The world of nature was really quite simple, and that, if it appeared complicated to us, that was because we did not understand it properly.
Armitage, 1956, p. 73

Secara filosofis, mestinya alam semesta bisa kita deskripsikan sesederhana mungkin. Meskipun alam semesta tidak punya kewajiban, untuk kita mudah memahaminya. Salah satunya adalah teori yang mendeskripsikan sistem tata surya kita. Geosentris menyatakan bahwa Bumi merupakan pusat alam semesta dan objek-objek lain bergerak mengelilinginya. Teori ini kemudian terganti oleh sistem Heliosentris yang menyatakan bahwa Bumi bukanlah pusat alam semesta, melainkan Matahari adalah pusat sistem yang bernama tata surya dan Bumi bergerak mengelilinginya. Apa perbedaan kedua teori ini dan bagaimana heliosentris kemudian menggantikan geosentris yang telah bertahan hampir dua ribu tahun?
Sejak zaman dahulu, manusia sudah mulai mempertanyakan keberadaannya. Apakah mereka tinggal di sebuah tempat yang bergerak menuju sesuatu atau mereka diam dan sesuatu berupa titik-titik kecil mengelilingi mereka di malam hari? Pythagoras pertama kali meyakini bahwa Bumi tempat tinggal manusia berbentuk bulat sferis, berdasarkan perhitungan matematisnya. Selain itu, anggapan bahwa bentuk bulat adalah “sempurna” dan keyakinan agama bahwa manusia adalah makhluk sempurna juga mendorongnya berpikir tempat tinggalnya haruslah sempurna. Kemudian, Klaudius Ptolemaeus dari Alexandria mengusulkan teori gerak planet yang kompleks. Ia mengaplikasikan model geosentris yang menempatkan Bumi sebagai pusat alam semesta dan benda-benda langit (heavenly bodies) bergerak mengelilinginya. Bentuk bola dan lingkaran sempurna menjadi dasar hipotesisnya tentang pergerakan planet dalam sistem geosentris atau sistem Ptolemy.
Sistem geosentris/Ptolemy
Pada sistem Ptolemy, secara berurutan Bulan, Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, Saturnus, dan bintang-bintang yang diam, bergerak mengelilingi Bumi. Objek-objek tersebut bergerak pada dua lingkaran, yaitu deferent yang berpusat di Bumi dan epicycle yang berpusat di garis deferent.

Jadi, mereka bergerak mengelilingi Bumi pada lingkaran deferent sekaligus bergerak pada epicycle di dalam deferent. Secara prinsip geometri, teori Ptolemy sangatlah kompleks, tetapi mampu menjelaskan fenomena objek langit yang teramati. Salah satunya adalah gerak retrograde, yaitu saat planet tampak mendekat lalu menjauh dari Bumi. Selain itu, epicycle Merkurius dan Venus selalu berpusat pada garis antara Bumi dan Matahari, yang menjelaskan mengapa keduanya selalu berada dekat di langit.
Kegagalan sistem geosentris
Meski begitu, sistem ini tidak mampu menjelaskan beberapa hal, di antaranya:
- Inkonsistensi perlakuan rotasi planet pada epicycle dan deferent. Ptolemaeus mengabaikan rotasi tidak seragam planet-planet superior (Mars, Jupiter, dan Saturnus) pada epicyle-nya. Sementara rotasi tidak seragam dari planet-planet inferiod (Merkurius & Venus) tidak ia abaikan.
- Ptolemaeus membangun model geometris orbit Bulan yang mampu memprediksi garis bujur ekliptika Bulan. Sayangnya, model ini memerlukan variasi jarak Bumi-Bulan setiap bulan sebanyak dua kali lipat, yang berarti variasi diameter sudut Bulan juga berubah. Namun, variasi diameter Bulan yang teramati jauh lebih kecil dari ini.
- Tidak dapat menjelaskan fase-fase Venus yang teramati. Sistem Ptolemy membuat Venus selalu berada di antara Bumi dan Matahari, sehingga tidak akan pernah terlihat terang sepenuhnya dari Bumi. Namun, pengamatan oleh Galileo Galilei menunjukkan bahwa Venus memiliki fase-fase seperti Bulan.
- Kegagalan terakhir dalam sistem Ptolemy terletak pada invarian skalanya. Ptolemaeus dapat menentukan rasio radius epicycle terhadap radius deferent tiap planet menggunakan data posisi sudut saja, tetapi tidak dapat menentukan ukuran relatif deferent planet yang berbeda.
Sistem ini menjadi terlalu kompleks dengan penambahan berbagai perhitungan untuk menjelaskan tiap fenomena. Keberadaan Merkurius dan Venus yang selalu dekat dengan Matahari juga tidak ada alasannya, sehingga terkesan sebagai sebuah kebetulan.
Sistem heliosentris/Copernicus
Nicolaus Copernicus (1473 – 1543) seorang pengacara dari Polandia, dokter, dan kanon gereja, pertama kali mengembangkan model heliosentrisnya sekitar tahun 1510. Ia seorang revolusioner konservatif yang memegang teguh gagasan bahwa gerakan benda langit melingkar seragam. Ketika mempelajari sistem Ptolemy, ia merasa tidak puas dengan pendekatan Ptolemy. Menurutnya, asumsi bahwa Bumi adalah planet dan semua planet bergerak dalam lingkaran mengelilingi Matahari, dapat menghasilkan penyederhanaan secara filosofis maupun matematis. Copernicus juga mengungkapkan bahwa bintang-bintang mungkin saja berada pada jarak yang terlalu jauh untuk dapat terkena pengaruh gerak Bumi. Asumsi heliosentris bahkan memungkinkan Copernicus untuk pertama kalinya menentukan rasio jari-jari rata-rata berbagai planet di tata surya.

Masalahnya adalah kuatnya doktrin gereja saat itu membuat banyak pihak tidak menyetujui gagasan Copernicus. Beberapa akademisi berpendapat bahwa Copernicus lebih mengkhawatirkan kekurangan ilmiah dari teorinya dan mengesampingkan ketidaksetujuan gereja. Gagasannya pun hanya mempunyai sedikit pengikut dan pada suatu waktu, beberapa orang yang mempercayai gagasan tersebut mendapat tuduhan pengikut sesat. Ilmuwan Italia Giordano Bruno, bahkan dibakar di tiang pancang karena mengajarkan pandangan heliosentris Copernicus tentang alam semesta. Copernicus sendiri yang khawatir akan mendapat kritikan, tidak mempublikasikan hasil pemikirannya hingga 1543, tahun kematiannya. Padahal, sistem yang Copernicus usulkan saat itu benar secara kualitatif, meskipun masih memiliki kekurangan secara kuantitatif. Sistem ini mampu menjelaskan semua hal yang sistem geosentris tidak dapat jelaskan dan tidak terkesan memberi “kebetulan” atau memaksa perhitungan hanya untuk menjelaskan satu fenomena.
Dukungan sistem heliosentris
Pada tahun-tahun berikutnya, berbagai pengamatan berkembang dan semakin mendukung gagasan heliosentris milik Copernicus. Galileo Galilei (1564 – 1642) menggunakan teleskopnya berhasil mengamati bulan-bulan yang mengorbit Jupiter. Jika planet mengelilingi Bumi, maka seharusnya bulan-bulan tersebut tidak ada. Galileo juga mengamati fase-fase Venus yang membuktikan bahwa planet memang mengorbit Matahari. Pada waktu yang kurang lebih sama, seorang pengamat Tycho Brahe (1546 – 1601) dengan ahli teori Johannes Kepler (1571 – 1630) melakukan pekerjaan secara bersama. Tycho menyediakan data pengamatan sementara Kepler menggunakan keahliannya menganalisis dan melakukan perhitungan matematis, berdasarkan sistem heliosentris. Sepeninggalnya Tycho, Kepler terus bekerja menganalisis pergerakan planet dari data pengamatan Tycho. Kini kita dapat menjelaskan pergerakan planet di tata surya berdasarkan tiga hukum Kepler. Puncaknya pada tahun 1687, Isaac Newton meletakkan gagasan terakhir yang meruntuhkan sistem geosentris tentang alam semesta. Berdasarkan hukum Kepler, Newton menjelaskan mengapa planet-planet bergerak seperti yang terjadi mengelilingi Matahari dan dia memberi nama gaya yang menahannya: gravitasi.
Heliosentris sebagai pilihan
Dalam buku The World of Copernicus, Armitage (1956) menyebutkan bahwa gagasan penempatan Matahari di pusat tata surya oleh Copernicus bukanlah sebuah penemuan melainkan merupakan sebuah pilihan. Copernicus yang mempelajari rumitnya geometri yang menjelaskan alam semesta, berpikir semestinya ada penjelasan yang lebih sederhana untuk mendeskripsikan alam semesta. Selain itu, kuatnya doktrin keagamaan juga membuat siapa saja tunduk pada kepercayaan pemimpin gereja sehingga semua kalangan secara “otomatis” mempercayai sistem geosentris. Hanya segelintir orang yang berpikir dan berbuat banyak hingga mengantarkan era baru dalam ilmu pengetahuan. Sebuah era yang hanya bisa terjadi ketika kebenaran bisa berdiri sendiri, tanpa bantuan atau hambatan dari “otoritas” selama 2000 tahun (Richtmyer & Kennard, 1947).
In the days when Copernicus lived, everybody believed that the Earth was fixed at the center of the universe and that the heavenly bodies including the Sun, all went round the Earth in circles. Copernicus, on the other hand, maintained that the Sun was fixed at the center of all things and that the Earth itself a heavenly body revolved round the Sun once in a year. The great contribution made by Copernicus to the rise of modern thought was of the nature of a choice rather than of a discovery of something new.
Armitage, 1956, p. 12
- Armitage, A. (1956). The World of Copernicus. (5). New American Library.
- Richtmyer & Kennard. (1947). Introduction to Modern Physics. (4). McGraw-Hill.
- https://www.lib.uidaho.edu/digital/turning/PDF/Coprinicus.pdf diakses pada 4 Januari 2024
- https://people.highline.edu/iglozman/classes/astronotes/ptolemy.htm diakses pada 4 Januari 2024
- https://farside.ph.utexas.edu/books/Syntaxis/Almagest/node3.html diakses pada 4 Januari 2024
- https://www.astronomy.ohio-state.edu/weinberg.21/A161/lecture5.html diakses pada 5 Januari 2024
- https://earthobservatory.nasa.gov/features/OrbitsHistory diakses pada 5 Januari 2024