Ancaman Bencana di Indonesia: Miskonsepsi Antara Prediksi dan Potensi

Dewasa ini sering kita di perdengarkan baik lewat media massa maupun media sosial tentang bencana “mengerikan” yang akan terjadi di […]

Peta risiko bencana tsunami non-tektonik di Selat. Garis pantai dengan risiko tsunami non-tektonik paling besar ditunjukkan dengan warna merah (Sumber : Rachel E. Brackenridge, dkk, 2020)

Dewasa ini sering kita di perdengarkan baik lewat media massa maupun media sosial tentang bencana “mengerikan” yang akan terjadi di Indonesia. Contohnya, pemberitaan digemparkan dengan statement Tim Riset ITB tentang potensi gempa dan tsunami setinggi 20 meter di pesisir selatan Jawa. Bahkan, baru-baru ini kembali viral sebuah pemaparan dalam webinar Kajian Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami di Jawa Timur oleh tim ahli BMKG (28/5) perihal potensi gempa bermagnitude 8,7 SR dan tsunami setinggi 29 meter di lepas pantai perairan Kabupaten Trenggalek[1]. Lalu, bagaimana respon masyarakat awam yang memercayakan hal itu pada otoritas terkait atau dala hal ini BMKG?

Viral

Sebuah video singkat di sebuah akun tiktok bernama @cacahoo (akun telah berganti nama) membagikan potongan video webinar. video tersebut memperlihatkan hasil analisis potensi BMKG tentang potensi tsunami di sepanjang garis Jawa Timur. Video tersebut sampai saat ini telah ditonton 2,3 juta orang. Disukai oleh lebih dari 124.800 ribu pengguna dibagikan lebih dari 33.400 ribu kali dan mendapat 7.114 komentar. Sontak ribuan orang melempar balasan seakan-akan bencana tersebut akan terjadi esok hari. Hal tersebut memperlihatkan sebuah kepanikan di masyarakat yang umumnya awam dengan deretan angka dan warna pada hasil analisis BMKG. Bukankah itu hanya sebuah potensi terburuk yang belum tentu terjadi dan bukan sebuah prediksi yang pasti waktu dan tempat terjadinya? Lalu, jika hal tersebut merupakan sebuah potensi yang dipersiapkan, bagaimana cara mempersiapkan tanpa membuat masyarakat panik secara berlebihan?

Gempa bumi disebabkan oleh deformasi batuan yang terjadi secara tiba-tiba pada daerah yang mengalami akumulasi medan tegangan (stress). Hasil dari akumulasi medan tegangan berupa gelombang gempa inilah yang hingga kini secara kuantitatif baik waktu, tempat, dan kekuatan terjadinya masih sulit untuk diketahui[2]. Hingga saat ini, BMKG hanya bisa memberikan potensi terjadi dan daerah yang memungkinkan terjadinya gempa bumi berdasarkan kejadian yang telah terjadi. Hal itu pula yang sebenarnya mewarnai pemberitaan yang booming akhir-akhir ini.

Prediksi dan Potensi

Menilik dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), prediksi berarti ramalan atau prediksi. Sedangkan potensi berarti kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan atau terjadi. Rilis dari BMKG pada webinar kajian dan mitigasi gempabumi dan tsunami di Jawa Timur (28/5) lalu adalah awal dari kegemparan yang terjadi di masyarakat. Kegemparan yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini tak ubahnya adalah sebuah miskonsepsi yang terjadi di masyarakat tentang penerimaan informasi kebencanaan, terutama kebencanaan geologi. Masyarakat menerima berita tersebut sebagai sebuah prediksi yang pasti terjadi. Di perparah oleh beberapa akun media sosial yang turut menyebarkan berita dengan narasi yang seolah menyayat hati, melebih-lebihkan demi konten semata. Hal tersebut yang semakin membuat masyarakat yang notabennya awam terhadap kebencanaan menjadi semakin kalang kabut.

“Inilah yang kami jadikan skenario kita ambil kemungkinan magnitudo tertinggi ini juga berdasarkan kajian dari Pusat Studi Gempa Nasional. Besarnya kemungkinan M 8.7, dan itu yang menjadi dasar skenario untuk memprediksi kemungkinan terjadinya tsunami. Hal-hal berupa ketinggian gelombang, kapan waktu datangnya, dan jarak masuknya berapa dapat terprediksi.” terang Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Dwikorita Karnawati, dalam webinar kajian dan mitigasi gempabumi dan tsunami di Jawa Timur (28/5) lalu.

blank
Gambar 1. Potensi akumulasi tegangan (stress) di selatan pulau jawa (Sumber: Antaranews.com)

Edukasi

Dari pernyataan sebelumnya dapat diketahui bahwa berita yang bersliweran di media sosial tersebut merupakan worst scenario. Hal itu merupakan skenario terburuk dari potensi yang akan terjadi di Pesisir Selatan Jawa Timur. Artinya, Tsunami tersebut bisa saja terjadi dan disertai gempa, tetapi tidak akan lebih dari yang diberitakan. Mungkin juga bisa saja tidak terjadi (hanya terjadi letupan gempa-gempa kecil), Tak ada yang tahu kapan dan bagaimana terjadinya. Sekali lagi, hal tersebut merupakan potensi, bukan prediksi seperti ramalan cuaca yang pasti terjadinya.

Oleh karena itu, peran pemberitaan sangatlah penting, utamanya masalah kebencanaan bagi masyarakat Indonesia. Peningkatan pemahaman masyarakat dalam memahami istilah kebencanaan dan bencana itu sendiri perlu ditingkatkan. Terlebih lagi, Indonesia merupakan daerah yang rawan akan bencana karena merupakan pertemuan empat lempang dunia yang membuat Indonesia memiliki sepuluh kali lipat tingkat kegempaan lebih tinggi dibanding Amerika Serikat[3]. Pemberian materi kebencanaan dasar pada sekolah-sekolah dalam edukasi kebencanaan ini dapat di lakukan lewat penyebaran informasi faktual. Hal tersebut dapat dilakukan lewat berbagai media – terutama media sosial, dan pemanfaatan kalangan terpelajar untuk turut mengedukasi masyarakat awam. Hal-hal tersebut di perlukan agar masyarakat tidak panik secara berlebihan. Selanjutnya, mereka bisa lebih siap menghadapi kebencanaan yang terjadi tak kenal malam tak kenal siang.

Mitigasi dan Adaptasi

blank
Gambar 2 Papan peringatan mitigasi bencana. (Sumber: Republika.com)

Namun, potensi tetaplah potensi yang suatu saat bisa saja terjadi. Status potensi hanyalah sebuah prediksi yang belum pasti sehingga tak menghilangkan kemungkinan bencana terjadi. Kegamangan inilah yang justru membuat kita seharusnya membuat atensi dalam diri untuk menghadapi bencana yang tak tahu kapan datangnya. Disinilah pentingnya mitigasi, adaptasi, dan pembiasaan diri kebencanaan. Mitigasi sendiri merupakan suatu upaya untuk menghindari/menjaga agar sebuah bahaya tidak menjadi suatu bencana atau mengurangi akibat dari suatu bencana tersebut. Sedangkan adaptasi adalah penyesuaian sistem alam dan manusia terhadap bencana alam yang terjadi, guna mengurangi dampak negatifnya.  Edukasi tentang pemahaman masyarakat tentang kebencanaan, mitigasi, dan adaptasi pembiasaan harus diselaraskan dan berjalan berdampingan. Hal itu karena pemahaman informasi harus disertai kecakapan menyelamatkan diri untuk menekan korban jika suatu saat bencana datang.

Latihan Membiasakan Diri

Hal lain yang bisa dilakukan untuk memberi edukasi kebencanaan dan “melatih” kepanikan adalah dengan mengadakan secara rutin simulasi kebencanaan. Hal ini di perlukan untuk merubah paradigma dari tanggap darurat menjadi siaga bencana. Sehingga, bahwa bencana tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus diterima begitu saja. Namun, bencana menjadi sesuatu yang bisa di antisipasi untuk mengurangi dampak negatifnya dan mengurangi kepanikan yang terjadi dimasyarakat. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama dan kolaborasi dari berbagai pihak untuk bahu-membahu mengatasi seluruh dampak negatif dari potensi kebencanaan. Hal-hal berupa miskonsepsi masyarakat terhadap pemberitaan tentang kebencanaan yang menyebabkan kepanikan berlebihan dan juga ketidakpedulian terhadap kebencanaan harus segera di benahi agar Indonesia bisa lebih bijak dan mandiri untuk menhadapi bencana di tanahnya sendiri.

الوهم نصف الداء Kepanikan adalah separuh penyakit.

والاطمئنان نصف الدواء  Ketenangan adalah separuh obat.

والصبر أول خطوات الشفاء  Kesabaran adalah awal dari kesembuhan (Ibnu Sina)[4].

REFERENSI

[1] Nur Rohmi, Aida (2021). Ramai Potensi Gempa 8,7 SR dan Tsunami 29 Meter di Jawa Timur, Ini Penjelasan BMKG. Diakses dari

https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/04/094000465/ramai-potensi-gempa-87-sr-dan-tsunami-29-meter-di-jawa-timur-ini-penjelasan?page=all 

[2] https://www.bmkg.go.id/berita/?p=bmkg-gempabumi-belum-dapat-diprediksi-jangan-termakan-isu&lang=ID&tag=press-release

[3] BPBD Kota Bogor (2016). Potensi Ancaman Bencana. Diakses dari https://bpbd.kotabogor.go.id/edukasi/detail/13 pada 20 Agustus 2021

[4] Admin Mukisi (2020). Tiga Tips Dari Bapak Kedokteran Muslim Saat Menghadapi Krisis Kesehatan. Diakses dari https://mukisi.com/3848/tiga-tips-dari-bapak-kedokteran-muslim-saat-menghadapi-krisis-kesehatan/

[5] Brahmantyo, Budi, dkk.(2008).Bencana Alam.Pengantar Ilmu dan Teknologi Kebumian.Hal: 249.Bandung: FITB ITB

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *