GTM Kadja, Calon Peraih Rekor MURI sebagai Doktor Termuda di Indonesia

Fokus pemerataan peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia, khususnya di wilayah timur, yang seringkali mengalami hambatan akibat topografi yang […]

Fokus pemerataan peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia, khususnya di wilayah timur, yang seringkali mengalami hambatan akibat topografi yang ekstrem dengan jarak tempuh antara kota dan desa yang amat jauh, tak dinyana justru memicu seorang Grandprix Thomryes Marth Kadja memilih jalan sebagai ilmuwan muda.

Lulus S1 pada tahun 2013 di Jurusan Kimia Universitas Indonesia (UI). Pria kelahiran Kupang, 31 Maret 1993, ini, langsung mendapatkan beasiswa PMDSU Kemenristekdikti di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada jurusan yang sama, tetapi dengan spesifikasi berbeda. Cerita mengenai diterimanya Grandprix di beasiswa PMDSU berpotensi mengukir sejarah baru di dunia Pendidikan Tinggi Indonesia. Apabila berhasil menyelesaikan penelitian akhirnya di tahun ini atau tahun depan, ia akan memecahkan rekor MURI sebagai doktor termuda di Indonesia pada usia 24 tahun.

Ramah, humble, dan easygoing, tetapi selalu diliputi kegelisahan dan rasa ingin menemukan gagasan baru, yang berguna bagi bangsa. Begitulah deskripsi singkat dari seorang Grandprix. Dengan santai ia mengatakan bahwa pencapaian yang diraihnya saat ini tidak lepas dari peran kedua orang tuanya yang senantiasa menciptakan situasi kondusif di rumah tinggalnya, seperti membudayakan diskusi dan membaca sejak dini. Ini membuat Grandprix tumbuh sebagai anak yang selalu haus akan bahan bacaan dan topik baru dalam pendiskusian. Meskipun dengan ragu-ragu, ia mengaku bahwa buku bacaan favoritnya ketika itu adalah Komik Shincan. Sebuah buku yang menurutnya telah banyak membantu dirinya terbiasa berpikiran lain dalam memandang sesuatu, meskipun sama sekali tidak ada kaitannya dengan bidang ilmu yang saat ini tengah digelutinya.

Grandprix Thomryes Marth Kadja, Calon Doktor Kimia lulusan ITB

“Saya punya koleksinya lengkap. Bahkan di komputer kerja saya ada tempelan stiker Shincan,” katanya.

Suasana keilmuan di ITB, khususnya di laboratorium tempatnya bekerja menjadi faktor utama pendukung keberhasilan dirinya dalam berkarya. Sebagai seorang ilmuwan muda, Grandprix hingga saat ini telah memberi banyak kontribusi terhadap ilmu pengetahuan Indonesia dan dunia. Tercatat, hingga saat ini, ia telah menerbitkan 9 publikasi ilmiah: 1 publikasi berskala nasional dan 8 publikasi berskala internasional. Menarik untuk disimak, 7 dari 8 publikasi internasional yang dihasilkannya terindex Scopus.

Pencapaian Grandprix tersebut merupakan hal yang luar biasa bagi Indonesia. Sebab tidak banyak orang di usia muda, dapat produktif seperti dirinya. Bahkan, sekelas Lektor Kepala dan Profesor pun belum banyak yang dapat melakukannya.

Dipimpin Dr. Rino R. Mukti, selaku pembimbing, bersama rekan-rekannya, Grandprix mulai membangun budaya riset demi menghasilkan penelitian berkelas internasional tanpa melulu mesti bergantung pada laboratorium di luar negeri. Grandprix bercerita bahwa untuk bisa menerbitkan publikasi sebanyak itu, ia harus mempush diri dengan tidak membuang banyak waktu untuk kegiatan yang dianggapnya kurang penting, berselancar di media sosial, misalnya.

Setiap hari, demi merawat kultur keilmuannya, Grandprix memaksa diri selalu datang ke laboratorium kimia untuk mengerjakan penelitian, dimulai pada pukul 08.00 dan pulang seminimalnya pukul 16.00. Di sela-sela waktu senggangnya, ketika rehat mengerjakan penelitian, ia pergunakan untuk membaca jurnal.

“Baca jurnal bagi saya itu wajib. Apalagi di ITB, akses dapetin jurnalnya juga mudah. Sayangnya, kebanyakan dari kita manfaatinnya cuma buat unduh saja. Unduhnya 100 jurnal, bacanya hanya 2 jurnal,” katanya.

Kendati disiplin terhadap waktu, itu bukanlah sebuah garansi bagi Grandprix bisa melalui proses menulis jurnal dengan mudah. Butuh waktu tidak sedikit untuknya menuliskan setiap gagasan ke dalam bentuk jurnal.

“Prosesnya sulit. Saya biasanya terlebih dulu perlu mengemas data penelitian, agar urgensi dan kebaruannya dapat terlihat,” ujarnya.

Biasanya, dari data-data yang sudah didapatkan, ia lanjutkan ke tahap analisis, lalu kemudian ditampilkan dalam bentuk figure, tabel, atau grafik. Setelah semua itu sudah tersusun dengan baik, barulah ia mendiskusikan hasil kerjanya dengan pembimbing mengenai story flow-nya sampai disepakati secara bersama-sama. Terakhir, barulah bentuk utuhnya ia tulis.

Dalam setahun, Grandprix bisa mengirim sekaligus dua jurnal yang berbeda. Meskipun jurnal-jurnal yang dikirimnya tidak lantas bisa langsung diterima sebagai karya yang patut dipublikasikan. Tidak jarang Grandprix mendapat komentar atau bahkan kritik keras dari para reviewer dan bahkan sampai kena reject dari suatu jurnal.

 “Kalau sudah direject, stresnya bukan main. Pergi ke laboratorium aja malas. Untungnya ada pembimbing yang selalu memberi saya motivasi untuk mulai terbiasa menerima penolakan dan mencari tahu dimana letak kekurangan dari tulisan saya. Setelah tahu, saya perbaiki, lagi dan lagi, sampai akhirnya bisa publikasi,” ungkapnya.

Ada hal menarik yang tidak banyak diketahui orang mengenai alasan ilmuwan muda ini memilih beasiswa PMDSU di ITB. Grandprix mengatakan bahwa sebenarnya, sebelum memilih beasiswa ini, ia sempat mendapat tawaran melanjutkan studinya di Korea Selatan. Namun, ketika seorang pembimbing datang dan menyodorkan berkas beasiswa PMDSU di ITB, bayang-bayang dirinya untuk studi di luar negeri sama sekali hilang di dalam benaknya.

“Pada prinsipnya, saya ingin ada tantangan. Bisa gak sih saya kerja dan melakukan penelitian di dalam negeri, tapi hasilnya itu levelan internasional?” katanya, sembari melemparkan senyum hangatnya.

Selain itu, alasan lain mengapa Grandprix tidak memilih studi di luar negeri, adalah karena keinginannya untuk menempa diri agar terbiasa berinovasi di tengah kondisi serba terbatas. Berada pada situasi yang aman, nyaman dan serba dimanjakan seperti di luar negeri, ia anggap hanya akan melemahkan mentalnya dalam bersaing di dunia ilmu pengetahuan. Sikap tersebut ia lontarkan bukan tanpa dasar. Belakangan ini, ketika hasil penelitiannya banyak dipublikasikan. Seringkali, ia menemukan orang-orang hebat Indonesia yang berkesempatan studi di luar negeri, ketika kembali ke tanah asalnya justru seperti kebingungan. Menurutnya, masalah utamanya ada pada keengganan untuk mulai beradaptasi di lingkungan dengan akses serba terbatas. Sehingga banyak dari mereka yang malah ketika kembali menjadi kurang produktif menulis paper, jurnal ilmiah, atau mempublikasikan penelitian dalam skala nasional atau internasional. Dan kondisi demikian, Grandprix anggap sebagai buntut dari rasa nyaman yang dihadirkan oleh negara luar.

Bagi Grandprix, publikasi internasional merupakan sesuatu yang penting. Bukan sebagai upaya mengejar eksistensi di dunia ilmu pengetahuan. Melainkan sebagai salah satu cara bagi dirinya mendarmakan bekal atau ilmu yang selama ini didapat agar berguna untuk banyak orang.

“Namun, pengetahuan baru ini sendiri harus berkelas internasional sehingga benar-benar teruji. Dengan begitu, karena kita menghasilkan pengetahuan yang baru, maka, itu akan mengubah posisi kita di dalam benak, sudah banyak orang, yang dari pengguna menjadi pencipta,” tambahnya.

Mengenai beasiswa PMDSU, Grandprix berharap agar program tersebut terus diselenggarakan. Alasannya, selain sebagai upaya menjawab kebutuhan ilmuwan dan doktor berkualitas yang ada di Indonesia. Program ini juga bisa menjadi ajang pembuktian Indonesia kepada dunia. Bahwa Pendidikan Tinggi di Indonesia pun, kini, telah mampu melahirkan ilmuwan-ilmuwan muda lokal, tetapi berskala internasional.

Sumber: Ristekdikti

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top