Taare Zameen Par (2007); Analisis Gangguan Disleksia Pada Tokoh

Every Child is Special Semua anak  terlahir dengan kemampuan, talenta yang khusus, unik dan tak semua dimiliki sama oleh orang […]

blank

Every Child is Special

Semua anak  terlahir dengan kemampuan, talenta yang khusus, unik dan tak semua dimiliki sama oleh orang lain, dan juga berbeda. Semua anak mempunyai mimpi-mimpi yang unik dan tentunya spesial. Apa salahnya menjadi tak sama dengan orang lain ?

Film yang berkisah tentang seorang anak yang dianggap “idiot” oleh orang lain bahkan ayahnya sendiri. Ihsaan Nandkishore seorang anak laki-laki yang berumur 8 tahun merupakan seorang siswa setingkat kelas 3 Sd, yang berbeda pemikirannya, imajinsinya, kemampuannya dengan anak lainnya. Namun karena perbedaan itulah ihsaan dianggap idiot, bodoh, malas, nakal dan pikiran negatif lainnya. Hal ini juga disebabkan dengan dirinya yang belum bisa membaca dan menulis serta berhitung dengan benar. Dirinya selalu memilik cara pandang tersendiri terhadap objek yang dilihatnya. Dengan keterbatasan itu siapa sangka tersimpan sebuah kemampuan besar yang tak semua orang punya. Namun hukuman, tekanan, ambisi, nilai, serta pemahaman yang kurang dari guru dan orangtuanya yang selalu membandingkannya dengan kakak nya yang berprestasi menyebabkan dirinya selalu melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Terlebih lagi setiap kesalahannya akan selalu diimpaskan dengan hukuman. Hukuman terbesar yang diterimanya yaitu dijauhkan dari keluarganya dengan memindahkan dirinya ke sekolah asrama, yang membuatnya lebih tertekan, depresi, murung dan menyembunyikan kemampuannya dalam hal melukis. Sekolah barunya tak jauh beda dengan sekolah lamanya yang selalu menuntut nilai, ambisi, persaingan, kompetisi dan sebagainya ditengah dirinya yang jauh dari kata memahami tulisan.

Disleksia, seorang guru seni pengganti yang menggunakan kelasnya sebagai tempat meluapkan emosi dan imajinasi semua siswa melalui seni menemukan ihsaan yang yang murung dan berada dalam tekanan. Setelah dicari penyebabnya guru tersebut mendapatkan bahwa anak tersebut mengidap disleksia, hal yang memprihatinkan baginya ialah sikap lingkungan keluarga dan sekolah ihsaan yang salah memperlakukannya. Akhirnya guru tersebut mulai membimbing ihsaan untuk belajar dengan caranya sendiri. Siapa sangka setelah kemampuan ihsaan yang memiliki pemikiran berbeda  dan melihat dengan cara yang berbeda dengan orang lain punya bakat besar yang tersembunyi, yang berkreatifitas tinggi.

Analisis Disleksia

Disleksia merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti masalah penglihatan, tetapi mengarah pada otak yang telah mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca [1]

Disleksia merupakan gangguan kognitif yang berupa ketidakmampuan membaca padaanak, anak kesulitan untuk mengenal huruf-hurufyang hampir sama, di mata anak tulisanmerupakan coretan yang sulit untuk dibaca.Anak dengan gangguan ini dimungkinkanmempunyai IQ yang baik, dan kemampuanlain juga baik namun dalam hal membacaakan mengalami kesulitan [2].

Anak disleksia yang kidal dapat menggunakan kedua belah tangan, misalnya saat menulis, , namun mereka sering kali membaca dari kanan ke kiri. Adapun gejala disleksia ini antara lain [1] :

  1. Ragu-ragu dan lambat dalam berbicara
  2. Kesulitan memilih kata yang tepat untuk menyampaikan maksud yang diucapkannya Bermasalah dalam menentukan arah (atas – bawah) dan waktu (sebelum – sesudah, sekarang-kemarin)
  3. Kesalahan mengeja yang dilakukan terus-menerus, seperti misalnya kata ”gajah” diucapkan menjadi ”gagah”. kata ”ibu” ducapkan menjadi ”ubi”, kata ”pipa” menjadi ”papi”
  4. Membaca kata demi kata secara lamban dan intonasi naik turun
  5. Membalikkan huruf, kata, dan angka yang mirip, misalnya b dengan p, u dengan n, kata kuda dengan daku, palu dengan lupa, 2 – 5, 6 – 9
  6. Kesulitan dalam menulis, misalnya menuliskan namanya sendiri “Rosa” menjadi Ro5a, menuliskan kata “Adik” menjadi 4dik (huruf S dianggap sama dengan angka 5, huruf A dianggap sama dengan angka 4).

Kesadaran Phonologi

Kesulitan membaca merupakan salah satu dari banyak pandangan yang merupakan gabungan disfungsi pada berbagai kondisi ketidaksempurnaan keadaan dari neurokognitif seseorang. Pada kenyataanya gangguan pada anak disleksia dapat dideteksi dari gangguan kesadaran penguasaan kosa kata dan metaphonologis [3]

Dari beberapa penelitian yang dikutip dari Raharjo (2018), mengungkapkan bahwa pengukuran kesadaran phonologi dapat mengungkap kemampuan membaca pada anak-anak. Kesadaran phonologi merupakan hal yang digunakan untuk mendiskripsikan secara khusus dan jelas kemampuan untuk memanipulasi kemampuan bicara pada tingkatan huruf, dengan kata lain bahwa seseorang dapat mengabstraksikan bunyi dengan intensitas yang berbeda dan merekognisi dalam kata dan menghasilkan kata baru. Kategorisasi kesadaran phonologi menjadi tida tingkatan: 1) kemampuan suprasegmental, kemampuan untuk melakukan tugas memutuskan apakah kata tersebut mempunyai inisial yang sama atau memutuskan sebagai kata, 2) kemampuan syllabic merupakan tugas memisahkan kata dalam silabus dan memberikan atau menghilangkan silabus dari kata. 3) kemampuan phonemik mempunyai tugas untuk memisahkan dan mengumpulkan kembali kata-kata dalam rangkaian fonem [3].      Dalam teori phonologi dari disleksia, kemampuan untuk menghadirkan dan memanipulasi bunyi bahasa merupakan hal yang penting untuk menetapkan dan menjadikan secara otomatis hubungan suara dengan kata, yang mana secara tepat dan secara lancar merekognisi kata sampai proses pengkodean phonologi. Hal yang penting adalah hubungan antara kemampuan phonologi (dalam hal ini kesadaran phonologi) dan kemampuan membaca secara langsung. Dengan kata lain bahwa kekurang mampuan membaca dapat disebabkan karena kurangnya kesadaran phonologi [3].         

Klasifikasi Disleksia

Sidiarto (2007) dalam bukunya Perkembangan Otak dan Kesulitan Belajar pada Anak, menjelaskan klasifikasi disleksia sebagai berikut [4]

  1. Disleksia dan Gangguan Visual Disleksia jenis ini disebut disleksia diseidetis atau disleksia visual. Kelainan ini jarang, hanya didapat pada 5% kasus disleksia. Gangguan fungsi otak bagian belakang dapat menimbulkan gangguan dalam persepsi visual (pengenalan visual tidak optimal, membuat kesalahan dalam membaca dan mengeja visual), dan defisit dalam memori visual. Adannya rotasi dalam bentuk huruf-huruf atau angka yang hampir mirip bentuknya, bayangan cermin (b-d, p-q, 5-2, 3-E,) atau huruf, angka terbalik (inversion) seperti m-w, n-u, 6-9. Hal ini terlihat nyata pada tulisannya.
  2. Disleksia dan Gangguan Bahasa Disleksia ini disebut disleksia verbal atau linguistik. Beberapa penulis menyebutkan prevalensi yang cukup besar yaitu 50-80%. Lima puluh persen dari jenis ini mengalami keterlambatan berbicara (disfasia perkembangan) pada masa balita atau prasekolah (Njikoktjien, 1986). Legien dan Bouma (1987) menyebutkan kelainan ini didapatkan pada sekitar 4% dari semua anak laki-laki dan 1% pada anak perempuan. Gejala berupa kesulitan dalam diskriminasi atau persepsi auditoris (disleksia disfonemmis) seperti p-t, b-g, t-d, t-k; kesulitan mengeja secara auditoris, kesulitan menyebut atau menemukan kata atau kalimat, urutan auditoris yang kacau (sekolah→sekolah). Hal ini berdampak pada imla atau membuat karangan.
  3. Disleksia dengan Diskoneksi Visual-Auditoris. Disleksia ini disebut sebagai disleksia auditoris (Myklebust). Ada gangguan pada kondisi visualauditoris (grafem-fonem), anak membaca lambat. Dalam hal ini bahasa verbal dan persepsi visualnya baik. Apa yang dilihat tidak dapat dinyatakan dalam bunyi bahasa. Terdapat gangguan dalam “crossmodal (visual-auditory) memory retrieval”.

Bakker, et al., (1987) membagi disleksia menjadi dua tripologi, yaitu sebagai berikut [4]

  1. L-Type dyslexia (linguistic) Anak membaca relatif cepat namun dengan membuat kesalahan seperti penghilangan (omission), penambahan (addition), atau penggantian huruf (subtitution), dan kesalahan multi-kata lainnya.
  2. P-Type Dyslexia (perspective) Anak cenderung membaca lambat dan membuat kesalahan seperti fragmentasi (membaca terputusputus) dan mengulang-ulang (repetisi).

Dari dua tripologi di atas dapat dismipulkan bahwa jarang terdapat hanya satu jenis disleksia yang murni, kebanyakan gabungan dari berbagai jenis disleksia, dimana terdapat gangguan dalam masalah wicara bahasa, membaca, dan bahasa tulis.

REFERENSI :

[1] Lidwina, S. (2012). Disleksia berpengaruh pada kemampuan membaca dan menulis. JURNAL STIE SEMARANG (EDISI ELEKTRONIK), 4(3), 09-18.

[2] Kawuryan, F., & Raharjo, T. (2012). Pengaruh stimulasi visual untuk meningkatkan kemampuan membaca pada anak disleksia. Jurnal Psikologi: PITUTUR, 1(1), 9-18.

[3] Raharjo, Trubus. (2017). Kesadaran Phonologi Dengan Literasi Membaca Pada Anak Disleksia: Kajian Meta Analisis. Jurnal Psikologi Perseptual, 2(2), 109-123.

[4] Munawaroh, M., & Anggrayni, N. T. (2015). Mengenali Tanda-Tanda Disleksia Pada Anak Usia Dini. Proseding Seminar Nasional PGSD UPY

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Yuk Gabung di Komunitas Warung Sains Teknologi!

Ingin terus meningkatkan wawasan Anda terkait perkembangan dunia Sains dan Teknologi? Gabung dengan saluran WhatsApp Warung Sains Teknologi!

Yuk Gabung!

Di saluran tersebut, Anda akan mendapatkan update terkini Sains dan Teknologi, webinar bermanfaat terkait Sains dan Teknologi, dan berbagai informasi menarik lainnya.