Agriculture 4.0: Revolusi Pertanian Tahap Keempat

Oleh: Eko Suripto Pasinggi’ Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia harus selalu dapat dipenuhi setiap saat. Tingkat kebutuhan pangan selalu berbanding lurus […]

blank

Oleh: Eko Suripto Pasinggi’

Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia harus selalu dapat dipenuhi setiap saat. Tingkat kebutuhan pangan selalu berbanding lurus dengan jumlah populasi. Oleh sebab itu, peningkatan jumlah populasi manusia harus selalu bisa diimbangi oleh peningkatan ketersediaan pangan.

Salah satu perubahan besar dalam sejarah kehidupan manusia adalah dimulainya budaya bertani atau revolusi agrikultur pertama (sekitar 10.000 tahun yang lalu). Manusia yang sebelumnya bergantung pada apa yang tersedia di alam, kemudian mampu untuk mengusahakan pemenuhan kebutuhannya sendiri. Manusia mulai melakukan domestikasi hewan dan tumbuhan. Seiring perjalanan waktu, terjadilah perubahan besar dalam rangka peningkatan hasil pertanian, yaitu revolusi agrikultur kedua dan ketiga. Perubahan yang terjadi pada revolusi kedua diantaranya pergiliran tanam (crop rotation), konversi lahan, dan selective breeding. Revolusi ketiga (disebut juga revolusi hijau) ditandai dengan kemunculan produk-produk pupuk sintetis dan mekanisasi pertanian.

Pemenuhan pangan menghadapi beberapa tantangan diantaranya adalah peningkatan populasi yang berarti peningkatan kebutuhan, urbanisasi yang mengakibatkan penurunan jumlah petani dan perubahan pola makan, keterbatasan sumberdaya (lahan dan air), perubahan iklim, dan pemborosan makanan.

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menerbitkan sebuah data proyeksi jumlah penduduk dunia yang dikalkulasi berdasarkan data yang terkumpul hingga tahun 2012. Proyeksi tersebut menampilkan peningkatan jumlah penduduk dunia sampai tahun 2100. Saat ini jumlah penduduk dunia sekitar 7,2 miliar orang. Jumlah penduduk pada tahun 2050 diperkirakan meningkat menjadi 9,6 miliar orang dan pada tahun 2100 menjadi 10,9 miliar orang [1].

Di sisi lain, data dari sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan perubahan signifikan jumlah keluarga petani di Indonesia. Pada tahun 2003 jumlah keluarga petani sebanyak 31 juta keluarga. Sedangkan pada tahun 2013 jumlah tersebut menurun menjadi 26 juta keluarga. Terjadi penurunan sebanyak 5 juta keluarga petani dalam jangka 10 tahun atau dapat dikatakan terdapat satu keluarga petani Indonesia yang beralih pekerjaan setiap menit [2]. Seiring dengan itu, luas lahan pertanian juga mengalami penurunan karena pengalihan fungsi lahan. Data dari Departemen Pertanian (Dirjen PLA, 2005) menyatakan bahwa telah terjadi pengalihan fungsi lahan sawah sekitar 187.720 hektar setiap tahun [3]. Hal ini tentu saja tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi merupakan fenomena global.

“Kita akan makan apa?”

Pertanyaan ini muncul sebagai penanda akan adanya sebuah ancaman ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh populasi manusia di masa depan. Isu ketersediaan pangan tersebut telah menjadi perhatian dunia, misalnya oleh Food and Agriculture Organization (FAO), yang memberikan rekomendasi agar semua sektor pertanian perlu dikelola dengan menggunakan teknologi inovatif.

Adanya tantangan-tantangan tersebut menyebabkan pendekatan tradisional harus diubah dengan pendekatan baru. Revolusi dalam bidang pertanian yang keempat (Agriculture 4.0) saat ini sedang dalam tahap pengembangan. Beberapa hal yang menjadi fokus dalam perkembangan terbaru ini adalah penggunaan teknologi pertanian yang baru (hidroponik, vertical farming, pertanian di gurun dan laut, dan modifikasi genetik) dan pengaplikasian Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam bidang pertanian.

Konsep pengembangan pertanian yang banyak dikembangkan pada saat ini adalah konsep pertanian cerdas, atau yang biasa juga disebut smart farming atau precision agriculture. Konsep ini merujuk pada penerapan TIK pada bidang pertanian. Tujuan utama penerapan terknologi tersebut adalah untuk melakukan optimasi berupa peningkatan hasil (kualitas dan kuantitas) dan efisiensi penggunaan sumber daya [4].

Keberadaan perangkat sensor memungkinkan kita untuk memperoleh data dari lahan pertanian secara akurat dan real time. Saat ini telah tersedia perangkat sensor untuk berbagai parameter yang ingin diukur, misalnya, suhu, kelembaban (tanah dan udara), CO2, O2, cahaya, water level, dsb. Data yang diperoleh dari lahan pertanian dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan baik untuk sekedar melakukan monitoring atau untuk disimpan. Penelitian [5] menawarkan sebuah sistem monitoring lahan pertanian berbasis teknologi Internet of Things (IoT) yang memungkinkan petani untuk memantau lahan pertaniannya melalui perangkat smartphone atau computer.

Data yang terus-menerus diperoleh dari lahan pertanian akan terakumulasi dalam volume dan jenis data yang sangat besar. Perkembangan teknologi penanganan “Big Data” terkini memungkinkan kita untuk melakukan penyimpanan data tersebut. Data yang banyak tersebut dapat dianalisis untuk kepentingan pengambilkan keputusan atau melakukan prediksi. Pengambilan misalnya dapat berupa penentuan jenis tanaman yang akan ditanam pada kondisi tertentu [6].

Data yang diperoleh dari lahan pertanian juga dapat dimanfaatkan langsung sebagai input untuk melakukan sebuah aksi. Misalnya,  penelitian [7] menawarkan sebuah teknologi Smart Irrigation  yang menggunakan sensor humidity, temperature, Light, Moisture untuk menentukan kapan dan seberapa lama penyiraman dilakukan. Penerapan system ini mampu menjamin tersedianya air yang cukup bagi tanaman dan membuat penggunaan air menjadi lebih efisien.

blank

Gambar 1 Smart Irrigation System

Masih banyak teknologi yang berpeluang untuk diterapkan pada lahan pertanian untuk meningkatkan hasil dan melakukan efiensi sumber daya. Untuk itu dibutuhkan penelitian-penelitian lanjutan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Akhir kata, selamat memasuki era Agriculture 4.0!

Referensi

[1]      UN-DESA, “World Population To Exceed 9 Billion By 2050,” [Press release. United Nations Popul. Div. / Dep. Econ. Soc. Aff., p. 7, 2009.

[2]      BPS – Statistics Indonesia, “Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013,” Badan Pus. Stat., vol. 1, pp. 1–30, 2013.

[3]      M. Iqbal and Sumaryanto, “STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN BERTUMPU PADA PARTISIPASI MASYARAKAT,” Anal. Kebijak. Pertan., vol. 5, no. 2, pp. 167–182, 2007.

[4]      A. Walter, R. Finger, R. Huber, and N. Buchmann, “Opinion: Smart farming is key to developing sustainable agriculture,” Proc. Natl. Acad. Sci., vol. 114, no. 24, pp. 6148–6150, 2017.

[5]      A. Aher, J. Kasar, P. Ahuja, and V. Jadhav, “Smart Agriculture using Clustering and IOT,” pp. 4065–4068, 2018.

[6]      S. Wolfert, L. Ge, C. Verdouw, and M. J. Bogaardt, “Big Data in Smart Farming – A review,” Agric. Syst., vol. 153, pp. 69–80, 2017.

[7]      S. Ghosh and H. A. Hingoliwala, “Smart Irrigation : A Smart Drip Irrigation System Using Cloud , Android And Data Mining,” pp. 236–239, 2016.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *