Sayap Kupu-kupu Menginspirasi Lahirnya Sel Surya yang Lebih Efisien

Energi matahari telah banyak dimanfaatkan sejak abad ke 19. Ada dua cara pemanfaatan energi matahari yaitu dengan menggunakan efek fotovoltaik/fotoelektrokimia […]

blank

Energi matahari telah banyak dimanfaatkan sejak abad ke 19. Ada dua cara pemanfaatan energi matahari yaitu dengan menggunakan efek fotovoltaik/fotoelektrokimia untuk menghasilkan listrik dan cara kedua menggunakan cermin untuk menghasilkan energi panas. Pemanfaatan energi matahari dengan cermin merupakan cara yang paling mudah dilakukan karena menjadikan cermin sebagai kolektor panas matahari. Sedangkan pemanfaatan secara fotovoltaik/fotoelektrokimia yaitu menggunakan energi matahari untuk mengeksitasi elektron pada material semikonduktor sehingga menghasilkan listrik. 

Perangkat yang mengkonversi energi matahari menjadi listrik disebut sel surya (solar cell). Sampai saat ini, sel surya terbagi menjadi tiga generasi. Generasi pertama merupakan sel surya berbasis silikon, generasi kedua merupakan sel surya berbasis lapisan tipis (thin film) dan generasi ketiga merupakan sel surya organik. Sel surya generasi pertama dan kedua merupakan sel surya yang memiliki efisiensi lebih dari 20%. Sel surya pertama merupakan sel surya yang paling banyak digunakan karena efisiensinya mencapai 26%. Sel surya generasi kedua lebih unggul dari generasi pertama  jika ditinjau dari ketebalannya.  

blank

Gambar 1. Perkembangan penelitian sel surya dari berbagai teknologi[1]

Material semikonduktor pada teknologi sel surya lapisan tipis (generasi kedua) mampu menyerap cahaya dengan panjang gelombang yang lebar ketika dibuat seperti sandwich. Efisiensi yang dihasilkan mampu mencapai lebih dari 40%. Namun, sel surya ini menggunakan material semikonduktor yang beracun seperti Arsen (As), Tellurium (Td), dan Cadmium (Cd). Selain itu, sel surya generasi kedua juga menggunakan material yang tergolong rendah keberadaannya di alam seperti Galium (Ga), Germanium (Ge) dan Indium (In). Padahal jika dibandingkan dengan generasi pertama, sel surya generasi kedua ini lebih murah dan ringan karena ukurannya yang lebih kecil (nanometer).

Pada bulan Oktober 2017, para peneliti dari California Institute of Technology (Caltech) dan Kalsruhe Institute of Technology (KIT) mendapatkan inspirasi dari kupu-kupu hitam (Pachliopta aristolochiae) untuk meningkatkan penyerapan cahaya pada sel surya. Kupu-kupu jenis tersebut banyak dijumpai di Asia Tenggara dan Selatan. Kupu-kupu hitam menyimpan energi matahari dengan sayapnya secara efektif untuk terbang di udara yang dingin. Kisi-kisi pada sayapnya membantu kupu-kupu tersebut untuk mengatur suhu tubuhnya. Radwanul H Siddique, salah satu peneliti dari Caltech, mengamati sayap kupu-kupu dibawah SEM dan membuat model 3D-nya. Sayap tersebut memiliki lubang-lubang dengan diameter antara 150 – 600 nm[2] tampak acak, namun dengan menggunakan model computer, para peneliti menemukan bahwa posisi dan urutan berperan penting dalam menyerap cahaya, tapi tidak dengan bentuknya. Bentuk dan ukuran lubang pada sayap kupu-kupu akan diterapkan pada sel surya lapisan tipis yaitu hydrogenated amorphous silicon (a-Si:H).

blank

blank

Gambar 2. (a) Morfologi SEM dari sayap kupu-kupu hitam dengan diameter lubang pada skala nanometer[3] (b) Bentuk 3D dari sayap kupu-kupu hitam (c) Bentuk 3D dari sel surya yang mengadopsi bentuk lubang-lubang berukuran nanometer pada sayap kupu-kupu hitam[4]

Sel surya jenis a-Si:H banyak digunakan pada kalkulator, jam dan mainan anak-anak. Efisiensi yang dihasilkan sel surya ini berada pada rentang 4 – 10%. Bahan baku untuk membuatnya adalah silikon yang berikatan dengan hidrogen. Produksi sel surya jenis a-Si:H jauh lebih murah dibandngkan dengan sel surya generasi pertama karena jumlah silikon yang dibutuhkan jauh lebih sedikit. Keunggulan lainnya adalah dapat diterapkan pada substrat yang lentur. Sel surya tersebut cocok digunakan pada panjang gelombang yang rendah. Dengan mengadopsi struktur sayap kupu-kupu hitam, sel surya jenis a-Si:H dapat beroperasi dari panjang gelombang yang rendah hingga tinggi. Hal ini tentu saja dapat meningkatkan tingkat penyerapan cahaya oleh sel surya tersebut.

blank

Gambar 3. Lubang berukuran nanometer pada sayap kupu-kupu meningkatkan tingkat penyerapan cahaya pada sel surya a-Si:H[5]

Proses pembuatan lubang-lubang pada sel surya a-Si:H menggunakan polimer jenis PMMA (berat molekul = 9590 gr/mol) dan PS (berat molekul = 19100 gr/mol). Metode yang digunakan adalah spin-coating dengan kecepatan 1500 rpm. Para peneliti menjelaskan bahwa proses pembuatannya mudah dan cepat. Waktu yang dibutuhkan sekitar 5 – 10 menit untuk membuat lubang-lubang berukuran nano pada permukaan silikon setebal 130 nm. Hasil penelitian menunjukkan tingkat penyerapan cahaya meningkat 200 persen dibandingkan struktur yang sebelumnya.

blank

Gambar 4. Proses pembuatan lubang-lubang berukuran nanometer pada permukaan silikon[2]

Hal paling menarik dari penelitian ini adalah meniru struktur sayap kupu-kupu. Dengan memahami konsep dasar fisiologis, maka kita dapat mengambil konsep itu dan mengadopsinya untuk diterapkan pada teknologi saat ini. “I think what’s interesting is the excellent approach of looking at the underlying physiological concepts and then taking these concepts and emulating them in a structure that doesn’t look quite look like how a butterfly looks but does the same physics. the design will need to be scaled, but the fabrication techniques discussed in the paper were relatively simple”, Tambah Matthias Kolle, Profesor bidang engineering di MIT[6]. Dilihat dari proses pembuatannya, sel surya a-Si:H dengan modifikasi lubang berukuran nanometer dapat diproduksi secara massal karena murah dan waktunya cepat. Sayap kupu-kupu telah berhasil merevolusi teknologi sel surya generasi kedua.

 

Referensi

[1] Hartono, T. 2017. Perovskite as A Future Solar Cell Material. Bandung : Institut Teknologi Bandung

[2] Siddique, R.H., Yidenekachew J.D., Guillaume G., Sisir Y., Tsvetelina M., Uli L., dan Hendrik H. 2017. Bioinspired Phase-Separated Disordered Nanostructures for Thin Photovoltaic Absorbers. Sci Adv 3 (10), e1700232, DOI: 10.1126/sciadv.1700232

[3] Yirka, B. 2017. Black Butterfly Wings Offer A Model for Better Solar Cells. https://phys.org/news/2017-10-black-butterfly-wings-solar-cells.html (Diakses pada 1 Januari 2018)

[4] Thompson, A. 2017. Solar Panels Might Get More Efficient Thanks to A Butterfly. http://www.popularmechanics.com/science/green-tech/news/a28686/butterfly-solar-panel-design/ (Diakses pada 1 Januari 2018)

[5] Smith, M. 2017. A Black Butterfly’s Wings Point The Way Towars Better Solar Cells. https://www.seeker.com/earth/energy/a-butterflys-wings-point-the-way-toward-better-solar-cells (Diakses pada 1 Januari 2018)

[6] Chen, A. 2017. Butterfly Wings Inspire A Better Way to Absorb Light in Solar Panels. https://www.theverge.com/2017/10/19/16503258/butterfly-wings-engineering-solar-cell-energy-biomimicry (Diakses pada 1 Januari 2018)

 

Baca juga : Superkapasitor Fleksibel Berbahan Reduced Graphene Oksida (rGO) Pada Pakaian Untuk Memonitor Detak Jantung

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *