Hampir seluruh wilayah di Indonesia mengalami polusi udara. Polusi udara yang terjadi disebabkan oleh asap karhutla, pembakaran batubara pada PLTU, emisi gas kendaraan bermotor, dan asap dari pabrik industri. Akibatnya langit Indonesia dipenuhi oleh gas beracun berlebih seperti CO2, CO, CH4, NO2, dan SO2, selain itu terdapat partikel kecil PM 2.5 dan PM 10. Materi partikulat atau PM 2.5 merupakan partikel kecil (berukuran 2.5 mikron) yang ditemukan di udara seperti debu, jelaga, kotoran, asap dan tetesan cairan. PM 10 sama seperti PM 2.5 hanya saja ukurannya lebih besar yaitu 10 mikron. Tubuh manusia dapat bertahan melawan PM 10 dengan bersin dan batuk. Polusi udara PM 2.5 merupakan ancaman kesehatan terbesar karena ukurannya yang kecil dan dapat melayang di udara dalam waktu yang lama, sehingga dapat masuk dan mengendap di dalam sistem pernafasan, peredaran darah dan otak.

Salah satu cara cepat dalam mengurangi polusi udara yaitu adanya hujan. Saat hujan turun, polusi udara akan mengalami pengendapan basah (wet deposition), sehingga polutan akan turun ke permukaan tanah dan udara menjadi lebih bersih. Namun, musim kemarau dan fenomena El-Nino yang sedang terjadi di Indonesia menyebabkan semakin berkurangnya curah hujan. Dalam dua bulan ini Indonesia telah melakukan operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC) yaitu hujan buatan untuk mengurangi polusi udara. Tim gabungan dari BRIN, BMKG, BNPB dan TNI AU telah melakukan operasi hujan buatan di wilayah Sumatera dan Kalimantan untuk mengantisipasi karhutla dan kabut asap. Saat ini juga dilakukan operasi hujan buatan pada wilayah Jabodetabek, Banten, dan Jawa Barat. Diketahui bahwa hujan buatan cukup efektif dalam antisipasi karhutla dank abut asap. Namun, hujan buatan di Jakarta dan sekitarnya diketahui hanya mengurangi polusi udara sesaat.
Apa itu hujan buatan?
Hujan buatan (TMC) pertama kali dilakukan pada tahun 1977, dimana Presiden Soeharto mengutus Menristek BJ Habibie untuk mempelajari TMC di Thailand. Kemudian tahun 1978 hujan buatan dilakukan oleh BPPT untuk mendukung sektor pertanian dengan cara mengisi waduk-waduk strategis. Dalam satu dekade ini hujan buatan ini digunakan/diaplikasikan untuk mencegah bencana seperti; karhutla, banjir dan longsor, kekeringan dan yang terbaru adalah polusi udara PM 2.5.

Hujan buatan merupakan salah satu upaya manusia dalam modifikasi cuaca dengan tujuan tertentu agar mendapatkan kondisi yang diinginkan. Teknologi hujan buatan ini dimaksudkan untuk mempercepat proses pembentukan hujan melalui awan yang berpotensi memiliki butir-butir air (seperti; cumulus dan stratocumulus). Proses hujan buatan dimulai dengan penyemaian awan (cloud seeding). Bahan yang digunakan dalam penyemaian awan adalah garam, basa hidroksida, oksida logam dan urea. Bahan tersebut memiliki sifat higroskopis. Higroskopis adalah jenis zat yang mampu mengikat atau menyerap air dari lingkungan. Bahan yang biasa digunakan dalam operasi hujan buatan adalah urea, NaCl, CaCl2, dan CaO.
Penyemaian garam dilakukan menggunakan pesawat dari ketinggian 4000 – 10.000 kaki. Dimana pada ketinggian tersebut, kita dapat menemukan awan cumulus dan stratocumulus. Penyemaian ini dilakukan oleh tim TNI AU didampingi oleh flight scientist. Flight scientist nantinya akan membantu pilot pesawat TNI AU untuk memilih awan target melalui data dari BMKG.
Garam penyemai akan mempengaruhi awan untuk melakukan proses kondensasi, sehingga akan terbentuk awan yang lebih besar. Beberapa jam setelahnya, kemudian akan diterbarkan zat urea secara merata di awan. Tujuannya untuk membantu awan terbentuk lebih besar dengan cara menggabungkan awan kecil yang berwarna abu-abu. Setelah terbentuk awan hujan dengan sempurna, bahan kimia dalam bentuk larutan (campuran urea, air, dan ammonium) kembali ditaburkan. Larutan tersebut berfungsi agar awan menghasilkan hujan dengan butiran air yang berukuran besar. Jika menginginkan curah hujan yang deras dengan butiran air yang kecil, diketahui hanya menggunakan garam NaCl dan kapur tohor (CaO).

Sejatinya, operasi hujan buatan bukan membentuk hujan dari awan yang kosong. Melainkan, mempercepat terjadinya hujan dan menambah curah hujan dari awan yang telah membawa butir-butir air. Singkatnya, hujan buatan dilakukan di siklus air pada bagian kondensasi.
Ikatan kimia pada garam semai hujan buatan

Air (H2O) merupakan senyawa polar dan memiliki bentuk geometri V. Terbentuknya sudut 104.45°antar atom H-O-H disebabkan gaya tolak pasangan elektron bebas dari atom O, sehingga bentuknya tidak linier atau lurus. Adanya elektron bebas dari atom O menyebabkan H2O memiliki momen dipol. Dimana atom O memiliki kecenderungan bermuatan negatif, sedangkan atom H memiliki kecenderungan bermuatan positif. Peristiwa kecenderungan pada muatan dikenal juga sebagai parsial (d+/d–). Hal ini menyebabkan air memiliki kemampuan untuk mengikat ion yang bermuatan positif dan negatif.
Garam semai yang umum digunakan dalam proses pembentukan hujan buatan adalah NaCl, natrium klorida atau garam dapur. Ikatan yang terdapat pada NaCl adalah ionik dan terdiri dari ion positif (ion Na+) dan negatif (ion Cl–). Dimana saat kontak dengan air atau uap air pada awan, akan terjadi penurunan interaksi elektrostatik pada ion-ionnya. Ion Na+ akan tertarik ke atom O pada air yang cenderung bermuatan negatif sehingga molekul air akan mengelilingi ion tersebut. Molekul air ini akan menarik molekul air lainnya dan ikatan hidrogen akan terbentuk diantara molekul-molekul air tersebut. Hasilnya akan terbentuk kumpulan air yang mengelilingi ion. Dengan kata lain, ion-ion tersebut di hidrasi oleh air. Begitu pula yang terjadi dengan ion Cl–, hanya saja ion negatif akan tertarik ke atom hidrogen pada air yang cenderung bermuatan positif.

Dari interaksi elektrostatik tersebut butir-butir air pada awan cumulus dan stratocumulus terikat dan saling menempel melalui ikatan hidrogen. Hal ini dapat mempercepat proses kondensasi pada awan. Kondensasi merupakan proses dalam siklus air, dimana uap air di atmosfer berubah menjadi partikel es yang sangat kecil di suhu rendah. Partikel es tersebut saling mendekat, dan membentuk gumpalan menjadi awan cumulonimbus. Awan cumulonimbus ini yang siap menurunkan hujan.
Efektivitas hujan buatan dalam mengurangi polusi udara
Pelaksanaan pembentukan hujan buatan bukanlah hal yang mudah. Dalam operasi TMC termasuk dalam kategori kegiatan yang high risk (risiko tinggi). Umumnya dalam penerbangan biasa pesawat akan menghindari awan agar tidak terkena turbulensi. Turbulensi merupakan kondisi ketika kecepatan aliran udara berubah drastis. Dalam penyemaian awan pesawat justru berusaha mendekat dan masuk ke dalam awan, agar garam dapat tepat guna terikat dengan uap air awan tipis.
Tingkat keberhasilan dalam modifikasi curah hujan, tergantung pada beberapa faktor seperti; 1) kesempatan mendapatkan awan potensial (cumulus dan stratocumulus). Saat musim kemarau keberadaan awan cumulus dan stratocumulus sangat jarang dijumpai, sehingga perlu menunggu kedatangan awan tersebut; 2) kesempatan mendapatkan keberuntungan terkait posisi awan dan arah angina; 3) jumlah bahan semai yang sesuai tidak berlebihan dan disebarkan pada lokasi yang tepat. Hujan buatan yang dilakukan untuk pencegahan polusi udara Jabodetabek. Penyemaian garam dilakukan pada awan di atas Selat Sunda. Tujuannya agar hujan dengan curah tinggi dapat langsung turun di Selat Sunda, dan sisa hujan baru memasuki daerah Jabodetabek. Hal ini dilakukan untuk menghindari bencana banjir; 4) peralatan monitoring yang memadai dan sesuai.
Hujan dapat mendorong sebagian besar partikel polutan jatuh ke permukaan bumi. Namun, hujan buatan bukanlah solusi jangka panjang dalam mengurangi polutan PM 2.5. Hujan buatan tidak dapat dilakukan terus-menerus. Proses TMC dilakukan untuk mempercepat menurunkan hujan dari potensi awan yang sudah ada bukan menciptakan hujan dari udara kosong. Bahan yang disemai pada awan merupakan zat penyerap air atau higroskopik, sehingga akan meningkatkan proses pertumbuhan butir-butir hujan dalam awan akan meningkat dan mempercepat terjadinya hujan. Apabila suatu kondisi di langit Indonesia memasuki musim kering atau kemarau yang identik dengan menurunkan jumlah awan hujan, maka TMC ini tidak dapat digunakan.
Selain itu, polutan PM 2.5 tidak sepenuhnya mengalami pengendapan basah bersama air hujan. Polutan PM 2.5 dapat kembali naik ke permukaan udara. Upaya yang mungkin dilakukan melalui pendekatan pengendalian, yaitu tindakan preventif seperti; 1) mengurangi emisi gas, 2) mencegah terjadinya pembakaran yang berlebih dari kegiatan industri dan karhutla, 3) menerapkan pengelolaan limbah, dan 4) memberi sanksi pada pelaku pencemar udara. Selain itu, tentunya perlu dilakukan dengan metode lain seperti filtrasi udara. Filtrasi udara yang paling mudah dilakukan adalah menggunakan masker dengan filter PM 2.5, saat beraktivitas di luar ruangan. Selain itu, penggunaan Air purifier dalam ruangan juga dapat dilakukan. Sudah saatnya masyarakat, pelaku industri, dan pemerintah Indonesia untuk saling bekerja sama dalam menjaga dan melestarikan udara yang sehat di Indonesia.
Referensi
Harsoyo, B., 2013, Pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk Penanggulangan Bencana Asap Kebakaran Lahan dan Hutan, Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana, 4(2): 65-68.
Haryanto, U., 2000, Teknologi Modifikasi Cuaca yang Efektif dan Efisien, Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, 1(1): 9-18.
Kompas.id, 2023, Ribuan Kilogram Garam Berhasil Turunkan Hujan Buatan di Jabodetabek, Diakses pada [30 Agustus 2023] melalui: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/08/27/ribuan-kilogram-garam-berhasil-turunkan-hujan-buatan-di-jabodetabek
Medcom.id, 2023, Antisipasi Karhutla di Sumsel BNPB terapkan Teknologi Modifikasi Cuaca, Diakses pada [31 Agustus 2023] melalui: https://video.medcom.id/medcom-nasional/zNAAzdeN-antisipasi-karhutla-di-sumsel-bnpb-terapkan-teknologi-modifikasi-cuaca
Medcom.id, 2023, Modifikasi Cuaca dilakukan untuk Atasi Karhutla di Kalimantan Barat, Diakses pada [31 Agustus 2023] melalui: https://www.medcom.id/nasional/daerah/nbw0EpJk-modifikasi-cuaca-dilakukan-atasi-karhutla-di-kalimantan-barat
Shiver, S., and Atkins, P., 2009, Inorganic Chemistry, 5th edition, New York: Oxford University Press.