Gas CO2 merupakan salah satu gas penting yang perlu dipertahankan keberadaannya di bumi, salah satunya untuk kepentingan pertumbuhan tanaman. Gas CO2 dikenal juga sebagai gas rumah kaca yang menyerap dan memantulkan radiasi panas matahari. Konsentrasi standar CO2 di atmosfir adalah 250 – 350 ppm[1]. Gas rumah kaca lainnya adalah gas metana (CH4), gas nitrogen oksida (NO) dan gas fluorine (F-gases). Keberadaan gas-gas tersebut diperlukan oleh Bumi untuk menjaga temperatur permukaan Bumi tetap hangat. Temperatur rata-rata permukaan Bumi tanpa gas-gas rumah kaca sekitar -18oC. Sejak dimulainya revolusi industri, penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan peningkatan jumlah gas CO2 di atmosfir. Pada tahun 1980, konsentrasi gas CO2 di atmosfir sebesar 338,8 ppm. Namun pada tahun 2016, konsentrasi gas CO2 meningkat menjadi 402,6 ppm yang sudah melebihi nilai standar konsentrasi gas CO2. Hal ini merupakan salah satu dari penyebab pemanasan global yang membuat Bumi semakin panas dan perubahan iklim yang ekstrem.
Gambar 1. Kenaikan konsentrasi gas CO2 (ppm) di dunia[2]
Emisi gas CO2 umumnya dihasilkan dari proses produksi di industri seperti industri semen dan proses produksi energi dari berbagai jenis bahan bakar. Pada abad ke-17, batu bara pertama kali digunakan sebagai sumber energi untuk proses produksi di industri. Batu bara merupakan bahan bakar fosil padat berwarna hitam yang umumnya tersusun oleh unsur karbon, hidrogen dan oksigen dan sulfur. Penggunaan bahan bakar cair (minyak bumi) dan gas (gas alam) mulai digunakan pada abad ke-18. Negara-negara asia berkontribusi besar dalam menghasilkan emisi CO2 melalui penggunaan batu bara sebagai bahan bakar di industri.
Gambar 2. Emisi gas CO2 (juta ton) di dunia dari berbagai sumber penghasil CO2[3]
Dari grafik diatas, emisi gas CO2 yang dihasilkan masih didominasi oleh bahan bakar padat (batu bara). Bahan bakar cair mulai banyak digunakan pada tahun 1950 dan menjadi bahan bakar utama di bidang transportasi. Sedangkan bahan bakar gas (gas alam) relatif lebih sedikit menghasilkan gas CO2 karena rantai karbon bahan bakar gas lebih pendek dari bahan bakar cair. Sumber CO2 lainnya adalah industri semen dan flaring yang kebanyakan beropeasi di negara-negara Asia dan Afrika. Ketika memproduksi semen, batuan CaCO3 (bahan baku semen) dibakar pada temperatur tinggi (1000oC) yang akan menghasilkan gas CO2 dan semen (CaO). Sedangkan flaring adalah proses pembakaran gas (mayoritas adalah gas metana) di industri (umumnya di industri hulu dan hilir migas) karena tekanan yang terlalu tinggi untuk tujuan sistem pengamanan.
Pada tahun 2017, Dr. Xiao-Yu Wu (mahasiswa post doktoral MIT) dan Prof. Ahmed F. Ghoniem (Professor Teknik Mesin MIT) membuat terobosan baru di bidang teknologi membran untuk mengubah gas CO2 menjadi gas oksigen (O2) dan gas karbon monoksida (CO). Membran tersebut terbuat dari campuran material kalsium (Ca), Lanthanum (La) dan besi oksida (FeO) dengan rumus kimia La0.9Ca0.1FeO3-δ (LCF-91). Karena salah satu produk yang dihasilkan oleh membran adalah gas O2, maka teknologi membran diatas diberi nama Oxygen Permeable Membrane (OPM). OPM beroperasi pada rentang temperatur 850 – 1000oC dan tekanan atmosfir agar memiliki selektivitas terhadap gas O2 yang lebih tinggi[4]. Ketika gas CO2 diumpankan ke OPM akan terjadi reaksi reduksi termokimia atau pemisahan antara atom oksigen dan karbon sehingga menghasilkan gas CO dan gas O2. Reaksi reduksi termokimia adalah sebagai berikut :
CO2 ⇒ CO + 0.5 O2 (reaksi reduksi termokimia)
Pada kesetimbangan reaksi, konsentrasi gas CO sebesar 5,49 ppm pada 900oC. Konsentrasi gas CO dapat ditingkatkan dengan menaikkan temperatur. Pada temperatur 1000oC, konsentrasi gas CO menjadi 20,49 ppm dan pada temperatur 1500oC, konsentrasi gas CO meningkat menjadi 3620 ppm[4]. Reaksi diatas merupakan reaksi endotermik yang artinya membutuhkan panas untuk melangsungkan reaksinya. Panas yang dibutuhkan dapat disuplai oleh panas dari reaktor nuklir atau panas matahari dengan memanfaatkan cermin sebagai akumulator panas.
Gambar 3. Mekanisme reduksi termokimia CO2 menggunakan panas matahari[5]
Selain itu, oksigen yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk memproduksi gas hidrogen (H2) dengan mengumpankan gas metana (CH4) ke dalam membran. Gas CH4 akan bereaksi dengan gas O2 menghasilkan gas H2 dan gas CO serta panas (reaksi eksotermik). Reaksi tersebut adalah reaksi oksidasi parsial karena koefisien stoikiometri gas O2 yang diperlukan hanya setengah dari kebutuhan gas CH4. Gas CH4 dapat diperoleh dari gas alam atau biogas (hasil fermentasi dari kotoran hewan). Reaksi oksidasi parsial adalah sebagai berikut :
CH4 + 0.5 O2 ⇒ CO + 2H2 + panas (reaksi oksidasi parsial)
Gas CO dan gas H2 dapat digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi produk lainnya seperti bahan bakar sintetis (proses Fischer-Tropsch), metanol, dimetil eter dan lain-lain. Gas H2 juga dapat direaksikan dengan gas CO2 untuk menghasilkan gas CO dan uap air (H2O) yang merupakan reaksi Reverse Water Gas Shift (RWGS) pada rentang temperatur 850 – 1050oC. Penelitian ini masih harus diinvestigasi lebih lanjut untuk meningkatkan konsentrasi gas CO dan terutama gas O2. Integrasi dengan pembangkit-pembangkit listrik yang menghasilkan panas berlebih sangat dibutuhkan untuk menyuplai panas pada reaksi reduksi termokimia CO2 di OPM. Gas CO dan H2 merupakan produk antara (intermediate product) sehingga perlu proses lebih lanjut untuk menghasilkan produk utama. Salah satu contoh yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan antara OPM dan reaktor produksi bahan bakar (reaktor Fischer-Tropsch) untuk menghasilkan bahan bakar sintetis. Pada artikel Membuat Minyak Bumi (Jenis Green Diesel) dari Biomassa dengan Proses Fischer-Tropsch akan menjelaskan bagaimana gas CO dan H2 menjadi bahan bakar sintetis.
Referensi
[1] What are safe levels of CO and CO2 in rooms?. https://www.kane.co.uk/knowledge-centre/what-are-safe-levels-of-co-and-co2-in-rooms (diakses pada 13 Desember 2017)
[2] Dlugokencky, Ed dan Pieter T. 2017. Global CO2 Concentrations (parts per million) 1980-2016. www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends/ (Diakses pada 13 Desember 2017)
[3] Rtichie, H dan Max Roser. CO2 and Other Greenhouse Gas Emissions. https://ourworldindata.org/co2-and-other-greenhouse-gas-emissions/ (diakses pada 13 Desember 2017)
[4] Chandler, David L. 2017. Turning Emissions into Fuel. http://news.mit.edu/2017/turning-emissions-into-fuel-1128 (diakses pada 13 Desember 2017)
[5] Wu, Xiao-Yu dan Ghoniem, A F. 2017. H2-Assisted CO2 Thermochemical Reduction on La0.9Ca0.1FeO3-δ membranes : A Kinetics Study. Cambridge : Department of Mechanical Engineering, Massachusetts Institute of Technology.
Baca juga : Produksi Listrik dan Gas Hidrogen dari Kotoran Sapi Menggunakan Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)
Maaf, min. Mau tanya Dan membenarkan.
Tanya: itu bener CO2 jadi O2 sama CO? Bukannya CO lebih membahayakan kesehatan Manusia daripada CO2 ya?
Dan setau saya, reaksi antara metana (CH4) dan oksigen (O2) menghasilkan CO2 Dan H2O. Jadi bukan CO (bisa dilihat di Google, atau buku Kimia lainnya).
#CMIIW
Terimakasih atas pertanyaannya 🙂
Betul CO jika terhirup oleh manusia jauh lebih berbahaya, tetapi CO merupakan sintetik gas yang sekarang paling banyak digunakan untuk dijadikan bahan baku berbagai produk. Contohnya pembuatan bahan bakar sintetis, metanol, dll. Itu bisa terjadi jika direaksikan dengan gas H2. Maka lebih menguntungkan gas CO daripada gas CO2 karena gas CO2 jika tidak dimanfaatkan akan mengakibatkan pemanasan global. Industri yang ingin memproduksi CO tentu punya safety yang baik.
Untuk reaksi CH4 dan O2 silahkan dilihat di https://energy.gov/eere/fuelcells/hydrogen-production-natural-gas-reforming di bagian partial oxidation. Keberadaan oksigen mempengaruhi hasil reaksi.
artikelnya sangat bermanfaat…. Namun,saya ingin bertanya min. BBagaimana mengumpulkan CO2 yang tersebar di alam ini