Biomass dari Limbah Sampah Sebagai Energi Baru dan Terbarukan

Energi Baru dan Tebarukan Pertumbuhan penduduk Indonesia terus tumbuh dengan sangat pesat sejalan dengan perkembangan teknologi dan mengakibatkan kebutuhan energi […]

blank

Energi Baru dan Tebarukan

Pertumbuhan penduduk Indonesia terus tumbuh dengan sangat pesat sejalan dengan perkembangan teknologi dan mengakibatkan kebutuhan energi yang semakin meningkat. Berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan energi primer, terutama dari bahan bakar fosil (minyak bumi, gas alam dan batubara). Energi final  ( listrik dan transportasi) yang menggunakan energi primer fosil sering menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak negatif tersebut antara lain : meningkatkan emisi karbon dioksida, hujan asam, mengurangi jumlah ozon dan meningkatkan efek rumah kaca. Efek buruk pada lingkungan yaitu mempengaruhi perubahan iklim yang ekstrim. Pada tahun 2000 tercatat 60,1 juta ton emisi karbondioksida, dan tahun 2016 terus meningkat dengan emisi 97,9 juta ton karbondioksida. Pencemaran udara ini dapat menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim dan bencana alam seperti angin puting beliung [1].

Dalam rangka meningkatkan penyediaan energi primer melalui pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan, pemerintah mengesahkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan Keputusan Presiden yaitu Perpres No. 79 Tahun 2014. Keputusan ini menetapkan penggunaan energi baru dan terbarukan untuk mencapai bauran Energi primer sebesar 23% pada tahun 2025 dan berharap terus meningkat menjadi 31% pada tahun 2050.  Kebijakan pemerintah ini kemudian masuk dalam Rencana Umum Energi Nasional yang tertuang dalam Perpres No. 22 Tahun 2017 [2].

Sumber energi baru dan terbarukan untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil dan dampak negatif lingkungan adalah penggunaan energi biomassa. Ketenagakelistrikan banyak memanfaatkan energi dari biomassa (biogas, bioetanol dan biodiesel)  dan penggunaan biofuel menggantikan penggunaan batubara, minyak bumi dan gas alam [3].

Neraca Minyak Bumi, Gas Bumi dan Batubara

Migas mempekirakan energi primer tak terbarukan turun hingga 5% per tahun, dengan produksi minyak sebesar 292,4 juta barel pada tahun 2017, turun menjadi 53,8% dari tingkat produksi tahun 2050. Sistem impor akan tumbuh sebesar 7,7% atau 11 kali lipat dari tahun 2017 hingga tahun 2050. Hal ini setara dengan kapasitas impor tahun 2017 sebesar 102,7 juta barel. Dan meningkat sebesar 924,9 juta barel pada tahun 2050.

Gas bumi sebagai energi primer merupakan sumber devisa utama sebagai produk komoditas ekspor. Namun seiring meningkatnya permintaan energi gas bumi di Indonesia, volume ekspor menurun. Permintaan gas bumi akan meningkat hingga 3,5% per tahun pada tahun 2050, dari 1.516 BSCF pada tahun 2017 menjadi 4.723 BSCF. Oleh karena itu, mulai tahun 2028 Indonesia memperkirakan tidak lagi menjadi negara pengekspor gas melainkan mulai mengimpor.

Total produksi batubara domestik terus meningkat dengan persentase pertumbuhan 1% per tahun. Dimana 76% dari total produksi batubara merupakan batubara ekspor. Namun, seiring dengan meningkatnya permintaan batu bara dalam negeri sebagai keperluan pembangkit listrik dan industri, volume ekspor batu bara Indonesia akan menurun hingga 3% dan melemah pada tahun 2050 [2].

Teknologi Pengolahan Biomass

Teknologi pengolahan Bomassa telah berkembang pesat sampai saat ini karena pemerintah telah berhasil menggunakan B10 untuk keperluan biodiesel. Biodiesel sendiri tidak hanya sebagai biofuel untuk keperluan transportasi, tetapi juga berguna untuk Pembangkit Listrik Biodiesel dengan mencampurkan biodiesel dengan solar yang berhasil saat ini [4]. Tujuan pemerintah adalah untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati B30 sebagai sumber pembangkit listrik. Bahkan, pemerintah melalui Kementerian ESDM menginisiasi pembangunan PLTD Belitung yang 100% berbahan bakar CPO. Hal ini tentunya merupakan terobosan teknologi untuk mencapai kemandirian dan mengurangi ketergantungan terhadap minyak dan gas bumi [5].

Salah satu proses biomassa yang terus berkembang adalah pemanfaatan sampah sebagai bahan baku energi listrik. Menurut data statistik Badan Pusat Statistik, jumlah sampah secara nasional mencapai 71,2 juta ton per tahun pada tahun 2025. Dan jika tidak ada upaya serius untuk menanganinya, jumlah sampah akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2050 dibandingkan saat ini [1].

Manajemen dan pengelolaan sampah yang tidak tepat dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang menjadi perhatian dunia. Menurut perkiraan Bank Dunia (World Bank), pada tahun 2016 emisi gas rumah kaca dari penumpukan limbah meningkat menjadi 1,6 miliar ton emisi karbon dioksida atau 5% dari emisi global dan emisi karbon dioksida akan terus naik menjadi 2,6 miliar ton pada tahun 2050 [1].

Pemerintah Indonesia tidak lepas dalam memperhatikan masalah pengelolaan sampah, salah satunya dengan membuat kebijakan. Kebijakan tersebut ada dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018. Perpres berisi Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (Pemerintah Republik Indonesia, 2018). Program Waste To Energy pemerintah diluncurkan dan diprakarsai oleh pemerintah melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Jatibarang Semarang  menggunakan Teknologi Landfill Gasifikasi sebagai sumber pembangkit listrik [6].  Landfill Gasifikasi adalah pengolahan sampah menjadi gas melalui proses metanasi, setelah itu gas akan berfungsi untuk menggerakkan generator gas turbin.

 

blank

Pembangkitan listrik dari sampah dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi inersia dengan cara membakar sampah di insinerator (kompor), setelah itu hasil pembakaran sampah digunakan untuk memanaskan air (uap) dan menggerakkan turbin uap untuk menghasilkan listrik [7].

blank

Namun ada satu teknologi di Indonesia yang dapat berkembang untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu teknologi gasifikasi plasma. Teknologi gasifikasi plasma mengolah sampah menjadi plasma panas yang berguna untuk pemanasan steam dan pembangkit listrik, serta menghasilkan gas sintetik sintetik (H2, CO, O2, CH4) yang juga dapat digunakan untuk pembangkit listrik dan sisa produk limbah padat yang dapat menjadi aspal dan sedikit debu [8].

 

blank

blank

Proses gasifikasi Plasma

Gambar sebelumnya menunjukkan proses plasma gasifikasi. Suhu tungku plasma termal (reaktor gasifikasi plasma) antara 5000 °C – 7000 °C untuk dapat mengubah bahan sampah menjadi gas sintetis. Hasil syngas pada suhu 1000°C – 1200°C diumpankan ke heat exchanger (heat exchanger/HE) dan digunakan untuk memanaskan air menjadi uap untuk menggerakkan turbin uap, dan syngas dari HE masuk kedalam gas treatment sehingga menghasilkan syngas yang bersih dan dapat dijual atau digunakan untuk menghidupkan gas turbine[8].

Plasma Torch

Plasma Torch (Obor Plasma) terdiri dari 3 komponen penting yaitu : Katoda, tahap injeksi gas pembentuk plasma, dan anoda. Perangkat ini berfungsi untuk menaikkan suhu sampai dengan 10.000 K sehingga material sampah dapat berubah ke dalam bentuk gas. Plasma Torch menggunakan daya listrik berkisar antara 10 dan 100 kW, arus busur antara 250 dan 1000 A, tegangan busur antara 30 dan 100 V, dan laju aliran antara 20 dan 150 slpm (liter standar per menit) [9].

Reaksi Gasifikasi Plasma

Gasifikasi plasma mengikuti proses reaksi dari stoikiometri, dengan reaksi utamanya:

blank

Berdasarkan komposisi dalam sampah (MSW) dapat dinyatakan dalam komposisi C6H10O6 [9] dengan reaksi kimia sebagai berikut :

blank

Gasifikasi plasma memproses sampah dengan mengubahnya menjadi gas sintetis tanpa pembakaran dan penimbunan. Indonesia perlu mempertimbangkan pengembangan Teknologi Gasifikasi Plasma untuk memproses sampah. Teknologi gasifikasi plasma dapat menghasilkan 816 kWh listrik/ton sampah dan tidak menghasilkan emisi karbondioksida [10]. Perbandingan pengolahan limbah setelah proses gasifikasi dengan teknologi lain terdapat pada tabel berikut ini:

 

blank

REFERENSI

[1]      Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2018. Badan Pusat Statistik/BPS–Statistics Indonesia, 1–43. https://doi.org/3305001

[2]      (BPPT) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. (2019). Indonesia Energy Outlook 2019: The Impact of Increased Utilization of New and Renewable Energy on the National Economy.

[3]      Arhamsyah, A. (2010). Pemanfaatan Biomassa Kayu Sebagai Sumber Energi Terbarukan. Jurnal Riset Industri Hasil Hutan, 2(1), 42. https://doi.org/10.24111/jrihh.v2i1.914

[4]      Imam Kholiq. (2015). Pemanfaatan Energi Alternatif sebagai Energi Terbarukan untuk Mendukung Subtitusi BBM. Jurnal IPTEK, 19(No 2), 75–91.

[5] https://ebtke.esdm.go.id/post/2019/04/10/2206/ditjen.ebtke.serahkan.aset.senilai.rp.96.miliar.ke.pemkab.belitung

[6]      Nurhadi, N., Windarta, J., & Ginting, D. (2020). Evaluasi Pemanfaatan Gas TPA Menjadi Listrik, Studi Kasus TPA Jatibarang Kota Semarang. Jurnal Energi Baru Dan Terbarukan, 1(1), 19–25. https://doi.org/10.14710/jebt.2020.8134

[7]      Winanti, W. S. (2018). Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Prosiding Seminar Nasional Dan Konsultasi Teknologi Lingkungan, 58, 1–5. https://enviro.bppt.go.id/Publikasi/ProsidingTekLing2018/MakalahII.8_TeknologiPembangkitListrikTenagaSampah

[8]      Byun, Y., Cho, M., Hwang, S.-M., & Chung, J. (2012). Thermal Plasma Gasification of Municipal Solid Waste (MSW). Gasification for Practical Applications, October. https://doi.org/10.5772/48537

[9]      Gandhi, H. (2015). Plasma Gasification: From a Dirty City to a Heavenly Place and from Waste Solids to Clean Fuel. IJIRST –International Journal for Innovative Research in Science & Technology, 1(11), 18–24.

[10]    Pramudiyanto, A. S., & Suedy, S. W. A. (2020). Energi Bersih dan Ramah Lingkungan dari Biomassa untuk Mengurangi Efek Gas Rumah Kaca dan Perubahan Iklim yang Ekstrim. Jurnal Energi Baru dan Terbarukan, 1(3), 86-99. https://doi.org/10.14710/jebt.2020.9990

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *