Senin (20/9), akun Instagram Narasi Newsroom merilis video tentang Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). RUU ini sedianya akan disahkan pada bulan Oktober sebagai bentuk dari upaya Indonesia untuk meratifikasi Perjanjian Paris 2015 dan mendukung visi pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi alternatif, dengan bauran hingga 23% EBT pada tahun 2025 [1]. Narasi Newsroom kemudian menggiring opini bahwa RUU EBT ini kontroversial, khususnya bahwa karena dalam nomenklatur EBT ada “energi baru,” yang notabene termasuk di dalamnya adalah energi fosil. Selain itu, dibukanya ruang untuk energi nuklir dalam RUU EBT dianggap menjadi kontroversi juga.
Narasi kontroversi UU EBT ini dibawakan oleh salah satu Peneliti di Center for Environmental Law, Grita Anindarini. Dari video tersebut, tampak bahwa narasi Grita tentang nuklir tidak jauh dari narasi-narasi usang, kadaluarsa, tentang energi nuklir. Lalu, ada juga concern tentang energi baru dii sana. Penulis akan menyorot isu nuklir dan nomenklatur energi baru dalam tulisan ini. Sebagai sangkalan, Penulis belum membaca draf RUU EBT dalam versi apapun dan fokus membahas narasi dalam video Narasi Newsroom saja.
Pertama, soal nuklir. Grita, sebagaimana mayoritas peneliti dan sejenisnya terkait masalah lingkungan, membawa-bawa isu risiko lingkungan dari energi nuklir yang dianggapnya sangat tinggi. Sayangnya, tidak ada penjelasan definitif “sangat tinggi” itu sebenarnya seperti apa. Padahal dia berbicara tentang risiko, yang mana risiko itu seharusnya dinilai secara kuantitatif, bukan kualitatif. Ketika bicara kuantitatif, tentu saja harus ada standar dan pembanding. Sayang sekali, Grita tidak menjelaskan apa-apa soal ini. Hanya beretorika saja. Keliru pula.
Baca juga: Menguak Mitos Bahaya Limbah Radioaktif PLTN
Grita mengatakan bahwa “risiko nuklir terhadap lingkungan dan kesehatan itu tinggi dengan limbah radioaktifnya tersebut.” Saya sudah menjelaskan panjang lebar tentang mitos-mitos limbah radioaktif [2], saya tekankan poin-poin pentingnya di sini.
- Tidak ada seorang pun yang pernah terluka, cacat, terkena kanker, maupun tewas akibat limbah radoaktif selama 60 tahun lebih sejarah operasi PLTN.
- Limbah radioaktif PLTN memiliki volume kecil (30 ton per GWe-tahun), padat (30 ton bahan bakar bekas seukuran sebuah mobil MPV), dan dikungkung dalam struktur beton tebal, yang mana orang-orang bisa berseliweran di sekitarnya tanpa takut radiasi pengion [3].
- Manajemen pengelolaan limbah radioaktif adalah yang paling profesional dan bersih dari seluruh industri energi yang ada, dengan metode yang sudah teruji selama puluhan tahun [4].
- Tidak bisa dibuktikan secara saintifik bagaimana caranya limbah radioaktif PLTN, yang sudah disimpan di permanent disposal akan mampu membahayakan manusia [5].
- Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa probabilitas kematian yang mungkin terjadi sebagai efek dari penyimpanan limbah radioaktif lestari adalah 0,0014 kematian dalam 13 juta tahun [5].
- Analisis kuantitatif lain menunjukkan bahwa paparan radiasi yang diterima penduduk sekitar penyimpanan lestari adalah sebesar 0,00018 mSv/tahun pada 12 ribu tahun pertama, setara dengan makan dua buah pisang [6].
Poin-poin di atas cukup untuk menjelaskan bahwa propaganda akan bahaya limbah radioaktif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia hanyalah bualan tanpa landasan ilmiah apapun. Sayang sekali mereka yang berkutat dengan urusan lingkungan tidak pernah mau belajar mengkuantifikasi risiko nuklir dengan baik dan benar.
Kalau isu yang diangkat lebih luas, yakni risiko dari PLTN secara umum, faktanya energi nuklir adalah energi paling selamat dibandingkan seluruh moda energi lain [7], bahkan energi terbarukan sekalipun [8]. Paparan radiasi dosis rendah sendiri sebenarnya bukan sesuatu yang membahayakan, sebagaimana tampak di Mamuju [9].
Jadi, risiko besar itu di sebelah mananya?
Terkait perizinan dipermudah, Penulis kira memang itu yang seharusnya dilakukan. Mengapa? Karena regulasi nuklir memang terlalu ketat dan terus mengetat, tetapi tanpa peningkatan signifikan terhadap keselamatan. Istilahnya, regulatory ratcheting [5]. Kalau di industri transportasi, pengetatan regulasi memang mampu meningkatkan keselamatan, hal yang sama tidak tampak pada industri nuklir. Pengetatan regulasi hanya berujung pada desain reaktor yang over-engineered untuk memenuhi kriteria keselamatan yang tidak realistis, dan akhirnya membuat PLTN menjadi mahal, tetapi dampaknya terhadap peningkatan keselamatan publik nyaris tidak ada [10].
Baca juga: Membuang Air Radioaktif Fukushima Daiichi Ke Laut, Bahayakah?
Regulasi berbelit-belit dan panjang tidak ada gunanya untuk menjamin keselamatan PLTN. Seharusnya bukan hanya perizinan dipermudah, tetapi juga standar keselamatan radiasi yang diubah, dari berlandaskan model obsolete LNT menjadi model risiko threshold-based atau hormesis-based. Karena LNT sudah terbukti melebih-lebihkan potensi bahaya radiasi [11-14], sehingga muncullah regulasi yang berlebihan dan unscientific at best.
Penyimpanan lestari disebutkan juga sebagai berbiaya sangat tinggi. Walau Grita tidak menyebutkan alasannya, tentu jawabannya adalah karena persepsi risiko bahaya selama jutaan tahun akibat dari plutonium dan elemen transuranik. Penulis sepakat dalam hal bahwa penyimpanan lestari akan mahal sekali, seandainya limbah radioaktif tidak diolah dulu dan dibuang begitu saja. Seharusnya bisa diolah dulu, ambil plutonium untuk digunakan ulang di reaktor nuklir [15-17] dan transuranik untuk diinsinerasi dalam teras reaktor [18-20]. Jadi sisanya cuma produk fisi yang sudah safe dalam 300 tahun, dan akhirnya repositori abadi seperti itu tidak diperlukan.
Mengapa nuklir penting untuk masuk ke bauran energi nasional? Karena tidak ada sejarahnya negara mampu menurunkan emisi karbon tanpa menggunakan nuklir (kecuali Norwegia yang merupakan kasus unik dan tidak bisa direplikasi). Jerman dengan proyek Energiewende gagal total dalam mereduksi emisi [21-22] dan harus bergantung pada batubara kotor (lignite) serta gas alam Rusia. So much for their renewable energy. Sementara Prancis sudah sejak lama listriknya rendah karbon, karena mayoritas berasal dari nuklir [23].
Sebaiknya Grita dan rekan-rekannya tidak usah terlalu sentimen terhadap energi nuklir. Lebih baik meningkatkan literasi nuklir supaya tidak terjebak dalam kubangan mitos.
Kedua, tentang nomenklatur energi baru. Sebenarnya nomenklatur ini sama sekali bukan hal baru, melainkan sudah ada di Perpres No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional [24], tepatnya Halaman 36. Di sana disebutkan bahwa energi baru antara lain hidrogen, gas metana batubara, batubara tercairkan, batubara tergasifikasi, dan nuklir. Sama sekali bukan hal baru di RUU EBT. Sepertinya RUU EBT hanya mengadopsi nomenklatur dari Perpres ini saja.
Tentu saja, video dari Narasi Newsroom hanya berupa potongan-potongan pernyataan. Bisa jadi sebenarnya Grita dan rekan-rekannya sudah tahu tentang hal ini. Barangkali hanya mempertanyakan saja kenapa nomenklatur EBT tetap diadopsi dengan mempertahankan “energi baru.”
Baca juga: Mengganti Energi Nuklir dengan Energi Terbarukan Bukanlah Ide Bagus
Jika concern terhadap energi baru itu kaitannya dengan energi fosil yang kemungkinan masih dapat peran besar, maka Penulis satu suara dengan Grita. Karena benar yang disampaikannya, gas metana batubara, batubara tercairkan, dan batubara tergasifikasi hakikatnya adalah energi fosil. Hanya sumbernya saja yang berbeda dengan batubara yang saat ini dieksploitasi. Menggunakan energi baru sejenis ini jelas tidak akan membantu menurunkan emisi karbon Indonesia, apalagi kalau malah menjadi yang paling dominan. Seandainya realisasinya seperti itu, bauran 23% EBT pun akhirnya hanya akan jadi lipservice semata dalam kaitannya mitigasi perubahan iklim.
Yang jadi masalah adalah jika energi nuklir nantinya turut dipermasalahkan. Padahal energi nuklir itu kunci dalam menurunkan emisi karbon. Target untuk menurunkan emisi karbon akan gagal tanpa melibatkan energi nuklir [25]. Karena itu, selayaknya nuklir diperlakukan sebagai solusi, bukan masalah. Khususnya bahwa energi terbarukan selama ini gagal menggantikan energi fosil dan menurunkan emisi karbon, sementara analisis kuantitatif menunjukkan bahwa nuklir bisa melakukan yang lebih baik dengan biaya sama [26].
Ringkasnya, energi baru dalam EBT memang bermasalah jika kaitannya dengan usaha mitigasi perubahan iklim, seandainya yang dimaksud adalah energi fosil dengan wajah baru. Namun, sebaiknya tidak perlu mempermasalahkan energi nuklir. Lagipula, jika dilihat dari RUEN, sebenarnya yang dominan dalam EBT pada tahun 2025 adalah energi hidro. Bukan energi baru, bukan juga energi surya dan bayu.
Sekali lagi, Penulis belum membaca draf RUU EBT, sehingga mungkin ada pembaruan dari tulisan ini ke depannya. Tulisan ini hanya menyorot narasi yang dibawa oleh Instagram Narasi Newsroom dan Grita Anindarini secara khusus, yang arah opininya jelas mempermasalahkan nuklir. Dari argumentasi di atas, sikap mempermasalahkan nuklir yang tampak dalam narasi video jelas salah sasaran. Yang perlu dikritik adalah energi fosil wajah baru, bukan nuklir. Jangan mengulang kesalahan para aktivis lingkungan yang bersikap keliru terhadap nuklir akibat scientifically illiterate dalam aspek-aspek kenukliran.
Referensi:
- Narasi Newsroom, RUU EBT Dikritik: Belum Move On Dari Sumber Energi Fosil. Diakses dari https://www.instagram.com/p/CUB3x-RhAqh/
- R Andika Putra Dwijayanto, Menguak Mitos Bahaya Limbah Radioaktif Yang Dihasilkan PLTN. Diakses dari https://warstek.com/limbah-radioaktif/
- Max Carbon. 2006. Nuclear Power, Villain or Victim? Our Most Misunderstood Source of Electricity, 2nd Edition. Madison: Pebble Beach Publisher.
- World Nuclear Association. Radioactive Waste Management. Diakses dari http://www.world-nuclear.org/information-library/nuclear-fuel-cycle/nuclear-wastes/radioactive-waste-management.aspx
- Bernard L. Cohen. 1991. The Nuclear Energy Option. Pittsburgh: Plenum Press.
- Janne M. Korhonen. What does research say about the safety of nuclear power? Diakses dari https://jmkorhonen.net/2017/03/10/what-does-research-say-about-the-safety-of-nuclear-power/
- Anil Markandya and Paul Wilkinson, 2007. Electricity Generation and Health, The Lancet, vol. 370, pp. 979-990.
- Brian Wang. Update of Death per Terawatt hour by Energy Source. Diakses dari https://www.nextbigfuture.com/2016/06/update-of-death-per-terawatt-hour-by.html
- R Andika Putra Dwijayanto, Mamuju Membuktikan Bahwa Radiasi Dosis Rendah Itu Tidak Membahayakan, diakses dari https://warstek.com/mamuju/
- Jack Devanney, 2021. Why Nuclear Power has been a Flop. Washington: CTX Press.
- Bobby R. Scott and Sujeenthar Tharmalingam, 2019. The LNT model for cancer induction is not supported by radiobiological data. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 34-53.
- David Costantini and Benny Borremans, 2019. The linear no-threshold model is less realistic than threshold or hormesis-based models: An evolutionary perspective. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 26-33.
- Edward J. Calabrese, 2019. The linear No-Threshold (LNT) dose response model: A comprehensive assessment of its historical and scientific foundations. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 6-25.
- Paolo F. Ricci, Sujeenthar Tharmalingam, 2019. Ionizing radiations epidemiology does not support the LNT model. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 128-140.
- K. Insulander Björk, C. W. Lau, H. Nylén, and U. Sandberg, “Study of thorium-plutonium fuel for possible operating cycle extension in PWRs,” Sci. Technol. Nucl. Install., vol. 2013, 2013.
- A. Waris, V. Richardina, I. K. Aji, S. Permana, and Z. Su’Ud, “Preliminary study on plutonium and minor actinides utilization in thorims-nes minifuji reactor,” Energy Convers. Manag., vol. 72, pp. 27–32, 2013.
- O. Ashraf, A. Rykhlevskii, G. V Tikhomirov, and K. D. Huff, “Strategies for thorium fuel cycle transition in the SD-TMSR,” Ann. Nucl. Energy, vol. 148, p. 107656, 2020.
- C. Zou, G. Zhu, C. Yu, Y. Zou, and J. Chen, “Preliminary study on TRUs utilization in a small modular Th-based molten salt reactor (smTMSR),” Nucl. Eng. Des., vol. 339, pp. 75–82, 2018.
- C. Yu et al., “Minor actinide incineration and Th-U breeding in a small FLiNaK Molten Salt Fast Reactor,” Ann. Nucl. Energy, vol. 99, pp. 335–344, Jan. 2017.
- V. T. Tran, H. N. Tran, H. T. Nguyen, V. K. Hoang, and P. N. V. Ha, “Study on Transmutation of Minor Actinides as Burnable Poison in VVER-1000 Fuel Assembly,” Sci. Technol. Nucl. Install., vol. 2019, 2019.
- William Wilkes, Hayley Warren, and Brian Parkin. Germany’s Failed Climate Goals: A Wake-Up Call for Governments Everywhere. Diakses dari https://www.bloomberg.com/graphics/2018-germany-emissions/
- Frank Dohmen et al. German Failure on the Road to a Renewable Future. Diakses dari https://www.spiegel.de/international/germany/german-failure-on-the-road-to-a-renewable-future-a-1266586.html
- BP, 2021. BP Statistical Review of World Energy June 2021. London: BP.
- Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
- Global climate objectives fall short without nuclear power in the mix: UNECE. Diakses dari https://news.un.org/en/story/2021/08/1097572
- R Andika Putra Dwijayanto, Bagaimana Jika Proyek Energiewende Jerman Dialihkan Saja Untuk Energi Nuklir? Diakses dari https://warstek.com/jermanuklir/
Alumni S1 Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, mahasiswa S2 Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada. Peneliti Fisika Reaktor, Keselamatan Reaktor, dan Sistem Energi. Kadang menjadi diseminator teknologi energi nuklir.