Dari Demo Bu Susi, Hingga Jadi Judul Skripsi

Ditulis oleh Imran Ibnu Fajri – Institut Teknologi Sepuluh Nopember [vc_row css_animation=”” row_type=”row” use_row_as_full_screen_section=”no” type=”full_width” angled_section=”no” text_align=”left” background_image_as_pattern=”without_pattern”][vc_column][vc_row_inner row_type=”row” type=”full_width” […]

Ditulis oleh Imran Ibnu Fajri – Institut Teknologi Sepuluh Nopember

[vc_row css_animation=”” row_type=”row” use_row_as_full_screen_section=”no” type=”full_width” angled_section=”no” text_align=”left” background_image_as_pattern=”without_pattern”][vc_column][vc_row_inner row_type=”row” type=”full_width” text_align=”left” css_animation=””][vc_column_inner width=”3/4″][vc_column_text]

“Ngapain si demo-demo, nggak berpendidikan banget. Mahasiswa itu memberikan solusi kongkret bro! terjun langsung ke masyarakat” tutur beberapa kenalan kala itu yang memberikan kritiknya kepada saya. Di lain kesempatan bersama orang-orang yang hampir sama mereka berkomentar lagi. “Itu coba liat deh lintah-lintah PKM, kerjaanya bikin sampah kertas tapi menghabiskan uang negara” protes mereka melihat teman-temannya yang mengerjakan PKM dan beberapa pendapat serupa pun keluar dari teman-teman saya itu.Kalimat-kalimat seperti itu melekat sejak saya masih berada di tahun-tahun awal menjadi mahasiswa. Sebagai mahasiswa yang berkecimpung di dunia organisasi intra kampus dengan lingkup kerja yang cukup luas, meliputi; bidang sosial masyarakat, sosial-politik dan juga bidang riset dan keilmiahan mahasiswa, kadang membuat hati saya panas. Loh, kenapa kok panas? Apa saya ini termasuk orang-orang yang mendapatkan kritik itu?

Bukan. Saat itu saya bukan termasuk dari kelompok orang-orang yang mereka kritik. Karena di awal menjadi mahasiswa dulu saya belum pernah mendapatkan pendanaan PKM atau bahkan ikutan demonstrasi. Demo di kampus pertama kali yang saya ikuti bahkan bukan aksi menolak kebijakan, tapi aksi menyambut bulan Ramadhan.

Saya baru merasakan pendanaan PKM saat berada pada tahun keempat masa kuliah saya. Demonstrasi dan aksi massa juga saya rasakan ketika semester 6 di kampus. Dan lebih sering lagi saat menginjak semester 7 dan 8. Hal tersebut karena amanah organisasi yang mengharuskan saya mengawal kebijakan pemerintah dan menyampaikan aspirasi.

Hati saya panas lebih di karenakan mendengar teman-teman saya yang kurang menghargai proses belajar seseorang. Meski jika kita di pihak yang dikritik, tentu jika bijak, maka apa yang mereka katakan cukuplah dijadikan sebagai nasihat untuk diri sendiri. Namun yang bikin bertambah panas hati saya, ternyata orang-orang seperti ini sebagian malah tidak pernah aktif serius di bidang yang mereka kritik. Mengkritik mahasiswa yang demo menganggap mereka tidak terjun langsung ke masyarakat, tapi ternyata mereka juga tidak berkegiatan di masyarakat. Mengomentari mereka yang belajar melalui PKM, tapi mereka juga sehari-hari hanya nge-game atau menonton drama korea. Mengesalkan.

Intinya, saya ingin sekali menunjukan bahwa baik aksi massa maupun karya tulis ilmiah dapat saling berkesinambungan dalam memberikan kontribusinya. Dengan aksi massa kita menyampaikan aspirasi dan menemukan masalah di masyarakat. Dan dengan karya tulis dan penelitian kita mencari dan menawarkan solusinya.

Pada kesempatan kali ini, saya akan menceritakan perjalanan pengerjaan skripsi/tugas akhir saya. Cerita ini saya tulis dengan niat ingin menyampaikan kepada para pembaca di Indonesia pada umumnya. Khususnya, teman-teman yang masih sering memberikan statement seperti di atas yang membenturkan pergerakan-pergerakan mahasiswa satu dengan lainnya. Di mana sesungguhnya pergerakan mahasiswa harusnya bisa saling meguatkan, bukan meniadakan.

Saya adalah mahasiswa dari Jurusan Teknik Perkapalan. Salah satu jurusan yang dimiliki oleh kampus teknik di Surabaya; ITS. Saat mahasiswa baru, saya pernah bercita-cita lulus 3,5 tahun (7 semester) dan mendapatkan IPK di atas 3,5. Namun, ternyata mimpi itu kandas. Saya bahkan masih berkuliah sampai semester 11. Insya Allah, saya tidak menyesal. Malahan bersyukur, karena di masa-masa kuliah ini saya diberikan kesempatan untuk belajar banyak hal selain perkuliahan.

Organisasi adalah salah satu yang tidak lepas dari kehidupan saya sejak SMP. Di kampus saya cukup puas merasakan kegiatan organisasi. Mulai dari menjabat sebagai steering committee acara tingkat kampus, ketua departemen lembaga dakwah jurusan, ketua himpunan mahasiswa jurusan hingga ketua BEM. Aktifitas organisasi itu saya jalani dengan penuh dinamika. Namun, dari situ saya merasa didewasakan dalam melihat segala fenomena kehidupan termasuk bagaimana saya akhirnya gregetan dengan statement sebagaimana di atas.

Tentang Tugas Akhir Saya

Tugas akhir/skripsi saya berjudul “Desain Fasilitas Pelabuhan Perikanan Apung Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Pelarangan Transhipment di Indonesia”. Pembahasan saya pada karya ini adalah tentang masalah illegal fishing dan bagaimana kita menyediakan solusinya dengan konsep desain kapal. Kapal tersebut nantinya akan difungsikan sebagai pelabuhan terapung yang diletakan di tengah laut. Melalui proses desain kapal, pelabuhan apung ini berbentuk tongkang dan memiliki fungsi sebagaimana pelabuhan perikanan dengan beberapa fungsi tambahan di antaranya adalah fungsi pengawasan.

(Gambar 1. Gambar Model 3D dan General Arrangement Fasilitas Pelabuhan Apung yang menjadi Tugas Akhir saya)

Latar belakang yang paling kuat dalam pendahuluan karya ini adalah benturan kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam mengeluarkan paket kebijakan melawan illegal fishing (IUU). Peraturan Menteri no 57 tahun 2014 melarang segala kegiatan transhipment di Indonesia. Transhipment sendiri adalah aktifitas perpindahan muatan antar kapal di tengah laut. Pelarangan ini sangat logis. Disebabkan oleh sulitnya pengawasan terhadap muatan yang berpindah. Sehingga menjadikan proses ini sangat rawan pada pelaksanaanya terjadi illegal, unreported and unregulated fishing (IUU) yang sangat merugikan negara.

Namun, ternyata kebijakan pelarangan ini memberikan dampak yang kurang baik kepada para nelayan dan industri perikanan. Sebagaimana dikutip oleh salah satu media cetak nasional dengan judul Dilema Kebijakan Transhipment (Bisnis Indonesia, 25 Februari 2015). Intinya, terjadi trade off kebijakan antara niat pemerintah dalam menanggulangi IUU dan juga kepentingan nelayan. Sehingga menurut saya diperlukan sebuah solusi yang bisa menjembatani kepentingan kedua pihak tersebut.


Gambar 2. Aksi nelayan di depan gedung Kementerian KKP, Jakarta

Keinginan saya membahas masalah transhipment ini muncul setelah saya melihat demonstrasi yang dilakukan oleh para nelayan di depan gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan. Saya melihat banyak sekali nelayan yang berorasi di depan gedung pemerintah. Mereka datang dari berbagai daerah ke ibu kota hanya untuk menyampaikan keluhan dan aspirasinya.

Mereka mengeluhkan naiknya biaya produksi dalam menjalankan bisnis penangkapan ikan. Hal ini menurut mereka sangat memberatkan kehidupan mereka yang memang sudah sangat berat. Perlu diketahui, bahwa nelayan merupakan komunitas masyarakat yang berada pada tingkat kemiskinan paling bawah di antara yang lainnya. Namun di sisi lain praktek illegal fishing marak terjadi di Indonesia melalui kegiatan transhipment.

Kolaborasi Saat PIMNAS Kendari

Saat itu posisi saya sedang menjadi Presiden BEM di ITS. Setelah melalui beberapa kejadian termasuk melihat aksi demonstrasi nelayan hingga ikut di dalam aksi-aksi lainnya, teman saya yang bernama Ihsan menghubungi. Ternyata dia bersama teman saya lainnya, Linda, ingin mengajak saya mengerjakan PKM di bidang Gagasan Tertulis.

Ihsan dan Linda adalah teman saya sesama ketua himpunan dulu. Mereka berasal dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP). Ihsan berasal dari Jurusan Desain Produk sedangkan Linda berasal dari jurusan Aristektur. Mereka menjelaskan keinginan mereka untuk membangun sebuah kota apung yang menyelesaikan permasalahan di Indonesia. Ihsan menggambarkannya seperti kota Water Seven di dalam komik buatan mangaka jepang berjudul One Piece.

Saya pun membagi pengalaman saya tentang permasalahan yang pernah saya alami dan sedang perjuangkan. Akhirnya kami bersepakat mengerjakan sebuah gagasan berupa Pelabuhan Perikanan Apung dengan latar belakang permasalahan IUU dan transhipment di Indonesia. Karya kami diberi judul “Artificial Floating Harbour: Pelabuhan dengan Konsep Desain Kampung Di Tengah Laut Sebagai Solusi Transhipment dan Trading untuk Nelayan di Perairan Laut Jawa.”

Gambar 3. Ilustrasi Gagasan Pelabuhan Apung kami pada PIMNAS 28 Kendari

Kami bertiga pun memberanikan diri untuk ikut serta. Berharap kolaborasi antara keilmuan kami dapat menjadi khazanah ilmu untuk bangsa Indonesia. Saya, Ihsan, Linda dan Rizky dinyatakan lolos sebagai finalis dan dapat pergi ke Kendari untuk dihadapkan dengan juri-juri dari berbagai latar belakang disiplin ilmu. Meski pada akhirnya kami belum bisa memenangkan medali, tapi bagi saya ini merupakan pembuktian bahwa mengawal kebijakan pemerintah dengan demonstrasi dan aksi massa dapat juga ditindak lanjuti hingga usulan solusi.

Dari karya ilmiah ini juga, saya ingin menjadikannya sebuah judul tugas akhir saya. Saya berkomitmen menunjukan bahwa ide ini tidak akan berhenti hanya sampai di PIMNAS saja. Saya ingin ide ini terus dikembangkan salah satunya dengan menjadikannya judul skripsi dan tugas akhir saya. Meski dalam pengerjaannya saya menyederhanakan bentuk dan tampilannya, namun tidak mengurangi fungsi dan kegunaannya.

Alhasil, tugas akhir dan skripsi saya mendapatkan tanggapan yang bagus dari pada penguji meski sempat disindir, kamu ini anak teknik apa anak FISIP? Hehe. Dan saya bersyukur juga, karena di satu anak bimbingan tugas akhir saya, saya mendapat nilai tertinggi dengan judul ini.

Sebuah Pesan Sederhana

Mengerjakan penelitian dan gagasan tentang Pelabuhan Apung ini membuka banyak pikiran saya. Tentu juga termasuk menambah keyakinan saya bahwa apa yang disampaikan beberapa teman di awal tulisan ini tadi adalah kurang tepat. Bahwa mereka perlu menghargai proses orang-orang yang sedang belajar dan mencari Visi.

Apa yang saya kerjakan ini memberikan pelajaran berharga bagi saya. Dari proses aksi dan demonstrasi nelayan hingga menuju ke penelitian PKM dan bahkan sidang akhir kuliah, saya dapat menyimpulkan sesuatu. Bahwa Visi dibutuhkan dalam setiap sendi kehidupan kita. Di bidang manapun. Mulai dari penelitian, kehidupan, demonstrasi dan lain sebagainya. Hal tersebut di karenakan Visi lah yang akan mempertemukan kita yang sedang berjuang di jalan masing-masing kelak.

Maka dari itu, jika kita tidak mau dibilang mahasiswa yang tak berguna karena demo, tunjukan dan peliharalah visi. Jika kita tidak terima dibilang mahasiswa PKM yang hanya menghabiskan uang negara dengan kertas-kertas yang tak berguna, maka siapkan dan jagalah visi. Visi untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk seluruh alam.

Semoga dengan cerita saya ini, tidak ada lagi orang yang mencibir kegiatan mahasiswa satu dengan lainnya. Karena saya sudah membuktikan sebagian bahwa bahkan demonstrasi dan aksi massa dapat membuat kita menemukan permasalahan yang pada akhirnya kita bisa menawarkan solusi dengan keilmuan kita.[/vc_column_text][/vc_column_inner][vc_column_inner width=”1/4″ offset=”vc_hidden-xs” css=”.vc_custom_1494419964710{background-color: #f1f1f1 !important;}”][vc_widget_sidebar sidebar_id=”sidebar_page”][/vc_column_inner][/vc_row_inner][/vc_column][/vc_row]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top