanggung jawab secara hukum jika satelit atau roketnya menyebabkan kerusakan, baik di Bumi maupun di ruang angkasa.Namun, dalam praktiknya, akuntabilitas sering kali sulit diterapkan. Meski ada kerangka hukum, penegakan aturan ini menghadapi tantangan, terutama karena sulit untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab saat puing-puing antariksa bertabrakan atau menyebabkan kerugian. Sebagai contoh, hingga saat ini, hanya ada sedikit kasus di mana negara atau entitas yang meluncurkan objek antariksa benar-benar dikenai sanksi.

Baru pada 2023, Komisi Komunikasi Federal Amerika Serikat (FCC)** untuk pertama kalinya mengeluarkan denda atas sampah antariksa. Ini merupakan tonggak penting dalam upaya penegakan regulasi antariksa, menunjukkan bahwa pemerintah mulai serius menangani masalah sampah antariksa. Namun, tidak jelas apakah kasus kehancuran Intelsat 33e akan dikenai denda serupa, mengingat kompleksitas dalam menentukan penyebab pasti dan pihak yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

Tantangan ini menunjukkan perlunya kerja sama internasional yang lebih kuat dan sistem regulasi yang jelas untuk menangani dampak sampah antariksa. Selain menghukum pelanggaran, kebijakan antariksa masa depan perlu mendorong pengelolaan orbit secara berkelanjutan, termasuk pembuatan teknologi yang mampu mengurangi sampah antariksa dan mencegah insiden serupa terjadi lagi.

REFERENSI:

Johnson, Sarah. 2022. Innovations in Satellite Communication Systems. DOI:10.69610/j.tet.20220323

Zhang, Y., et al. 2015. Artificial intelligence for satellite communication. IEEE Transactions on Signal Processing, 63(21), 5956-5975.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top