Isu pemanasan global atau biasa juga disebut efek rumah kaca (Greenhouse gas emission) merupakan perbincangan yang menarik untuk terus diikuti perkembangannya. Pasalnya, dampak dari pemanasan global sangat terasa bagi keberlangsungan hidup seluruh makhluk di bumi. Salah satu faktor terjadinya pemanasan global adalah kelalaian manusia terhadap alam yaitu membuang sampah sembarangan.
Siapa yang tidak mengenal Gunung Everest? Salah satu gunung tertinggi di dunia dan keindahan panoramanya membuat banyak orang (khususnya pecinta alam) yang ingin menaklukkan gunung tersebut. Lebih dari 26.000 pendaki setiap tahun berkunjung ke Gunung Everest. Tak dapat dipungkiri semakin banyaknya pengunjung akan semakin banyak pula kotoran yang menumpuk, baik itu sampah maupun tinja manusia. Lebih dari 26.000 pounds kotoran manusia dihasilkan dari camp–camp para pendaki. Keadaan ini dapat membahayakan lingkungan sekitar pegunungan, terutama bagi kesehatan penduduk sekitar Gunung Everest. Pada tahun 2012 penelitian dari World Health Organizatiton (WHO) menyatakan bahwa sumber mata air di wilayah pegunungan tersebut yakni Gorak Shep telah menyalahi empat aturan standard air layak minum.
Baca juga: Ada Apa Dengan Biomasa? Mengapa Banyak Orang Mendiskusikannya?
Gambar yang diambil pada tanggal 23 Mei 2010 ini menunjukkan seorang penduduk Nepal (sherpa) yang memungut sampah, ditinggalkan oleh pendaki gunung Everest.
Biogas Digester
Pemanfaatan Biogas sebagai sumber energi alternatif telah banyak dilakukan. Biogas biasanya dihasilkan pada suhu tropis maupun subtropis. Telah diketahui, bahwa suhu wilayah dataran tinggi (Gunung Everest) termasuk dalam wilayah bersuhu dingin dan kemungkinan pembentukan biogas dari bakteri anaerob sangat kecil.
Pada umumnya, anaerob digester terbagi menjadi empat kisaran temperatur, yaitu thermophilic (45-60 oC), mesophilic (30-40 oC), psychrotrophic (20-30 oC), dan psychrophilic (<20 oC) [1]. Kondisi suhu dalam pada wilayah dataran tinggi, terutama saat musim dingin termasuk dalam kategori psychrotrophic dan psychrophilic. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya gas metan yang dihasilkan[2].
Percobaan gas metan dalam suhu rendah dilakukan pada kotoran hewan (sapi dan babi). Produksi gas metan pada rentang suhu psychrotrophic dan psychrophilic yang dihasilkan dari kotoran hewan (babi dan sapi) memiliki perbedaan yang signifikan, yaitu 73.0% dari pupuk kotoran babi dan 60.3% dari pupuk kotoran sapi [3].
Baca juga: Produksi Listrik dan Gas Hidrogen dari Kotoran Sapi Menggunakan Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)
Proyek Biogas Gunung Everest
Proyek Biogas Gunung Everest dimulai pada tahun 2010. Desain yang dihasilkan dan inovasi yang telah dilakukan memberikan dampak yang sangat berarti bagi perekonomian sekitar Gunung Everest. Penggagas dari proyek ini adalah Garry Porter. Dia memutuskan untuk mengambil bagian dalam proyek Biogas Gunung Everest.
Pada umumnya, istilah biogas digester bukanlah hal baru dalam dunia teknologi, khususnya dalam energi terbarukan. Dalam proyek ini, teknologi biogas dengan memanfaatkan biogas digester memiliki peranan sebagai pemasok listrik di tempat peristirahatan para pendaki. Objek yang digunakan dalam proyek ini adalah kotoran manusia (tinja) dan juga sampah-sampah yang terdapat di Gunung Everest.
Gunung Everest memiliki suhu di bawah nol derajat celcius, dapat dipastikan tidak ada satupun bakteri yang dapat hidup di tempat ini. Penggunaan biogas digester dalam proyek ini bukanlah hal yang mudah, hal ini dikarenakan bakter-bakteri anaerob pembentuk biogas hanya dapat aktif dalam suhu hangat. Sebelumnya, digester (obat pencernaan) telah digunakan di beberapa Negara, seperti Nepal, Cina, dan India. Solusi yang diberikan untuk mengahangatkan bakteri-bakteri tersebut adalah penggunaan susunan (array) sel surya 8.5 kW yang dihubungkan pada dua baterai 48 Volt sehingga bakteri tetap terjaga dalam suhu hangat sepanjang malam. Hal ini dikarenakan waktu yang dibutuhkan dalam mengahasilkan gas metananya adalah 24 jam.
Garry Potter dan timnya optimis bahwa proyek ini akan berhasil. Dia berharap dengan adanya proyek ini, maka lingkungan sekitar Gunung Everest tetap terjaga dan bisa dinikmati oleh generasi yang akan datang [4].
Baca juga: Memanen Energi dari Bakteri dan Limbah Cair
Referensi:
[1] Dhaked RK, Singh P, Singh I. 2010. “Biomethanation under psychrophilic conditions”. Waste Manage. 2010;30:2490-6.
[2] Sujata G. 2010. “Biogas comes in from the cold”. New Sci. 2010;2785:14
[3] Madsen M, Ihunegbo FN, Holm-Nielsen JB, Halstensen M, Esbensen KH. 2012. “Online near infrared monitoring of ammonium and dry matter in bioslurry for robust biogas production”.J Near Infrared Spec. 2010;20-635-45.
[4] Mount Everest Biogas Project. 2016. Healing the Human Impact on Everest. http://mteverestbiogasproject.org/ (Diakses pada 21 Januari 2018)