
Kredit: Gambar: NASA dan Joshua Stevens, menggunakan data Landsat dari Survei Geologi AS dan data MODIS dari LANCE/EOSDIS Rapid Response.
Warna lautan telah berubah secara signifikan selama 20 tahun terakhir. Para ilmuwan di MIT, Pusat Oseanografi Nasional (the National Oceanography Center) di Inggris, dan juga di tempat lain mengatakan bahwa tren global ini kemungkinan besar merupakan konsekuansi dari perubahan iklim oleh aktivitas manusia selama ini.
Dalam sebuah penelitian di Nature, tim peneliti menulis bahwa mereka telah mengamati perubahan warna lautan selama dua dekade terakhir. Penelitian ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan variabilitas alami dari tahun ke tahun. Meskipun tidak kentara oleh mata manusia, perubahan warna lautan telah terjadi pada lebih dari 56 persen lautan di dunia, bentangan yang lebih luas dari total luas daratan yang ada di Bumi.
Secara khusus, para peneliti menemukan bahwa wilayah laut tropis di dekat khatulistiwa telah menjadi semakin hijau dari waktu ke waktu. Pergeseran warna lautan menunjukkan bahwa ekosistem di permukaan laut juga harus berubah, karena warna lautan merupakan cerminan literal dari organisme dan material di perairannya.
Pada titik ini, para peneliti tidak dapat mengatakan bagaimana tepatnya ekosistem laut berubah untuk mencerminkan perubahan warna tersebut. Namun, mereka cukup yakin akan satu hal: Perubahan iklim kemungkinan besar merupakan penyebabnya.
“Saya telah menjalankan simulasi yang telah memberi tahu saya selama bertahun-tahun, bahwa perubahan warna lautan ini akan terjadi,” kata rekan penulis studi, Stephanie Dutkiewicz, ilmuwan peneliti senior di Departemen Ilmu Bumi, Atmosfer, dan Planet MIT dan Pusat untuk Ilmu Perubahan Global. “Untuk benar-benar melihatnya terjadi secara nyata tidaklah mengejutkan, tetapi menakutkan. Dan perubahan ini konsisten dengan perubahan yang disebabkan oleh manusia terhadap iklim kita.”
“Ini memberikan bukti tambahan tentang bagaimana aktivitas manusia memengaruhi kehidupan di Bumi dalam skala spasial yang sangat besar,” tambah penulis utama, B. B. Cael PhD’19 dari Pusat Oseanografi Nasional di Southampton, Inggris. “Ini adalah cara lain manusia memengaruhi biosfer.”
Rekan penulis studi ini termasuk Stephanie Henson dari National Oceanography Center, Kelsey Bisson di Oregon State University, dan Emmanuel Boss dari University of Maine.
Kebisingan di atas
Warna lautan merupakan produk visual dari apa pun yang ada di lapisan atasnya. Umumnya, perairan yang berwarna biru tua mencerminkan sangat sedikit kehidupan, sedangkan perairan yang lebih hijau menunjukkan adanya ekosistem, terutama fitoplankton — mikroba mirip tumbuhan yang melimpah di bagian atas lautan dan mengandung klorofil pigmen hijau. Pigmen membantu plankton memanen sinar matahari, yang mereka gunakan untuk menangkap karbon dioksida dari atmosfer dan mengubahnya menjadi gula.
Fitoplankton merupakan fondasi jaring makanan laut yang menopang organisme yang semakin kompleks, seperti krill, ikan, burung laut, serta mamalia laut. Fitoplankton juga merupakan otot yang kuat dalam kemampuan laut untuk menangkap dan menyimpan karbon dioksida. Oleh karena itu, para ilmuwan tertarik untuk memantau fitoplankton di permukaan lautan dan untuk melihat bagaimana komunitas penting ini dapat merespons perubahan iklim. Untuk melakukannya, para ilmuwan telah melacak perubahan klorofil, berdasarkan rasio berapa banyak cahaya biru versus hijau yang dipantulkan dari permukaan laut, yang dapat dipantau dari luar angkasa.
Namun, sekitar satu dekade yang lalu, Henson, yang merupakan salah satu penulis studi saat ini, menerbitkan sebuah makalah dengan tim yang lain, yang menunjukkan bahwa, jika para ilmuwan melacak klorofil sendirian, dibutuhkan setidaknya 30 tahun pemantauan berkelanjutan untuk mendeteksi tren apa pun yang didorong secara khusus oleh perubahan iklim. Alasannya, menurut tim, adalah bahwa variasi klorofil yang besar dan alami dari tahun ke tahun akan mengalahkan pengaruh antropogenik pada konsentrasi klorofil. akan dibutuhksan beberapa dekade untuk memilih sinyal yang bermakna, yang digerakkan oleh perubahan iklim di tengah kebisingan normal.
Pada 2019, Dutkiewicz dan rekan-rekannya menerbitkan makalah terpisah, menunjukkan model baru bahwa variasi alami warna laut lainnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan klorofil. Oleh karena itu, setiap sinyal perubahan yang didorong oleh perubahan iklim harus lebih mudah dideteksi daripada variasi warna laut lainnya yang lebih kecil dan normal. Mereka memperkirakan bahwa perubahan tersebut akan terlihat dalam 20, bukan 30 tahun pemantauan.
“Jadi saya pikir, bukankah masuk akal untuk mencari tren di semua warna lain ini, daripada di klorofil saja?” Kata Cael. “Ada baiknya melihat seluruh spektrum, daripada hanya mencoba memperkirakan satu angka dari potongan-potongan spektrum.”
Tujuh Kekuatan
Dalam studi saat ini, Cael dan timnya menganalisis pengukuran warna laut yang diambil oleh Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) di atas satelit Aqua, yang telah memantau warna laut selama 21 tahun. MODIS melakukan pengukuran dalam tujuh panjang gelombang tampak, termasuk dua warna yang biasanya digunakan peneliti untuk memperkirakan klorofil.
Perbedaan warna yang diambil satelit terlalu halus untuk dibedakan oleh mata manusia. Sebagian besar lautan tampak biru di mata kita, sedangkan warna aslinya mungkin mengandung campuran panjang gelombang yang lebih halus, dari biru ke hijau dan bahkan merah.
Cael melakukan analisis statistik menggunakan ketujuh warna samudra yang diukur oleh satelit dari tahun 2002 hingga 2022 secara bersamaan. Dia pertama kali melihat seberapa banyak tujuh warna berubah dari satu wilayah ke wilayah lain selama tahun tertentu, yang memberinya gambaran tentang variasi alaminya. Dia kemudian memperkecil untuk melihat bagaimana variasi warna laut tahunan ini berubah selama dua dekade. Analisis ini menghasilkan tren yang jelas, di atas variabilitas normal dari tahun ke tahun.
Untuk melihat apakah tren ini terkait dengan perubahan iklim, dia kemudian melihat model Dutkiewicz dari 2019. Model ini mensimulasikan lautan di Bumi dengan dua skenario: satu dengan penambahan gas rumah kaca, dan yang lainnya tanpa penambahan gas rumah kaca. Model gas rumah kaca meramalkan bahwa tren yang signifikan akan muncul dalam 20 tahun dan bahwa tren ini akan menyebabkan perubahan warna lautan di sekitar 50 persen permukaan lautan dunia — hampir persis seperti yang ditemukan Cael dalam analisisnya terhadap data satelit dunia nyata.
“Ini menunjukkan bahwa tren yang kami amati bukanlah variasi acak dalam sistem Bumi,” kata Cael. “Ini konsisten dengan perubahan iklim antropogenik.”
Hasil pengamatan tim menunjukkan bahwa memantau warna lautan di luar klorofil dapat memberi para ilmuwan cara yang lebih jelas dan lebih cepat untuk mendeteksi perubahan yang didorong oleh perubahan iklim pada ekosistem laut.
“Warna lautan telah berubah,” kata Dutkiewicz. “Dan kita tidak bisa mengatakan bagaimana. Namun kita dapat mengatakan bahwa perubahan warna mencerminkan perubahan komunitas plankton, yang akan berdampak pada segala sesuatu yang memakan plankton. Ini juga akan mengubah seberapa banyak lautan akan mengambil karbon, karena jenis plankton yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda untuk melakukannya. Jadi, kami berharap orang-orang menganggap ini serius. Bukan hanya model yang memprediksi perubahan ini akan terjadi. Sekarang kita bisa melihatnya terjadi, dan lautan sedang berubah.”
Penelitian ini didukung, sebagian, oleh NASA.
Sources :
[1] https://www.sciencedaily.com/releases/2023/07/230712123442.htm diakses pada 14 Juli 2023.
[2] https://www.sciencedaily.com/releases/2023/07/230712123442.htm diakses pada 14 Juli 2023.
Warna lautan telah berubah secara signifikan selama 20 tahun terakhir.