Ekowisata: Program Pembangunan Berkelanjutan

Ekowisata Ekowisata sekarang didefinisikan sebagai “perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah-daerah alami yang melestarikan lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat setempat, dan […]

blank

Ekowisata

Ekowisata sekarang didefinisikan sebagai “perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah-daerah alami yang melestarikan lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat setempat, dan melibatkan interpretasi dan pendidikan” (TIES, 2015).[1]

Prinsip Ekowisata

Ekowisata adalah tentang menyatukan konservasi, masyarakat, dan perjalanan berkelanjutan . Ini berarti bahwa mereka yang menerapkan, berpartisipasi dan memasarkan kegiatan ekowisata harus menerapkan prinsip ekowisata berikut ini[1]:

  1. Meminimalkan dampak fisik, sosial, perilaku, dan psikologis.
  2. Membangun kesadaran dan rasa hormat lingkungan dan budaya.
  3. Memberikan pengalaman positif bagi pengunjung dan tuan rumah.
  4. Berikan manfaat finansial langsung untuk konservasi.
  5. Menghasilkan keuntungan finansial bagi masyarakat lokal dan industri swasta.
  6. Berikan pengalaman interpretatif yang mudah diingat kepada pengunjung yang membantu meningkatkan kepekaan terhadap iklim politik, lingkungan, dan sosial negara tuan rumah.
  7. Merancang, membangun dan mengoperasikan fasilitas dengan dampak rendah.
  8. Kenali hak dan kepercayaan spiritual Masyarakat Adat di masyarakat Anda dan kerjakan dalam kemitraan dengan mereka untuk menciptakan pemberdayaan.

Partisipasi Masyarakat

Dari definisi tentang ekowisata, masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak boleh diabaikan dalam pengembangan ekowisata itu sendiri.

Dalam kondisi masyarakat yang terus mengalami perubahan, partisipasi masyarakat pada dasarnya bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Perubahan nilai yang terus berkembang di masyarakat menyebabkan beberapa kebiasaan yang sebelumnya telah ada pada masyarakat turut mengalami perubahan. Bahkan, pada beberapa aspek, hal tersebut sudah hilang dari kebiasaan masyarakat. Karenanya, untuk kembali mencitakan partisipasi masyarakat, diperlukan sebuah mekanisme dan proses yang membutuhkan waktu yang tidak singkat, tenaga yang tidak kecil, dan bahkan dana yang tidak sedikit.

Dalam sebuah proses menciptakan partisipasi masyarakat tersebut, keberadaan masyarakat atau komunitas lokal di sekitar lokasi objek wisata merupakan modal sosial yang harus diperhatikan. Coleman secara umum mendefiniskan modal sosial sebagai sebuah aset produktif dimana di dalamnya terdapat struktur hubungan di antara orang per orang (between persons) dan di antara kalangan orang (among persons) (Ikeda, 2008). Hal ini muncul karena Coleman melihat bahwa modal sosial melekat pada struktur sosial yang ada. Struktur sosial yang dimaksudkan di sini ialah hubungan, jaringan, kewajiban, harapan yang menghasilkan dan dihasilkan oleh kepercayaan dan sifat dapat dipercaya dari orang-orang yang saling berhubungan (Lawang, 2005).[2]

Pada saat partisipasi masyarakat mulai tumbuh, bentuk partisipasi masyarakat tersebut juga harus dapat diperhatikan. Hal ini menjadi penting terkait dengan sejauh mana partisipasi masyarakat dapat mendukung keberadaan ekowisata tersebut.  Setidaknya ada delapan tingkatan partisipasi masyarakat, yaitu (Arnstein, 1969)[3]:

  1. Manipulation. Sebagai tingkatan terendah partisipasi masyarakat, pada dasarnya tidak ada partisipasi yang nyata pada level ini. Sebab, pada tingkatan ini, keterlibatan masyarakat hanya ditandai dengan permintaan tanda tangan dari komite masyarakat tanpa adanya pemahaman yang pasti pada masyarakat.
  2. Therapy. Meski juga belum ada partisipasi yang nyata, pada tingkatan ini para pemegang kekuasaan sudah mulai melakukan edukasi terhadap masyarakat secara terbatas.
  3. Informing. Pada tingkatan ini, berbagai hal yang menjadi keinginan masyarakat sudah mulai diidentifikasi. Namun demikian, bentuk partisipasinya juga masih bersifat satu arah dari para pemegang kekuasaan. Sehingga, tidak ada ruang untuk melakukan negosiasi dan umpan balik.
  4. Consultation. Berbagai opini dan informasi dari masyarakat sudah mulai didengar pada tingkatan ini. Namun demikian, diperlukan beberapa cara lain untuk mendukung partisipasi masyarakat. Beberapa metode yang sering dilakukan dalam tingkatan ini ialah survei dan dengar pendapat publik (public hearing).
  5. Placation. Pada tingkatan ini, partisipasi masyarakat pada tahap tertentu sudah dapat memengaruhi kebijakan yang diambil, meski dalam jumlah dan bentuk yang sangat terbatas serta tidak selalu dilaksanakan. Sebagai contoh, dibentuknya berbagai komite atau dewan yang beranggotakan perwakilan masyarakat dan ditempatkan pada institusi-institusi publik.
  6. Partnership. Pada tingkat ini, tersedia ruang yang cukup besar untuk melakukan negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan. Melalui bentuk kemitraan, masyarakat dan pemegang kekuasaan saling berbagi, mulai dari tahap perencanaan hingga tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara terstruktur. Misalnya, dengan adanya dewan kebijakan bersama, komite perencanaan, dan sebagainya. Melalui ini pula, ditentukan aturan dan bentuk take-give bagi masing-masing pihak.
  7. Delegated Power. Tersedianya ruang yang luas untuk melakukan negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan atau pejabat publik, juga dapat menghasilkan otoritas yang cukup besar bagi masyarakat atas sejumlah program. Karenanya, masyarakat harus dapat menjamin akuntabilitas program-program tersebut sehingga berjalan dengan baik.
  8. Citizen Control. Ketika partisipasi masyarakat sudah berada pada tingkatan kedelapan, keberadaan ekowisata diharapkan benar-benar dapat berjalan bersamaan dengan kehidupan masyarakat di sekelilingnya. Ekowisata yang ada akan dapat terpelihara melalui mekanisme sosial yang ada di masyarakat. Mekanisme sosial diharapkan akan lebih efektif dibandingkan mekanisme lain yang sengaja dibentuk untuk melindungi ekowisata tersebut.

Triple Helix Ekowisata

Keberadaan partisipasi masyarakat dalam pengembangan ekowisata juga harus diwadahi dalam sebuah bentuk kerja sama yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Salah satu bentuknya adalah dengan menerapkan model yang disebut dengan triple helix ekowisata.

blank
Sumber: http://validnews.co/Partisipasi-Masyarakat–Komponen-Utama-Ekowisata-GHZ

Melalui model tersebut, pengelolaan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat akan dapat lebih mudah dilakukan. Pengorganisasian untuk pengelolaan ekowisata dengan melibatkan tiga aktor utama  tersebut dapat lebih efektif dan efisien. Sehingga, tujuan atas keberadaan ekowisata dapat terpenuhi baik dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang sekaligus merupakan aspek utama dalam pembangunan berkelanjutan[4].

DAFTAR PUSTAKA

[1] http://www.ecotourism.org/what-is-ecotourism (Diakses pada 11 Februari  2018)

[2] http://validnews.co/Partisipasi-Masyarakat–Komponen-Utama-Ekowisata-GHZ (Diakses pada 11 Februari  2018)

[3] Resource and Environmental Management Oleh Bruce Mitchell https://books.google.co.id/books?id=WlFdAgAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=Resource+and+Environmental+Management&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjyrprI_J3ZAhXKNI8KHZrcCqcQ6AEILzAB#v=onepage&q=informing&f=false (Diakses pada 11 Februari  2018)

[4] http://validnews.co/Partisipasi-Masyarakat–Komponen-Utama-Ekowisata-GHZ (Diakses pada 11 Februari  2018)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *