Jejak Bahtera Nabi Nuh dalam Peta Babilonia: Antara Mitologi dan Sains

Sejak ribuan tahun lalu, manusia selalu bercerita untuk menjelaskan asal-usul dunia dan peristiwa besar yang mereka alami. Banyak dari cerita […]

Sejak ribuan tahun lalu, manusia selalu bercerita untuk menjelaskan asal-usul dunia dan peristiwa besar yang mereka alami. Banyak dari cerita ini tersimpan dalam mitologi, yaitu kumpulan kisah tradisional yang sarat dengan simbol dan makna, sering kali digunakan untuk menjelaskan fenomena alam atau memberi pelajaran moral.

Salah satu mitos yang paling terkenal adalah tentang banjir besar yang melanda dunia, serta adanya sebuah bahtera atau kapal raksasa yang menyelamatkan sisa kehidupan. Kisah ini muncul dalam banyak tradisi, seperti dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam, serta sudah dikenal jauh sebelumnya di peradaban Babilonia kuno. Kesamaan cerita di berbagai budaya memberi petunjuk bahwa mitos ini mungkin berakar pada pengalaman nyata masyarakat masa lalu yang menghadapi bencana banjir besar.

Menariknya, penelitian modern kini menemukan bukti baru yang membantu kita memahami cara orang kuno melihat dunia. Salah satunya adalah sebuah artefak unik: peta dunia tertua yang diketahui manusia, digambar di atas lempengan tanah liat sekitar 2.500 tahun yang lalu. Artefak ini bukan sekadar gambar, melainkan jendela kecil ke dalam imajinasi dan pengetahuan geografis orang-orang kuno, bagaimana mereka memandang bumi, sungai, lautan, dan tempat tinggal manusia.

Pertanyaan besar pun muncul: apakah peta kuno ini hanya sekadar lambang kepercayaan dan mitologi, semacam representasi spiritual tentang dunia menurut pandangan masyarakat masa lalu? Atau justru, apakah ia memuat informasi geografis nyata, semacam “petunjuk jalan” yang bisa digunakan untuk melacak tempat-tempat tertentu, termasuk lokasi yang dikaitkan dengan kisah bahtera legendaris?

Di sinilah menariknya peta kuno semacam ini. Bagi orang modern, peta adalah alat praktis untuk menunjukkan letak kota, gunung, atau sungai dengan ukuran dan arah yang terukur. Namun, bagi masyarakat kuno, peta sering kali bercampur antara simbol kepercayaan (seperti dunia yang dikelilingi lautan kosmik atau gunung suci sebagai pusat) dan pengetahuan nyata tentang bentang alam yang mereka kenal.

Dengan kata lain, peta ini bisa dipahami di dua sisi: sebagai cerminan pandangan dunia yang sarat makna religius, sekaligus sebagai catatan geografi awal yang membantu kita menebak bagaimana orang dulu menghubungkan tempat-tempat penting dalam kisah dan kehidupan mereka.

Peta Dunia Babilonia: Jejak Kartografi Pertama

Peta yang disebut Imago Mundi ini ditemukan di Mesopotamia (Irak modern) dan kini disimpan di British Museum. Terbuat dari tanah liat dan bertuliskan huruf paku (cuneiform), peta tersebut menggambarkan dunia seperti cakram, dengan Babilonia sebagai pusat, dikelilingi sungai besar, dan laut sebagai batas terjauh.

Dari perspektif sains, peta ini adalah salah satu bukti awal kartografi, yakni usaha manusia menggambarkan lingkungan dan ruang geografis. Walau bentuknya sederhana, ia menunjukkan bahwa peradaban kuno sudah memiliki konsep “dunia yang terbatas” dengan batas-batas alam.

Para peneliti akhirnya berhasil memecahkan kode yang terukir di prasasti Babilonia yang diperkirakan sebagai peta dunia tertua.

Baca juga artikel tentang: Kapal Interceptor, Teknologi Canggih Pembersih Sampah di Ekosistem Perairan

Teks yang Menyimpan “Kode Lokasi”

Yang membuat para ilmuwan terkejut adalah adanya teks di bagian belakang lempengan. Tulisan itu menjelaskan tentang wilayah-wilayah yang disebut nagu, masing-masing digambarkan dengan jarak tempuh dalam satuan “liga.”

Dr. Irving Finkel, asisten kurator di British Museum, menafsirkan salah satu wilayah itu mengacu pada Urartu, wilayah pegunungan yang kini dikenal sebagai Gunung Ararat, di Turki Timur. Inilah lokasi yang dalam tradisi banyak agama diyakini sebagai tempat bahtera berlabuh setelah banjir besar.

Para peneliti akhirnya berhasil memecahkan kode yang terukir di prasasti Babilonia yang diperkirakan sebagai peta dunia tertua.

Dari sudut pandang ilmiah, teks ini berfungsi seperti “koordinat” awal, walaupun masih bersifat deskriptif dan simbolis.

Mitologi Banjir dan Catatan Sejarah

Kisah banjir besar ternyata bukan monopoli kitab suci. Dalam Epos Gilgamesh yang lebih tua dari Alkitab, ada tokoh bernama Utnapishtim yang membangun kapal raksasa untuk menyelamatkan makhluk hidup dari bencana banjir. Hal ini menimbulkan hipotesis ilmiah bahwa legenda banjir mungkin memang terinspirasi dari peristiwa geologi nyata, misalnya banjir sungai besar di Mesopotamia ribuan tahun lalu.

Penelitian geologi modern menemukan bukti adanya banjir besar Sungai Efrat dan Tigris pada milenium ke-3 SM, yang bisa saja menjadi dasar cerita. Jadi, dari perspektif sains, mitos ini mungkin adalah “ingatan kolektif” tentang peristiwa alam yang benar-benar terjadi.

Arkeologi dan Metodologi Ilmiah

Apakah benar bahtera Nuh pernah ada? Hingga kini, bukti arkeologis langsung belum ditemukan. Beberapa ekspedisi ke Gunung Ararat mengklaim menemukan sisa struktur kayu, tetapi bukti tersebut sering tidak konsisten, sulit diverifikasi, atau bahkan terbukti hoaks.

Sains bekerja dengan prinsip verifikasi dan falsifikasi: klaim harus bisa diuji ulang dengan data empiris. Oleh karena itu, para arkeolog dan geolog masih berhati-hati, membedakan antara kisah mitos, artefak budaya, dan bukti ilmiah nyata.

Namun, peta Babilonia ini tetap bernilai ilmiah karena menunjukkan bagaimana masyarakat kuno menafsirkan dunia mereka, dan bagaimana narasi banjir besar dijadikan bagian dari sistem pengetahuan.

Mengapa Penemuan Ini Penting bagi Ilmu Pengetahuan?

  1. Arkeologi Budaya
    Peta ini memberi kita wawasan tentang cara orang Babilonia memahami dunia—sebuah perpaduan antara geografi, kosmologi, dan mitologi.
  2. Geologi dan Paleoiklim
    Kisah banjir besar yang muncul di banyak kebudayaan bisa jadi berkaitan dengan bencana alam nyata, misalnya luapan sungai atau mencairnya es pada periode tertentu.
  3. Sejarah Ilmu Pengetahuan
    Artefak ini menjadi bukti bahwa manusia sejak awal sudah mencoba menghubungkan peristiwa alam dengan narasi religius dan mitologis.
  4. Dialog Sains dan Agama
    Penemuan ini membuka ruang diskusi antara tradisi keagamaan dan ilmu pengetahuan. Sains tidak bertugas membenarkan atau membantah iman, tetapi bisa membantu kita memahami konteks sejarah di balik kisah-kisah tersebut.

Apakah peta Babilonia benar-benar menunjukkan lokasi Bahtera Nuh? Jawabannya masih belum pasti. Sains mengajarkan kita untuk bersikap kritis: artefak ini lebih tepat dipandang sebagai dokumen budaya daripada peta navigasi akurat.

Namun, nilai ilmiahnya tetap luar biasa. Ia membantu kita memahami bahwa mitos kuno sering kali menyimpan “kode” tentang peristiwa nyata, meski ditafsirkan dengan cara religius atau simbolis. Seperti halnya fosil yang menjadi jejak kehidupan purba, prasasti Babilonia ini bisa dianggap jejak pemikiran purba tentang dunia, bencana, dan penyelamatan.

Dengan demikian, sains tidak sekadar membongkar misteri mitos, tetapi juga mengajak kita menghargai bagaimana nenek moyang berusaha memahami dunia dengan imajinasi, keyakinan, sekaligus pengamatan terhadap fenomena alam.

Baca juga artikel tentang: Hydrofoil, Teknologi Perkapalan Dengan Prinsip Kerja Sayap Pesawat

REFERENSI:

Scientists decipher world’s oldest map on 3,000-year-old Babylonian tablet to reveal location of ‘Noah’s Ark’. The Sun: https://www.thesun.co.uk/tech/31369723/scientists-map-babylonian-tablet-noahs-ark/ diakses pada tanggal 30 Agustus 2025.

Batagianis, Katie. 2025. Fit for a King? Cylinder Seals of the Uluburun Shipwreck. The University of Wisconsin-Milwaukee.

Neumann, Gunnar Udo Helge. 2025. Archaeogenetic insights into Bronze Age pathogens. Friedrich Schiller University Jena.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top