Berpacu Melawan COVID-19: Upaya Menemukan Vaksin dan Agen Terapeutik Ditengah Pandemik

“Kita harus kuatkan kerja sama melawan COVID-19 (Corona Virus Disease 2019). Untuk itu, G20 harus aktif memimpin upaya menemukan anti […]

ilustrasi ( https://m.detik.com)

“Kita harus kuatkan kerja sama melawan COVID-19 (Corona Virus Disease 2019). Untuk itu, G20 harus aktif memimpin upaya menemukan anti virus dan obat COVID-19, tentunya bersama WHO” [1]. Kalimat diatas adalah petikan pernyataan presiden Joko Widodo sewaktu mengikuti KTT G20 secara virtual di Istana Kepresidenan Bogor. Jika kita berhitung, telah tiga bulan lebih lamanya virus SARS-CoV-2 sejak pertama kali diidentifikasi oleh seorang dokter asal Wuhan Li Wenliang [2]. Virus yang bertanggung jawab dibalik pandemik pneumonia (radang paru-paru) tersebut telah menyebabkan puluhan ribu manusia meregang nyawa di berbagai negara.

Tak heran rasanya jika pemimpin-pemimpin Negara G20 memberi perhatian lebih terhadap permasalahan ini. Tak terkecuali presiden Republik Indonesia yang mengharapakan segera ditemukannya anti virus dan obat yang sesuai. Saat ini dunia sedang berpacu merancang vaksin ataupun agen terapeutik untuk melawan COVID-19. Beberapa bahkan telah melakukan uji coba terhadap manusia. Amerika Serikat misalnya.

Di negara Tiongkok sebagai asal muasal pandemik ini, bahkan telah terdaftar lebih dari 100 metode penanganan COVID-19 pada instansi terkait. Melihat fakta tersebut, seorang virolog (pakar virus) dari School of Basic Medical Sciences, Fudan University dan New York Blood Center bernama Profesor Shibo Jiang mengingatkan agar dalam mengembangkan vaksin dan obat COVID-19 tidak terburu-buru. Setidaknya ada protokol standar yang wajib dipatuhi untuk tetap menjaga kesehatan orang yang terjangkit COVID-19. Sebelum penggunakan vaksin pada manusia, pemerintah (instansi terkait) harus mengevaluasi keamanannya dengan berbagai strain virus dan telah diuji cobakan pada lebih dari satu hewan uji. Beliau juga menambahkan para pengembang vaksin juga memerlukan bukti pra-klinis yang kuat bahwa vaksin yang dihasilkan dapat mencegah infeksi. Semua tahapan itu harus dilalui meskipun memakan waktu mingguan bahkan bulanan untuk sebuah model sebelum dipasarkan secara luas [3].

Sahabat Warstek yang saya banggakan, pada kesempatan kali ini penulis akan berbagi informasi tentang vaksin ataupun agen terapeutik COVID-19 yang akan dan telah dikembangkan perusahaan ataupun instansi tertentu. Seperti apa vaksin ataupun agen terapatiknya dan bagaimana proses pembuatannya? Yuk simak penjelasannya…

Vaksin adalah produk berupa antigenik yang diberikan melalui suntikan, oral ataupun semprot untuk menghasilkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Vaksin mati, hidup, toksoid dan biosintetik adalah klasifikasi vaksin berdasarkan kandungan yang terdapat di dalamnya [4] . Sedangkan agen terapeutik adalah senyawa kimia yang digunakan untuk penyembuhan (terapi) penyakit tertentu.

1. Pengembangan Vaksin dan Agen Terapeutik Berbasis Pengikat Protein Mini dan Nanopartikel Protein

Pengikat Protein Mini (Mini-Protein-Binders) adalah molekul protein sederhana yang dirancang menggunakan pemodelan komputer (Rosetta Molecular Modeling). Fungsinya adalah sebagai agen terapeutik yang akan melawan virus penyebab COVID-19. Molekul tersebut dirancang untuk dapat menyerang (mengikat) target spesifik seperti protein spike pada virus SARS-COV-2. Tujuan akhirnya adalah “merusak” struktur protein spike virus [5].

Saat ini para peneliti telah merancang puluhan ribu Mini Protein Binders melalui sebuah pemodelan komputer sebagai anti virus korona (COVID-19). Selanjutnya molekul protein sederhana tersebut akan diproduksi di laboratorium dan mengukur kemampuannya dalam mengikat protein spike virus SARS-CoV-2 [5].

Selain agen terapeutik  diatas, Rosetta Molecular Modeling juga digunakan untuk merancang vaksin berupa nanopartikel protein. Melalui pemodelan komputer, vaksin SARS-CoV-2 dibuat dengan menggabungkan salinan-salinan protein spike yang dimiliki virus korona ke bagian luar struktur nanopartikel protein. Pengikat protein mini dan nanopartikel protein dirancang oleh Institut for Protein Design (IPD) University of Washington yang bekerjasama dengan National Institutes of Health (NIH) bersama Bill & Melinda Gates Foundation [5].

Neil King yang merupakan koordinator projek ini mengungkapkan bahwa vaksin yang dirancang tidak hanya untuk SARS-CoV-2 tapi untuk semua tipe virus korona [5].

2. Pengembangan Vaksin Berdasarkan Studi Imunologi Virus SARS-CoV

Gagasan ini dikemukakan oleh peneliti dari The Hongkong University of Sciences and Technology. Virus SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2) adalah penyebab epidemi (penyakit menular) COVID-19. Berdasarkan hasil kajian, virus tersebut memiliki kemiripan secara genetik dengan virus yang menjadi dalang dibalik pandemik pneumonia tahun 2003 (SARS). Persentase kemiripan antara SARS-CoV dan SARS-CoV-2 dapat dilihat pada komposisi proteinnya yang terdiri atas: protein spike (76,0%), protein nukleokapsid (90,6%), glikoprotein membran (90,1%) dan protein envelope sebesar 94,7% [6].

Sebagai informasi, protein spike dan nukleokapsid adalah dua komponen yang sangat berpengaruh terhadap kemampuan virus SARS-CoV untuk bertahan hidup. Sehingga dalam pengembangan vaksin COVID-19 akan lebih fokus terhadap kedua protein tersebut [6]. Vaksin yang dapat dikembangkan adalah vaksin mati atau hidup berupa virus mati, tidak aktif atau yang sudah dilemahkan dan memiliki komposisi protein mirip SARS-CoV-2 (misalnya virus SARS-CoV). Sedangkan untuk vaksin biosintetiknya dapat dibuat dengan mensintesis protein semirip mungkin dengan penyusun virus SARS-CoV-2.

3. Vaksin Berbasis Asam Ribonukleat Pembawa Pesan (mRNA)

Urutan (sekuens) materi genetik virus SARS-CoV-2 (RNA) untuk pertama kali dipublikasikan oleh ilmuwan Tiongkok pada 10 Januari 2020. Tiga hari setelahnya imunologis (pakar sistem imun) dari NIAID mengirimkan sekuens tersebut kepada perusahaan berbasis bioteknologi Moderna (Amerika Serikat). Sekuens tersebut akan dijadikan struktur (kerangka) dasar vaksin berbasis mRNA [7].

Tepat 63 hari setelah sekuens RNA virus SARS-CoV-2 diumumkan perusahaan Moderna melakukan uji coba vaksin kepada relawan. Uji coba ini dilakukan di Kaiser Permanente  Washington Helath Research Institute. Cara kerja vaksin yang dihasilkan oleh perusahaan ini adalah mengarahkan sel seseorang untuk memproduksi protein spike yang optimal[7].

Uji coba yang telah dilakukan pada tanggal 16 Maret 2020 kemarin bukan hanya membawa kabar gembira pada masyarakat dunia. Sebagian yang lain justru menunjukkan respon keraguan akan hal ini. Para peneliti di NIAID (US National Institute of Alergy and Infectious Disease) memberikan argumen bahwa risiko menunda pengembangan vaksin jauh lebih tinggi dibandingkan timbulnya penyakit pada sukarelawan. Terhadap argumen tersebut, seorang virolog Prof. Shibo Jiang menunjukkan keraguan terhadap para pengembang vaksin yang akan tergesa-gesa jika standar acuannya diturunkan [3]. Terhadap hal ini, tentu kita harus bersikap arif dan bijaksana, memperhatikan arahan pemerintah serta berusaha untuk mencari informasi terkait dari sumber yang dapat dipercaya.

4. Vaksin Berbasis Inaktivasi Virus SARS-CoV-2

Lain Moderna, lain pula dengan Sinovac Biotech. Perusahaan yang berasal dari negeri tirai bambu tersebut mengembangkan vaksin dengan virus SARS-CoV-2 yang telah dinonaktifkan (Inaktivasi) secara kimia disertai dengan penambahan agen immune booster (penambah kekebalan tubuh). Inaktivasi seluruh partikel virus menggunakan inaktivator berupa senyawa kimia yaitu formaldehid. Hanya saja perusahaan tidak menjelaskan secara spesifik proses inaktivasi tersebut [7].

Seorang virolog dari Icahn School of Medicine, Florian Krammer mengatakan vaksin dari inaktivasi virus memiliki keuntungan sebagai teknologi yang telah terbukti dan dapat diproduksi dalam skala besar (scaled up) di banyak negara [7].

Perusahaan tersebut menggunakan strategi yang sama seperti pengembangan vaksin SARS dan diuji cobakan (clinical trial) pada fase I 16 tahun yang lalu. ” Kami dengan segera memulai pendekatan itu, kami sudah mengetahui ” . Imbuh wakil presiden Sinovac Biotech Meng Weining [7].

5. Vaksin Berbasis Vektor Adenovirus dan Protein Spike Virus SARS-CoV-2

Jika pada bahasan sebelumnya telah dibahas pengembangan vaksin atau agen terapeutik yang dilakukan oleh Negara Amerika Serikat, Hongkong dan Tiongkok, maka lain pula pada bagian yang ini. Kita akan mencoba melihat pengembangan vaksin dari daratan Eropa, tepatnya yang dilakukan peneliti di Oxford University Inggris. Kolaborasi peneliti Oxford Vaccine Group dan Oxford’s Jenner Institute telah memulai pekerjaan ini pada 10 Januari 2020 untuk merancang vaksin COVID-19. Kolaborasi para peneliti ini dipimpin oleh seorang pakar imunologi dan penyakit menular Prof. Sarah Gilbert [8].

Chimpanzee adenovirus vaccine vector (ChAdOx1) yang dikembangkan di Oxford’s Jenner Institute adalah pilihan yang paling sesuai untuk melawan virus SARS-CoV-2. Teknologi pengembangan vaksin ChAdOx1 memiliki kemampuan untuk menghasilkan respon imun yang kuat. Vaksin jenis ini tidak menggunakan virus replikasi untuk menghindari infeksi berkelanjutan pada individu yang divaksinasi. Menurut para pengembang, vaksin jenis ini aman diberikan kepada anak-anak, orang tua dan siapa saja dengan kondisi mengidap penyakit tertentu seperti diabetes [8].

Virus korona memiliki komponen penyusun yang dinamakan protein spike
dan berbentuk seperti paku pada bagian mantel luarnya (Gambar 2). Berdasarkan studi respon kekebalan dari virus korona yang lain menunjukkan bahwa komponen ini adalah target yang baik untuk vaksin [8].

Urutan genetik protein spike ada di dalam konstruksi vaksin ChAdOx1. Setelah vaksinasi, protein tersebut akan diproduksi dan selanjutnya akan memacu sistem kekebalan tubuh untuk menyerang virus SARS-CoV-2 jika nanti terinfeksi. Para peneliti menambahkan bahwa ChAdOx1 adalah jenis vaksin yang dipelajari dengan sangat baik dan telah digunakan dengan aman pada ribuan subjek dari usia 1 minggu hingga 90 tahun. Vaksin jenis ini ditargetkan mampu melawan lebih dari 10 penyakit berbeda [8].

Saat ini, vaksin ChAdOx1 telah masuk fase untuk diuji cobakan dan telah diumumkan untuk mencari sukarelawan sebanyak 510 orang. Beberapa kriteria yang wajib dipenuhi adalah berbadan sehat dan berumur antara 18 sampai 55 tahun.

Dari informasi-informasi yang telah dipaparkan diatas kita dapat melihat bahwa telah ada beberapa kandidat vaksin dan agen terapeutik yang dikembangkan instansi maupun perusahaan di berbagai negara. Lalu bagaimana dengan Indonesia? hmmm… diri ini mencoba meyakinkan diri “mungkin sedang diusahakan” . Hanya waktu yang akan menjawab.

Nah sahabat warstek, demikian sepenggal informasi terkait pengembangan vaksin dan agen terapeutik dari beberapa instansi atau perusahaan. Semoga tulisan ini memberi manfaat untuk kita semua pembaca setia warstek. Saran dan kritik melalui kolom komentar yang membangun perlu kiranya disampaikan ke penulis agar dapat menulis lebih baik lagi.

Terimakasih….

Referensi

  1. https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20200326214114-532-487324/jokowi-bunyikan-genderang-perang-lawan-corona-di-ktt-g20, diakses pada 27 Maret 2020 pukul 20.50 WITA.
  2. https://www.google.com/amp/s/dunia.tempo.co/amp/1304552/dokter-wuhan-yang-pertama-kali-peringatkan-virus-corona-meninggal, diakses pada 3 April 2020 pukul 09.30 WITA.
  3. Jiang, S., 2020, Don’t Rush to Deploy COVID-19 Vaccines and Drugs, Springer Nature Limited, Vol. 539, Hal. 321.
  4. Suprobowati, O. D., Kurniati, I., 2018, Virologi, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
  5. https://www.ipd.uw.edu/2020/02/rosettas-role-in-fighting-coronavirus/ diakses pada 29 Maret 2020 pukul 23.35 WITA.
  6. Ahmed, S. F., Quadeer, A. A., McKay M. R., 2020, Preliminary Identification of Potential Vaccine Targets for the COVID-19 Coronavirus (SARS-CoV-2) Base on SARS-CoV Immunological Studies, Viruses, 12, 254.
  7. https://www.sciencemag.org/news/2020/03/record-setting-speed-vaccine-makers-take-their-first-shots-new-coronavirus#, diakses pada 2 April 2020 pukul 22.45 WITA.
  8. https://www.research.ox.ac.uk/Article/2020-03-27-oxford-covid-19-vaccine-programme-opens-for-clinical-trial-recruitment, diakses pada 3 April 2020 pukul 20.55 WITA.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top