Batubara merupakan bahan bakar fosil paling murah yang umumnya digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Batubara juga memiliki cadangan yang lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya seperti minyak bumi dan gas alam. Dilansir dari Kompas.com (02/09/2018), cadangan batubara Indonesia mengalami peningkatan dari 29,9 miliar ton pada tahun 2017 menjadi 37 miliar ton pada tahun 2018. Cadangan batubara tersebut dapat bertahan hingga 76 tahun kedepan. Sumber daya batubara pun meningkat dari 140 miliar ton pada tahun 2017 menjadi 166 miliar ton pada tahun 2018[1].
Menurut PP Nomor 45 Tahun 2003, batubara diklasifikasikan berdasarkan nilai kalorinya yaitu batubara kalori rendah (< 5100 kal/gr), sedang (5100 – 6100 kal/gr), tinggi (6100 – 7100 kal/gr) dan sangat tinggi (7100 kal/gr). Sumber daya batubara dibagi menjadi empat kelas yaitu hipotetik (hasil survey tinjau), tereka (hasil prospeksi), tertunjuk (hasil eskplorasi pendahuluan) dan terukur (hasil eksplorasi rinci). Sedangkan cadangan batubara dibagi menjadi dua kelas yaitu terkira dan terbukti. Sumber daya dan cadangan batubara Indonesia terpusat di pulau Kalimantan sebesar 54,2% dan Sumatera sebesar 45,8%. Pada tahun 2016, pulau Kalimantan dan Sumatera menyimpan cadangan batubara masing-masing sebanyak 15.410,22 juta ton dan 13.047,15 juta ton. Sumber daya dan cadangan batubara Indonesia pada tahun 2016 yang diklasifikasikan berdasarkan kualitas batubara ditunjukkan oleh Tabel 1 dan berdasarkan wilayah ditunjukkan oleh Tabel 2.
Tabel 1. Sumber daya dan cadangan batubara Indonesia berdasarkan kualitas tahun 2016[2]
Tabel 2. Sumber daya dan cadangan batubara Indonesia Per Provinsi tahun 2016[2]
Â
Pada tahun 2017, produksi batubara Indonesia mencapai 461,11 juta ton sehingga menempatkan Indonesia menjadi 5 produsen terbesar batubara dunia. Padahal cadangan batubara Indonesia hanya 2,2% dari total cadangan batubara dunia. Indonesia hanya mengkonsumsi batubara sebesar 20% yang mayoritas digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Sebanyak 80% batubara Indonesia diekspor sebagai bahan mentah ke beberapa negara seperti China, Jepang, Korea dan Taiwan yang ditunjukkan oleh Tabel 3.
Tabel 3. Eskpor batubara Indonesia berdasarkan negara tujuan dari tahun 2007 – 2016 (ribu ton)[3]
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 mengenai Kebijakan Energi Nasional (KEN), ketersediaan batubara untuk kebutuhan nasional dapat dipenuhi dengan mengurangi volume ekspor secara bertahap hingga menghentikan ekspor batubara sebagai bahan mentah. Volume ekspor batubara Indonesia akan dari 81% pada tahun 2015 menjadi 28% pada tahun 2050. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan batubara domestik sebesar 5,8% per tahun. Disisi lain, kontrak produksi batubara PKP2B diperkirakan akan berakhir pada tahun 2030. Perusahaan PKP2B akan beralih status menjadi kontrak IUPK. Dengan status kontrak IUPK, produsen batubara akan dikenakan berbagai ketentuan pajak yang membuat ekspor batubara menurun secara bertahap ketika kebutuhan batubara domestik terus meningkat. Dengan kondisi tersebut, ekspor batubara Indonesia dapat menjadi nol pada tahun 2050 yang ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1. Jumlah produksi dan konsumsi batubara Indonesia[4]
Jumlah pasokan batubara untuk dalam negeri pada tahun 2017 sebanyak 97,03 juta ton dari target 121 juta ton. 81,79% pasokan batubara untuk dalam negeri digunakan sebagai bahan bakar PLTU dan sisanya digunakan oleh industri semen, pupuk, tekstil dan lain-lain. PLTU menggunakan batubara berkalori rendah dan sedang untuk pengoperasiannya. Hal itu sesuai dengan kondisi cadangan batubara nasional yang mayoritas batubara berkalori rendah dan sedang. Batubara yang diimpor dalam jumlah terbatas merupakan batubara berkalori tinggi untuk kebutuhan industri baja dan mineral. Impor batubara tersebut masih bertahan hingga 2050. Tabel 4 menunjukkan pemenuhan pasokan batubara untuk industri dalam negeri pada tahun 2017.
Tabel 4. Pasokan batubara untuk industri dalam negeri tahun 2017[5]
Ketenagalistrikan Indonesia
Program pengembangan pembangkit listrik 35 GW masih membutuhkan peranan batubara. Bahkan kebutuhan batubara akan terus meningkat meskipun presentase kontribusi terhadap bauran energi primer turun. Sumber energi untuk pembangkit listrik Indonesia berasal dari batubara sebanyak 48%, gas alam 28%, minyak bumi 15%, air 6%, panas bumi 2% dan 1% lainnya. Biaya sumber energi listrik batubara hanya Rp. 378/kWh dibandingkan dengan panas bumi sebesar Rp. 643/kWh, gas alam Rp. 912/kWh dan minyak bumi Rp. 2.835/kWh[6].
BPPT dalam laporan Outlook Energi Indonesia 2017 menjelaskan bahwa presentase batubara dalam bauran energi primer terus meningkat hingga tahun 2050. Sedangkan gas alam dan minyak bumi mengalami penurunan hingga tahun 2050. Hal ini disebabkan ketersediaan minyak bumi semakin menipis dan produksi gas alam yang terus berkurang. Selain itu, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) mengalami peningkatan hingga tahun 2050. Namun, peningkatan tersebut tidak terlalu siginifikan karena bahan bakar fosil masih belum tergantikan hingga tahun 2050 yang ditunjukkan oleh Gambar 2.
Gambar 2. Bauran energi primer menurut BPPT[4]
Disisi lain, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2017 menunjukkan bahwa presentase kontribusi batubara dalam bauran energi primer turun dari tahun 2025 hingga 2050. Pada tahun 2025, batubara berkontribusi sebesar 30% atau setara dengan 205,3 juta ton. Sedangkan pasokan energi batubara pada tahun 2050 berkontribusi sebesar 438,8 juta ton atau setara dengan 25,3%[7]. Bauran energi primer menurut RUEN tersebut sudah sesuai dengan target bauran energi KEN.
RUEN pun mencanangkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan cara diversifikasi energi yang meningkatkan porsi energi terbarukan dan mengurangi porsi energi fosil. Selain itu, RUEN merekomendasikan pemanfaatan teknologi batubara bersih (clean coal technology) untuk pembangkit tenaga listrik, substitusi BBM menjadi gas alam dan pelaksanaan konservasi energi pada tahun-tahun mendatang. Penurunan emisi gas rumah kaca tahun 2015-2050 menurut RUEN ditunjukkan oleh Gambar 3.
Gambar 3. Penurunan emisi gas rumah kaca tahun 2015-2020[7]
Untuk menjamin kebutuhan batubara domestik, pemerintah menetapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 34/2009. Harga batubara acuan (HBA) pada bulan Juli 2018 sebesar USD 104,65/ton. Harga tersebut terlalu mahal bagi industri pembangkit listrik. Sehingga pemerintah menetapkan harga batubara khusus untuk pembangkit listrik sebesar USD 70/ton melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018[9]. Tetapi kementerian ESDM juga menetapkan bahwa volume maksimal pembelian batubara untuk pembangkit listrik sebesar 100 juta ton/tahun. Jika nanti harga batubara acuan turun di bawah USD 70/ton, maka harga batubara untuk pembangkit listrik yang diikuti bukan USD 70/ton melainkan harga terendah HBA tersebut.
Referensi
[1] Pratma, A. M. 2018. Cadangan Batubara Indonesia Naik Jadi 37 Miliar Ton. Diakses dari : https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/02/152547326/cadangan-batu-bara-indonesia-naik-jadi-37-miliar-ton pada 09 September 2018
[2] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2018. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018 – 2027.
[3] BP. 2018. BP Statistical Review of World Energy.
[4] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2017. Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia.
[5] Pusat Teknologi Sumber Daya Energi dan Industri Kimia. 2017. Outlook Energi Indonesia 2017 : Inisiatif Pengembangan Teknologi Energi Bersih. Jakarta : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
[6] Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. 2018. Laporan Kinerja 2017. Jakarta : Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
[7] Asosisasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA). 2016. Listrik Murah. Diakses dari : https://www.youtube.com/watch?v=iAVVPuRu4Xk pada 9 September 2018
[8] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional
[9] Putri, E. 2018. Kilas Balik Harga Si Emas Hitam. Majalah Listrik Indonesia