Pemateri: drh. Setyo Yudhanto, MSc. (Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Alumni Tsukuba Life Science Innovation at Tsukuba University Japan)
Moderator: Tazkia Qonita Zahra (Kontributor junior warstek.com)
Diskusi
Sesuai tema diskusi kita, saya akan mencoba menyampaikan beberapa informasi awal untuk bahan diskusi selanjutnya, info-info itu akan berkisar catatan dalam sejarah manusia tentang beberapa hewan yang terkait dengan wabah penyakit, bagaimana penyakit itu ditularkan, serta terkait hewan yang belakangan banyak dibahas karena diduga sebagai sumber penularan virus SARS-CoV-2, kelelawar.
Tercatat dalam sejarah, manusia pernah beberapa kali mengalami masa-masa outbreak/ wabah penyakit seperti yang terjadi saat ini. Meskipun penyebabnya berbeda-beda, hampir 60% wabah yang terjadi disebabkan oleh penyakit zoonosis, yakni, penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia. Wabah penyakit menular ini terjadi akibat interaksi kompleks antara agen penyebab penyakit, manusia, dan lingkungan. Baik itu terkait faktor biologis, terutama sifat penyakit itu sendiri yang menjadi agen penyakit bagi manusia dan hewan. Juga faktor-faktor lain seperti kondisi sosial budaya, politik, dan ekonomi yang memiliki peranan dalam proses munculnya penyakit-penyakit infeksius.
pexels.com
Teman-teman tentu memahami bahwa hal-hal seperti perilaku harian manusia, demografi, kemajuan teknologi dan industri, perkembangan ekonomi, perdagangan, perjalanan manusia yang menembus batas negara, kondisi lingkungan dan pemanfaatan lahan, serta keterbatasan sistem kesehatan; menjadikan masyarakat dunia ini rawan terhadap munculnya wabah penyakit zoonosis, baik yang ditularkan dari hewan ternak ke manusia ataupun hewan liar ke manusia. Hewan yang menjadi perantara penyakit sering dikategorikan sebagai hewan reservoir. Oleh Center for Disease Control and Prevention (CDC) definisi reservoir agen infeksi adalah habitat dimana agen penyakit itu normalnya hidup, tumbuh, dan bertambah banyak/ berkembang biak. Reservoir yang dimaksud termasuk manusia, hewan, dan lingkungan. Sebagai catatan, reservoir belum tentu menjadi sumber penularan penyakit, sebagai contoh: tanah adalah reservoir Clostridium botulinum, akan tetapi sumber penularannya bukanlah tanah, melainkan produk makanan kaleng yang terpapar spora Clostridium botulinum.
Diantara hewan-hewan reservoir yang sering kita dengar adalah, kutu, tikus, nyamuk, burung, babi, monyet, unta, dan kelelawar. Dalam satu dekade terakhir, beberapa penyakit signifikan ditransmisikan atau diduga ditularkan oleh hewan ke manusia, seperti diantaranya: rabies, ebola, marburg, nipah, Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus (SARS CoV), Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS CoV), hingga tentu saja Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Berdasarkan catatan sejarah wabah di dunia, banyak penyakit yang berhubungan dengan hewan reservoir yang langsung maupun tidak langsung menjadi sumber penyebaran penyakit. Kali ini saya akan mengambil beberapa contoh hewan dan kasus wabah yang mendapat perhatian besar, antara lain :
Tikus pada Wabah Black Death/ Bubonic Plague/ Wabah Pes (1347-1351), Italian plague (1629-1631), dan Third Plague (1885):
pexels.com
Meskipun ini bukan disebabkan oleh virus, penyakit ini memiliki beberapa hal yang di kemudian hari menjadi penting untuk diterapkan. Wabah penyakit ini sendiri menular melalui kontak langsung dengan pembawanya, terutama kutu yang menumpang pada tikus (Xenopsylla cheopis), meskipun diketahui hampir semua hewan mamalia dapat menjadi perantara penyakit ini. Diduga, awal mula kejadian wabah ini adalah ketika di zaman kekaisaran Bizantium, tikus yang membawa kutu yang terpapar bakteri Yersinia pestis, ikut bersembunyi di dalam upeti yang dikirim kepada kaisar Justinian dari Mesir melalui Laut Mediterania. Pada hewan, kebanyakan gejala penyakit ini tidak spesifik. Namun, pada kucing, tingkat kematian hewan yang terinfeksi bisa mencapai 60 %. Sedangkan, gejala penyakit ini pada manusia, diantaranya gangrene, pembengkakan limfa, demam, muntah darah, sesak nafas, dan lemas.
Penyebab wabah ini akhirnya ditemukan ketika peneliti berhasil mengidentifikasi bakteri yang terdapat di kutu tikus tahun 1800-an. Ahli bakteriologi Jepang Shibasaburo Kitasato dan Alexandre Yersin dari Institute Pasteur yang berangkat ke Hongkong pada waktu hampir bersamaan, dan kemudian menemukan jenis bakteri baru pada tubuh pasien pes dan tikus yang mati di daerah wabah. Kitasato menjadi orang pertama yang mempublikasikan temuan mikroorganisme baru ini, namun, nama Yersin yang kemudian dipakai untuk menyebut bakteri penyebab pes, yaitu Yersinia pestis.
Penyakit Pes ini mungkin tidak begitu dikenal hari ini. Teknologi kedokteran telah berhasil mengidentifikasi cara memberantas penyakit mematikan ini sejak lama. Tak ada lagi wabah pes yang begitu mengerikan seperti yang terjadi di abad pertengahan. Di Indonesia, penyakit ini pernah mewabah di seluruh Jawa pada awal abad ke-20. Sedangkan WHO mencatat, penyakit ini masih terjadi sepanjang 2010-2015. Dilaporkan ada 3.248 kasus Pes di dunia dengan angka kematian mencapai 584 korban jiwa. Kejadian Epidemi paling parah tercatat ada di Kongo, Madagaskar, dan Peru.
Wabah Pes atau Black Death ini telah beberapa kali terjadi, tercatat berbagai sebutan untuk penyakit ini, seperti the Pestilence, the Great Bubonic Plague, the Great Plague atau the Plague, the Great Mortality atau the Black Plague, Plague of Justinian, Great Plague of London, Italian plague, Third Plague. Nama-nama ini menggambarkan betapa banyaknya kejadian dan luasnya persebaran penyakit ini. Di Eropa wabah ini menyebabkan 60% populasi orang di Eropa menjadi korban jiwa. Karena salah satu gejala yang ditimbulkannya adalah kematian jaringan tubuh yang terkena (gangrene), sehingga organ tubuh seperti ujung tangan yang menghitam, peristiwa mengerikan yang terjadi pada abad ke-14 itu dikenal dengan nama Black Death.
Dari kasus Black Death inilah banyak tercatat tentang penanganan penyakit seperti isolasi pasien, penandaan terhadap kerabat orang yang sakit, pemberantasan hewan pembawa penyakit, hingga karantina sejumlah orang di suatu tempat.
Babi yang berperan pada Wabah Flu Babi
pexels.com
Virus flu babi pertama kali diisolasi dari babi pada 1930-an oleh para peneliti di Amerika Serikat. Pada babi, virus flu babi yang banyak ditemukan antara lain : swine triple reassortant (tr) H1N1, trH3N2 dan trH1N2. Selain wabah H1N1 pada 2009, virus influenza yang beredar pada populasi babi berbeda dengan influenza yang menular pada manusia. Pada kejadian penularan virus ini ke manusia, biasanya disebut variant dari virus ini. Manusia dapat tertular virus ini karena berinteraksi dengan babi yang sakit, selain variant tertentu yang mampu menular dari manusia ke manusia seperti yang terjadi pada tahun 2009.
Babi adalah reservoir paling penting untuk virus influenza A, karena bertindak sebagai perantara untuk penularan antar spesies dan genetic reassortment (pencampuran genetik yang menghasilkan strain baru). Hal ini disebabkan oleh tingginya kerentanan babi terhadap virus influenza yang berasal dari manusia dan unggas. Kenapa hal itu bisa terjadi?, para peneliti menyimpulkan bahwa ini dikarenakan babi memiliki reseptor tempat menempelnya virus yang sama dengan yang ada pada unggas (sialic acid-alpha-2,3-terminal saccharides (SA-alpha-2,3)), dan pada babi serta manusia (SA-alpha-2,6) yang biasa terdapat pada saluran pernafasan atas tubuhnya. Sehingga, jika babi terinfeksi virus dari unggas dan manusia secara bersamaan, dimungkinkan terjadi pencampuran materi genetik virus yang dapat menghasilkan tipe virus baru. Tentunya itu berpotensi menjadi wabah penyakit bagi spesies yang lain.
Unggas yang menjadi reservoir beberapa penyakit, seperti: Flu Asia, Flu Hongkong, dan Flu Burung
pexels.com
Unggas aquatik merupakan inang alami bagi sebagian besar jenis virus influenza A. Virus ini dapat menular pada spesies lain, berdampak besar pada peternakan unggas domestik, dan dapat menimbulkan wabah influenza pada manusia.
Virus Influenza tipe A ini merupakan virus yang tercatat paling berbahaya bagi manusia, serotipe yang telah dikonfirmasi ada pada manusia, diurutkan berdasarkan jumlah korban jiwa, adalah:
- Virus influenza A subtipe H1N1, yang menimbulkan Flu Spanyol pada tahun 1918, dan Flu Babi pada tahun 2009;
- Virus influenza A subtipe H2N2, yang menimbulkan Flu Asia pada tahun 1957;
- Virus influenza A subtipe H3N2, yang menimbulkan Flu Hongkong pada tahun 1968; dan
- Virus influenza A subtipe H5N1, yang menimbulkan Flu Burung (Avian Influenza/ AI) pada tahun 2004.
Subtipe terakhir adalah subtipe yang sangat berkaitan dengan unggas. Di Indonesia, hingga saat ini AI masih menjadi persoalan di bidang perunggasan, terutama industri peternakan ayam pedaging. AI ini dikategorikan sebagai High Pathogenic Avian Influenza (HPAI) yang dapat menyebabkan kematian hingga 100% pada unggas yang terinfeksi dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) yang tidak terlalu ganas. Penularan flu burung ini ke manusia dapat terjadi jika cukup banyak virus masuk ke tubuh manusia melalui mata, mulut, atau terhirup melalui hidung saat virus berada di udara (droplets atau debu). Faktor lain yang diduga berpengaruh adalah migrasi burung liar, perdagangan internasional, dan manajemen pemeliharaan unggas.
Anjing pada Penyebaran Rabies
unsplash.com
Rabies adalah salah satu penyakit viral yang paling berbahaya bagi manusia maupun hewan, dan mungkin sudah dilaporkan atau diceritakan turun temurun sejak 2300 SM.
Virus rabies ini menyerang sistem saraf pusat mamalia, termasuk manusia. Virus ini secara spesifik ditemukan pada saliva/ liur dan otak hewan yang terinfeksi. Penularannya melalui saliva hewan terinfeksi, paling sering ada pada anjing. Periode inkubasinya bervariasi, dari beberapa hari sampai beberapa bulan. Saat gejala muncul, penyakit ini sangat fatal, baik bagi manusia maupun hewan.
Vaksin rabies virus (RABV) sendiri baru ditemukan oleh Louis Pasteur pada tahun 1886, sehingga strategi pencegahannya dapat dikembangkan. Namun demikian, masih dilaporkan lebih dari 50.000 orang meninggal dunia per tahun, dengan fatality rate sebanyak 60% di Asia (Knobel et al., 2005).
Cara pencegahan rabies selama ini adalah:
- Vaksinasi massal anjing-anjing pada daerah terinfeksi (ini adalah cara yang dianggap paling efektif untuk memutus siklus penyebaran penyakit dari manusia dan hewan);
- Vaksinasi untuk pencegahan pada manusia;
- Pemberian serum anti-rabies setelah terjadi gigitan anjing yang diduga terinfeksi rabies.
Kelelawar pada Penyebaran COVID-19
unsplash.com
Reservoir terakhir ini mungkin yang paling menyita perhatian akhir-akhir ini. Hewan ini banyak dikaitkan dengan penyakit infeksi yang berbahaya bagi manusia. Virus-virus seperti ebola, marburg, nipah, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) CoV, Middle East Respiratory Syndromes (MERS) CoV dinilai memiliki keterkaitan erat dengan kelelawar.
Meskipun sampai saat ini belum ada yang dapat membuktikan bahwa kelelawar adalah penyebab Covid-19. Peneliti telah berhasil mengisolasi/ mendeteksi lebih dari 248 virus baru pada kelelawar. Beberapa virus yang berpotensi menjadi zoonosis, beberapa diantaranya adalah virus dari keluarga Coronaviridae, Herpesviridae, Paramyxoviridae, Adenovirus, dan Astrovirus. Peran kelelawar dalam transmisi penyakit zoonotis diduga berkaitan dengan sistem imunnya yang unik. Virus yang bersirkulasi di kelelawar seperti tidak menyebabkan gejala klinis yang berat bagi kelelawar. Akan tetapi, jika menular ke hewan lain atau manusia, virus dapat menyebabkan gejala yang lebih berat dan penyebaran yang lebih cepat.
Sebagai satu-satunya mamalia terbang, kelelawar memiliki metabolic rates yang tinggi, bahkan disebut bahwa itu dua kali tingkat metabolisme rodensia yang berlari. Dengan tingginya aktivitas fisik dan tingkat metabolisme, membuat kerusakan jaringan pada tubuh kelelawar sangat tinggi. Sehingga untuk melawan hal tersebut, kelelawar mengembangkan mekanisme fisiologi yang efisien untuk membersihkan molekul rusak dan memperbaiki jaringan yang rusak. Tingginya suhu tubuh kelelawar saat beraktivitas diduga mampu menekan jumlah virus patogen dalam tubuh kelelawar. Suhu tubuh kelelawar ketika terbang dapat mencapai 41 ℃, yang pada mamalia lain hanya terjadi ketika demam, yaitu: 38-41 ℃. Peningkatan suhu tubuh ini menjadi seleksi alami untuk virus sehingga menyebabkan diversitas virus pada kelelawar. Proses ini mengakibatkan virus mampu bertahan pada rentang suhu yang lebih lebar dan mampu beradaptasi dengan pejamu yang baru, seperti manusia.
Sesi Tanya-Jawab (Q&A)
- Intan: Q. Bagaimana cara mengetahui hewan yang sudah terjangkit virus?, adakah indikasi yang dapat diamati?. A. Beberapa hewan yang terjangkit virus atau menjadi reservoir akan memiliki respon imun yang berbeda-beda. Ada yang tidak akan memperlihatkan gejala spesifik, contoh LPAI dan Coronavirus pada kelelawar yang memang memiliki mekanisme fisiologi, sehingga banyak terjadi kerusakan sel yang sekaligus dipercaya dapat melawan virus dalam tubuhnya. Sedangkan pada Rabies dan Flu Babi, hewan juga mengalami gejala. Pada sebagian babi yang terinfeksi virus flu babi sama sekali tidak memperlihatkan gejala. Tapi gejala yang mungkin timbul termasuk demam, batuk, leleran di hidung, kesulitan bernafas, bersin, mata kemerahan, dan turunnya nafsu makan. Sedangkan, gejala rabies pada hewan pada awal infeksi bisa jadi tidak spesifik, seperti lesu, demam, muntah, dan anoreksia. Namun, dalam beberapa hari kemudian dapat diikuti disfungsi serebral, disfungsi saraf kranial, ataksia, kelemahan, kelumpuhan, kejang, kesulitan bernapas, sulit menelan, air liur berlebihan, perilaku abnormal, agresif, dan sampai menyakiti dirinya sendiri.
- Maulid: Q1. Seperti info yang banyak beredar, yaitu virus Covid-19 ini berasal dari hewan kelelawar dan ditularkan akibat mengkonsumsinya, dan mungkin hewan ini pun sudah biasa dikonsumsi dari dahulu kala, menurut Bapak, mengapa virus ini baru muncul sekarang, Pak?, apakah ada kemungkinan perubahan gen dari hewan tersebut? jikalau ada, apakah ada kemungkinan untuk hewan yang biasa masyarakat Indonesia konsumsi seperti ayam, ikan dan lain lain?. A1. Sampai saat ini belum terbukti bahwa konsumsi kelelawar lah yang menjadi penyebab Covid-19. Terkait kenapa munculnya sekarang, indikasi paling kuat adalah karena sifat biologis virus ini yang sangat mudah bermutasi. Sebagai gambaran, pada ayam, virus corona ini (bukan SARS-CoV-2) juga ditemukan dan menyerang sistem imun ayam, tetapi virus ini dikenal sebagai virus musiman atau hanya muncul ketika musim tertentu (Fall dan Winter), tetapi SARS-CoV-2 ini meskipun dari “keluarga” yang sama, dia mampu menginfeksi di daerah yang beriklim tropis yang notabene memiliki karakter cuaca yang mirip dengan musim panas. Lalu, apakah mungkin virus yang muncul/ bermutasi dengan sangat cepat sehingga tiba-tiba menimbulkan wabah?, hal ini hampir tidak mungkin/ sangat sulit untuk terjadi. Karena Virus membutuhkan makhluk hidup untuk menumpang dan bereplikasi, sedangkan dalam tubuh makhluk hidup itu virus harus melewati berbagai macam barrier sistem imun tubuh. | Q2. Apakah sebenarnya ada buku atau panduan untuk pangan yang memberitahu hewan apa saja yang boleh dimakan dan tidak boleh dimakan?, karena menurut saya jika memang kita sudah tahu hewan apa saja yang tidak boleh dimakan karena bisa menyebabkan penyakit, lalu didukung pengawasan oleh pemerintah, kita bisa mencegah kejadian seperti ini terulang di kemudian hari. A2. Panduan atau buku banyak diterbitkan pada situs-situs organisasi kesehatan atau pemerintah, seperti WHO, OIE (untuk hewan), atau departemen terkait dengan pangan. Informasi yang memadai sangat penting untuk masyarakat. Dan tentu pencegahan lebih baik daripada mengobati.
- Fikri: Q. Terkait penamaan virus H1N1, H2N2, dan ‘teman-temannya’, berdasarkan apa?, kenapa tidak berurutan misalnya dari H1N1 ke H1N2?. A. Virus AI tipe A tersusun atas 8 segmen gen yang memberikan 10 sandi protein, yaitu polymerase basic-2 (PB2), polymerase basic-1 (PB1), polymerase acidic (PA), hemaglutinin (HA), nukleoprotein (NP), neuraminidase (NA), matrix (M) dan non-struktural (NS). Protein HA dan NA merupakan protein terpenting di dalam menimbulkan respon imun dan sebagai penentu subtipe virus AI. Berdasarkan perbedaan genetik antar virus AI, diketahui ada 16 subtipe hemaglutinin (H1-16) dan 9 subtipe neuraminidase (N1-9). Oleh karena itu, penamaannya berdasarkan perbedaan genetik tersebut.
- Imamul: Q. Apakah Covid-19 bisa ditularkan dari manusia ke hewan?, jika memang bisa, lalu bagaimana pemutusan rantainya?, dan bagaimana dengan hewan yang terpapar tersebut?, apakah harus dilakukan tindakan lanjutan kepada hewan tersebut karena merupakan sumber penyakit?, jika memang harus dimusnahkan bagaimana cara penyeleksiannya?. A. Ada dua laporan yang menyebutkan bahwa terjadi penularan Covid-19 kepada anjing dan kucing yang pemiliknya positif Covid-19. Namun, belum ada bukti hal sebaliknya dapat terjadi. Sehingga cara pemutusan rantai penularannya adalah sesuai dengan tindakan yang sudah sering kita baca. Dengan menjaga kebersihan diri sebelum dan sesudah berinteraksi dengan hewan kesayangan kita. Pada laporan yang saya sampaikan tadi, hewan yang terkena Covid-19 mengalami gejala yang tidak spesifik. Oleh karenanya, mirip dengan protokol pengobatan pada manusia, hewan tersebut diberikan terapi yang bersifat simptomatik/ sesuai gejala yang muncul karena memang belum ada obat untuk Covid-19 ini. Hewan kesayangan tersebut harus dimusnahkan atau tidak, tentu tidak, karena mereka juga korban, seperti manusia. Tidak terbukti menularkan kepada yang lain.
- Akid: Q. Jika di dalam tubuh hewan reservoir memungkinkan terjadinya rekombinasi gen virus/ agen penyakit lainnya, maka bisa dibilang seiring berjalannya waktu berbagai agen penyakit tersebut mengalami evolusi, dan seiring dengan evolusi yang terjadi kepada agen penyakit terhadap faktor genetik nya tadi, maka seiring waktu juga akan menimbulkan berbagai macam penyakit baru di masa yang akan datang, apakah benar pernyataan demikian?. A. Iya, betul sekali. Semua hal itu mungkin terjadi. Seperti yang saya sampaikan diawal: Wabah penyakit menular ini terjadi akibat interaksi kompleks antara agen penyebab penyakit, manusia, dan lingkungan. Baik itu terkait faktor biologis yang utamanya adalah sifat penyakit itu sendiri yang menjadi agen penyakit bagi manusia dan hewan. Juga faktor-faktor lain seperti kondisi sosial budaya, politik dan ekonomi, yang memiliki peranan dalam proses munculnya penyakit-penyakit infeksius. Kombinasi materi genetik itu seperti dalam pelajaran genetika, sebagai contoh, secara prinsip seperti halnya pada ayah-ibu yang bergolongan darah AB – AB bisa melahirkan anak dari bergolongan darah A, B, atau AB. Demikian juga dengan virus, mungkin suatu saat akan ada kombinasi yang mengakibatkan penyakit ringan maupun berat.
Penutup
Mengetahui banyaknya penyakit yang ada di sekitar kita, bukan untuk menjadikan kita takut berlebihan, tapi memacu kita untuk belajar dan berbuat lebih baik untuk lingkungan sekitar kita. Karena, kita sebagai manusia ikut memiliki andil dalam penyebaran penyakit, sekaligus kita juga yang mampu mencegah, melawan, dan mengobati berbagai penyakit tersebut. Stay safe and healthy untuk teman-teman semua!.