Limbah plastik merupakan salah satu limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang mengambil peran dalam kerusakan lingkungan. Karakteristik plastik yang tidak mudah terdegradasi secara alami menyebabkan masalah limbah plastik belum dapat diselesaikan secara tuntas sampai saat ini dan menjadi polemik global. Pemusnahan limbah plastik dengan cara pembakaran yang tidak sempurna juga memungkinkan dihasilkannya emisi dioksin yang dapat membahayakan kesehatan. Kalaupun plastik berhasil terdegradasi, plastik akan tetap dalam bentuk mikroplastik yang berukuran ±5 mm. Ukuran mikroplastik yang begitu kecil sangat mudah bergabung dengan zooplankton dan biota laut laut lainnya, sehingga sangat mungkin untuk dikonsumsi oleh manusia (Karina, 2015).
Kerusakan lingkungan akibat limbah plastik sangat berpengaruh terhadap kelangsungan organisme yang hidup di dalamnya, sehingga plastik juga menjadi ancaman yang nyata bagi makhluk hidup. Kasus kematian makhluk hidup akibat plastik pun semakin meningkat setiap hari, banyak organisme yang terbelit dan terbungkus sampah-sampah plastik hingga meninggal akibat mengonsumsi sampah plastik tersebut (BBC News, 2017). Seringpula kita melihat unggahan foto plastik yang menjerat kura-kura, penyu yang terbelit tali pancing, burung laut yang mati akibat mengkonsumsi berbagai limbah plastik di beranda sosial media.
Banyaknya masalah yang ditimbulkan akibat limbah plastik berujung pada salah satu solusi penyelesaian masalah, yaitu penetapan kebijakan larangan penggunaan kantong plastik di tempat perbelanjaan di beberapa daerah. Larangan penggunaan plastik memicu adanya peralihan dari penggunaan kantong plastik menjadi kantong kertas (paper bag) atau kantong kain (cotton bag) di kalangan masyarakat.
Secara historis, plastik pernah mengambil peran sebagai penyelamat untuk beberapa masalah. Pada tahun 1867, New York Times memuat tentang permasalahan gajah yang terancam punah akibat permintaan manusia terhadap gading yang meningkat. Pada masa itu gading digunakan sebagai bahan material beberapa benda, seperti kancing, kotak, tuts piano, sisir, hingga bola biliar. Kemudian pada tahun 1869, John Wesley Hyatt melakukan eksperimen menggunakan seluloid sebagai bahan dasar plastik untuk menggantikan penggunaan gading gajah, tanduk, dan cangkang kura-kura. Namun, penggunaan seluloid sebagai material sangat terbatas, sehingga dibutuhkan material yang lebih mudah dibentuk (Freinkel, 2011).
Pada tahun 1907, plastik sintetis pertama kali diciptakan oleh Leo Baekeland. Keberhasilan Baekeland mendorong perusahaan kimia besar untuk berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan plastik. Plastik menjadi material pengganti kayu, kaca, dan logam pada masa Perang Dunia II. Produksi plastik meningkat 300% di Amerika Serikat selama Perang Dunia II, karena kantong plastik dinilai lebih higienis, ringan, fleksibel, dan memiliki bentuk kemasan yang kuat (Freinkel, 2011). Pemakaian plastik kemudian diperkenalkan di tempat perbelanjaan pada tahun 1977 sebagai solusi alternatif dari pemakaian kantong kertas dan semakin populer pada tahun 1980. Slogan “paper or plastic” kerap beredar di pusat perbelanjaan untuk mengurangi penggunaan kantong kertas dan penebangan pohon (Macur & Pudlowski, 2009).
Saat ini kita dihadapkan dengan pertanyaan “Apakah penggunaan kertas memang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan penggunaan plastik?” Penelitian yang dilakukan oleh Northern Ireland Assembly pada tahun 2011, menyatakan bahwa produksi kantong kertas (paper bag) menghabiskan energi empat kali lebih besar dibandingkan dengan produksi kantong plastik. Selain itu, produksi kantong kertas juga menghasilkan senyawa toksik yang lebih besar dan juga deforestasi (BBC, 2019).
Kesempurnaan yang Mustahil (The Impossibility of Perfection)
Menurut Michael Slote, kesempurnaan atas kebahagiaan dan kebaikan pada manusia merupakan prinsip yang mustahil. Standar kesempurnaan merupakan suatu hal yang utopis. Hal tersebut disebabkan karna kejadian yang bersifat etis sangat kompleks dan dapat mendatangkan konflik dan kegagalan pada masa yang akan datang (Slote, 2011). Melalui perbandingan penggunaan kertas dan plastik menunjukkan masing-masing material mengakibatkan masalah lain atas penggunaanya. Penggunaan kertas maupun plastik tanpa mengakibatkan masalah lainnya sangat tidak mungkin terjadi. Pemilihan penggunaan kertas dan plastik masih menjadi pilihan bagi manusia. Apapun pilihan yang ditentukan, manusia akan tetap dihadapkan oleh sebab-akibat atas penggunaan kedua material tersebut.
Referensi:
- BBC News: Plastic or paper: Which bag is greener?. 2019. [https://www.bbc.com/news/business-47027792] diakses pada 20 Desember 2020.
- BBC News: Bagaimana plastik membunuh berbagai ikan, hewan-hewan laut, juga burung. 2017. [https://www.bbc.com/indonesia/majalah-42061728] diakses pada 20 Desember 2020.
- Freinkel, S. 2011. Plastic: A Toxic Love Story. Boston: Houghton Milfflin Harcourt.
- Karina, M. 2015. Penelitian dan pengembangan plastik ramah lingkungan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik.
- Macur, B. M. & Z. J. Pudlowski. 2009. Plastic bags – a hazard for the environment and a challenge for contemporary engineering educators. World Transactions on Engineering and Technology Education 7(2).
- Slote, M. 2011. The impossibility of Perfection: Aristotle, Feminism, and the Complexities of Ethnics. New York: Oxford University Press.