Ditulis oleh Deni Eko Santoso – Universitas Gajah Mada .
Sebagai mahasiswa fakultas teknik, bagiku kata ‘riset’ ini menjadi sesuatu yang sangat ‘wah’. Bagaimana tidak, ketika seseorang melakukan riset, berarti ia sedang dalam proses menemukan sebuah invention, sebuah penemuan, sebuah ilmu baru yang kelak bisa mengubah dunia, seperti riset yang dilakukan James Watt, Marie Curie, atau Albert Einstein. Ketika tiba saatnya aku harus melakukan riset, aku berangan-angan kalau penelitianku kelak akan mengubah dunia, dan namaku akan diabadikan menjadi nama satuan, atau nama alat.
Lalu saat-saat yang kutunggu itu tiba. 138 SKS kubutuhkan untuk mendapat kesempatan riset. Ah iya, maaf aku lupa menjelaskan kalau kesempatan riset ini adalah skripsi. Memang skripsi ini hanya akan berakhir sebagai buku yang tersimpan di lemari usang perpustakaan, tapi proses penyusunan skripsi ini tentu memerlukan riset. Proses inilah yang kucari. Setelah semua persyaratan adiminstrasi kulengkapi, inilah waktuku untuk menunjukan pada dunia apa yang seorang Deni Eko Santoso bisa lakukan.
Aku sudah melakukan ancang-ancang tema untuk skripsiku. Sesuai dengan cita-citaku yang ingin menghasilkan sesuatu yang ‘wah’, aku memilih tema yang mungkin bisa dibilang futuristik. Aku ingin membuat sebuah alat yang bisa mendeteksi kanker kulit manusia. Alat ini akan berbentuk sebuah perangkat portabel dengan akurasi yang sangat baik, sehingga nanti manusia tidak perlu susah-susah lagi pergi ke dokter hanya untuk diagnosis kanker kulit. Terdengar begitu futuristik, bukan ?
Aku tidak main-main dengan ide yang aku usung. Demi mewujudkanya, aku mendatangi departemen dermatologi fakultas kedokteran, dan bertemu dengan seseorang yang kelak menjadi pembimbing skripsiku. Begitu pertama bertemu, beliau berambut putih dan tampak renta, namun kesan renta itu hilang ketika aku ajak berdiskusi tentang tema skripsi yang aku usung. Kami bertukar pikiran, bahkan mungkin menjurus adu pendapat. Ditengah percakapan itu, tiba-tiba beliau memotong,
“Apa guna kamu riset ?”, aku sedikit terhenyak, pertanyaan seperti ini tidak kusangka akan dilontarkan padaku.
“Ya karena saya ingin menciptakan alat yang akan memudahkan kehidupan manusia nantinya pak”, jawabku.
“Memangnya manusia akan menghadapi masalah jika alatmu tidak tercipta ?”, balasnya lagi.
Aku terhenyak sekali lagi, kok malah pertanyaan dasar seperti ini yang kudapat.
“Ehmm, tidak sih pak,”, jawabku kali ini, agak sedikit down.
“Terus apa guna kamu riset kalau tidak ada masalah yang terselesaikan ?”, ujarnya.
Beliau mengajariku apa itu riset karena kegagalanku menjawab pertanyaan sederhana tadi yang diajukan padaku. Aku hanya bisa memandanginya dan mengangguk-angguk. Bagiku, yang sudah berapi-api mengusung tema riset futuristik, tentu ini adalah sebuah pukulan. Untuk apa aku mengusung tema futuristik, kalau bahkan dasar-dasar riset saja aku gagu menjawab ?
Ditengah kegamanganku, beliau menunjukan sebuah alat bernama kromameter. Beliau menjelaskan kalau alat itu berfungsi untuk mengukur pigmen kulit manusia. Terakhir, beliau menantangku untuk membuat alat yang berfungsi seperti kromameter namun dengan biaya produksi yang lebih rendah. Kromameter ini, jelasnya, memiliki harga yang sangat tinggi, dan karena itulah alat ini sulit ditemukan meskipun memiliki fungsi yang vital. Aku hanya mengangguk saja dan mengucapkan salam, lalu aku meninggalkan tempat itu. Dalam hati aku mendengus kesal, untuk apa aku membuat alat yang sudah ada ? gak futuristik dong ?
Inilah wujud kromameter yang menjadi tantangankuSudah sebulan sejak percapakanku dengan pak dokter itu, namun kalimat ‘untuk apa kamu riset’ yang diucapkanya masih terngiang-ngiang di telingaku. Aku tidak bisa menerima fakta bahwa tema futuristik yang kudambakan itu dicampakan begitu saja. Aku membaca kisah-kisah penemu hebat macam James Watt, Marie Curie, dan Albert Einstein. Kucari tahu kenapa mereka melakukan riset untuk mendukung argumenku tentang riset yang futuristik.
Rupa-rupanya kisah para penemu hebat itu sama sekali tidak mendukung argumenku. Mereka melakukan riset karena memang ada masalah di masyarakat saat itu yang harus dipecahkan. James Watt memecahkan kesalahan desain pompa Newcomen, Marie Curie memecahkan misteri radioaktivitas, dan Albert Einstein memecahkan masalah angin eter. Jika aku membandingkan argumenku dengan alasan mereka, aku merasa idiot. Kenapa aku melakukan riset yang berangkat dari ambisi pribadi ? bukan berangkat dari masalah di masyarakat ?
Singkat cerita, akhirnya aku menerima tantangan pak dokter itu, dan beliau menerimaku menjadi anak bimbinganya.
Meskipun aku sudah berlepas diri dari tema futuristik dan melakukan riset yang bertema ‘standar’ menurut kacamataku, tetap saja aku merasa kesulitan. Kromameter ini merupakan perangkat seharga 90 juta rupiah. Pak dokter menantangku agar alat yang aku buat ini memiliki harga komponen penyusun maksimal 1 juta, namun memiliki akurasi diatas 75%. Terbayang sulitnya ? ini ibarat aku disuruh membuat smartphone low end berfungsi layaknya mobil yang bisa aku tunggangi dan membawaku kemana-mana.
Meski sulit, kuputuskan untuk tidak menyerah. Karena inilah riset. Pertanyaan ‘apa guna kamu riset’ kini bisa kujawab dengan gamblang,
“Untuk membuat sebuah alat yang memiliki fungsi seperti kromameter namun dengan harga 1/90 nya”.
Penelitian ini masih berlanjut karena aku belum sidang. Semoga pada sidang aku mampu mempertahankan idealismeku tentang riset, yang awalnya “membuat sesuatu yang futuristik” menjadi “membuat sesuatu yang berguna”. Secara filosofis, aku memang harus berpikiran seperti itu, karena fakultas teknik bertujuan untuk melahirkan lulusan-lulusan yang bisa menjadi solusi, bukan mengada-ada.