DNA barcoding merupakan salah satu perangkat inovasi dalam penelitian taksonomi makhluk hidup. trend ini mulai berkembang setelah oleh Paul Hebert, dkk (2003) yang sebelumnya juga telah dilakukan oleh Carl Woese, dkk (1980-an). Penggunaan DNA barcoding selama 6 tahun mendapatkan penolakan dari kelompok ahli botani hingga Hebert mempublikasikan penelitiannya tentang barcoding pada hewan [2].
DNA barcoding adalah sebuah sistem identifikasi spesies yang terdesain secara akurat, cepat dan otomatis dengan menggunakan gen ukuran pendek dan standar sebagai penanda internal suatu spesies serta metode baru dalam percepatan identifikasi berbagai spesies [1,2]. Metode ini berdasarkan ekstraksi urutan DNA dari sepotong sampel jaringan makhluk hidup. Kemudian sebagai alat/perangkat penelitian taksonomi, DNA Barcoding membantu pengidentifikasian dengan memperluas kemampuan untuk mendiagnosis spesies termasuk semua sejarah perjalanan suatu makhluk hidup [2].
DNA Barcode terdiri atas urutan DNA pendek yang secara standar antara 400 dan 800 bp (base pair/pasangan basa), secara teori mudah untuk dilakukan isolasi dan dideskripsi untuk seluruh spesies di planet ini [2].
Proses DNA Barcoding
Secara umum kegiatan dari DNA barcoding merupakan suatu kegiatan yang terdiri atas pembangunan perpustakaan (pusat informasi) DNA barcode untuk setiap spesies yang telah teridentifikasi dan melakukan pencocokan urutan barcode yang belum diketahui dengan pusat informasi (database) yang telah diidentifikasi [2].
Melansir dari laman International Barcode of Life, proses dari DNA barcoding terdiri dari 4 tahapan (lihat gambar 1), yaitu (1) isolasi DNA dari sampel yang akan dilakukan proses barcoding, (2) memperkuat/memastikan wilayah target DNA barcoding menggunakan PCR, (3) pengurutan produk hasil PCR, dan (4) melakukan pencocokan urutan yang dihasilkan dengan pusat informasi (database) terhadap spesies yang telah teridentifikasi [3]. Petunjuk Consortium Barcode of Life (CBOL) menyarankan 4 komponen yang perlu dalam penelitian barcode.
- Spesimen dapat berupa fosil, jaringan beku, benih, dan lain-lain
- Laboratorium analisis yang menyediakan alat-alat untuk keperluan isolasi DNA, PCR, dan elektroforesis
- Database berupa data-data hasil koleksi yang akan berfungsi sebagai referensi
- Data analisis yang membutuhkan program dan peralatan komputer yang handal [4].
Standarisasi DNA Barcoding
DNA sebagai barcode ini harus memiliki ukuran yang pendek tapi memiliki variasi yang tinggi antarspesies, dan harus bisa mengakomodir 10-100 juta spesies [4]. Pada awal pengenalan pemanfaatan DNA barcoding sebagai alat/perangkat penelitian tidak begitu mendapat respon yang baik, tetapi berjalannya waktu dan dilakukannya proses screening terhadap genom makhluk hidup diperoleh standarisasinya, antara lain [3]: (1) Studi DNA Barcoding pada tumbuhan menggunakan satu atau beberapa daerah plastida, misalnya rbcL dan matK, juga non-coding spacer trnH-psbA serta ITS (Internal Transcribed Spacer) DNA ribosom inti. (2) Studi DNA Barcoding pada hewan menggunakan wilayah dalam gen mitokondria Sitokrom c Oksidae 1 (COI). (3) Studi DNA Barcoding pada jamur menggunakan wilayah ITS (Internal Transcribed Spacer) cistron ribosom nuklir.
DNA mikondria menjadi dasar untuk penyusunan barcode DNA pada hewan. Pada tumbuhan, DNA plastida sebagai dasar pembuatan barcode karena jumlah dan variasi sekuen mitokondria tumbuhan relatif kecil. Pada jamur, gen-gen ribosomal RNA (SSU rRNA) bisa dijadikan dasar pembeda (Stoeckle, 2003) [4].
Database DNA Barcoding
Pusat informasi DNA Barcoding disebut Barcode of Life Data (BOLD) menjadi referensi untuk menetapkan identitas spesies yang belum terindentifikasi asalnya [3]. Pusat informasi sistem pada dasarnya memuat informasi tentang nama spesies, voucher data, jejak pengkoleksian, pengenal spesimen, COI, PCR primer dan data trace [1]. pengguna dapat mengakses segala data pada langkah apa pun selama produksi barcode DNA secara berurutan.
- Memastikan reproduktifitas PCR dan urutannya protokol
- Memungkinkan validasi dan deteksi potensi perbedaan dalam identifikasi awal spesimen oleh komunitas pengguna
- Memastikan ketertelusuran dengan menyediakan kontak dengan orang-orang penting yang terlibat dalam menghasilkan data
- Memungkinkan studi taksonomi lebih lanjut jika ada perbedaan terdeteksi antara molekul dan fenotipe sebagai konsekuensi dari keragaman samar atau deteksi baru garis keturunan evolusi [1].
DNA barcoding tidak hanya sebagai sebuah produk inovasi dalam penelitian taksonomi, tetapi juga menjadi penyediaan informasi akademik bagi dunia pendidikan. Informasi diagnosis spesies tertera semua tahapan riwayat hidup suatu organisme (misalnya, benih, semai, telur, larva, individu dewasa subur dan steril), berkelamin tunggal spesies, spesimen rusak, isi usus, kotoran, dan feses sampel. Keberadaan DNA Barcoding berperan dalam perbaikan data-data identifikasi sekaligus percepatan proses identifikasi makhluk hidup.
Referensi:
- Hubert, N. & R. Hanner. 2015. DNA Barcoding, Species Delineation and Taxanomy. A Historical Perspective. DNA Barcodes, Volume 3: 44-58.
- Kress, W. J. & D. L. Erikson (Eds). 2012. DNA Barcodes: Methods and Protocols, Methods in Moleculer Biology, Volume 858, DOI 10.1007/978-1-61779-591-6_1
- www.ibol.org diakses pada 21 September 2020, pukul 15.09 WIB.
- Litbang Pertanian. 2013. Barcode DNA: Sistem Identifikasi Mutakhir. Warta Biogen, Volume 9, Nomor 2.