Terinsipirasi dari Senyawa Toksin, Antibiotik Baru yang Tidak Memicu Resistensi Berhasil Disintesis

Sejak dilaporkan pertama kali terjadi sekitar tahun 1950, resistensi bakteri terhadap satu atau lebih antibiotik terus berkembang menjadi ancaman serius […]

blank

Sejak dilaporkan pertama kali terjadi sekitar tahun 1950, resistensi bakteri terhadap satu atau lebih antibiotik terus berkembang menjadi ancaman serius bagi penyakit infeksi di seluruh dunia. Bahkan, pada tahun 2050 nanti, kematian akibat resistensi antibiotik diprediksi mencapai 4.7 juta per tahun di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Serikat[1]. Di negara kita, telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa mayoritas bakteri patogen yang diisolasi dari pasien rumah sakit, seperti Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Pseudomona saeruginosa, Acinetobacter spp., Klebsiella sp., dan Enterococcus spp. sudah tergolong resisten terhadap lebih dari satu antibiotik[2],[3],[4]. Oleh karena itu, Indonesia menempati peringkat ke-8 dari 27 negara di dunia dengan beban tertinggi dalam menghadapi bakteri multiresisten berdasarkan perkiraan World Health Organization yang dilansir oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2011[5].

blank

Gambar 1. Ilustrasi Antibiotik[9]

            Terjadinya kondisi resistensi bakteri terhadap antibiotik dipicu oleh penggunaan antibiotik yang tidak tepat dosis, diagnostik, dan bakteri penyebabnya. Akibatnya, efektivitas antibiotik akan turun, sehingga membuat proses perawatan pasien yang menderita penyakit infeksi tertentu menjadi lebih lama, lebih mahal, bahkan menjadi mustahil. Dengan kata lain, sudah tidak ada lagi obat yang mempan untuk mengatasi penyakit infeksi yang diakibatkan oleh bakteri resisten tersebut. Untuk mengatasi hal ini, selain diperlukan strategi penggunaan antibiotik yang bijak dan rasional, harus diupayakan pula riset untuk mengembangkan antibiotik baru yang jauh lebih ampuh untuk mengatasinya.

Baru-baru ini, riset yang dilakukan oleh Prof. Brice Falden dan timnya dari Inserm and Universite’ de Rennes 1 yang bekerja sama dengan tim dari Rennes Institute of Chemical Sciences (ISCR) berhasil melakukan sintesis dua antibiotik baru yang efektif melawan bakteri gram positif dan negatif multiresisten serta tidak berpotensi dalam menimbulkan resistensi. Riset ini dimulai dari temuan sebuah senyawa toksin yang diproduksi oleh Staphylococcus aureus pada tahun 2011 lalu. Selain berfungsi memfasilitasi terjadinya infeksi, senyawa toksin tersebut ternyata juga dapat membunuh bakteri lain yang hidup di dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, senyawa toksin tersebut dapat dikembangkan sebagai antibiotik apabila dipisahkan dari fungsi toksiknya.

Berdasarkan temuan itu, dilakukanlah riset lanjutan untuk menyintesis senyawa-senyawa peptida antibiotik baru dengan cara memotong dan memodifikasi rantai peptida dari senyawa toksin potensial yang sudah ada tersebut. Percobaan ini telah menghasilkan lebih dari 20 peptida dari famili baru peptidomimetik, yang disebut heptapseudopeptida siklik[6].

Senyawa-senyawa pseudopeptida tersebut diuji efek bakterisidalnya dalam melawan bakteri patogen multiresisten golongan gram positif dan negatif yang diisolasi dari sistem peredaran darah, saluran napas, dan saluran kemih manusia, sehingga diperoleh empat pseudopeptida yang terbukti efektif dalam melawan bakteri-bakteri itu, yaitu Pep 15, Pep 16, Pep 18, dan Pep 19[6]. Selanjutnya, untuk mengamati terbentuk resistensi, keempat pseudopeptida tersebut diuji daya hambatnya dalam melawan MRSA, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa secara in vitro dalam periode dua minggu untuk dibandingkan nilai Minimum Inhibitory Concentration-nya (MIC) dengan rifampisin dan fosfomisin, yang merupakan dua antibiotik dengan frekuensi resistensi spontan yang tinggi[6]. Nilai MIC merujuk pada konsentrasi terendah suatu antibiotik yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Hal ini berarti bahwa semakin rendah nilai MIC suatu antibiotik, maka semakin poten antibiotik tersebut dalam membunuh kuman. Hasil dari uji itu adalah nilai MIC rifampisin dan fosfomisin menunjukkan kenaikan sebanyak 30.000 dan 1.000-2.000 kali lipat, sedangkan nilai MIC dari keempat senyawa pseudopeptida yang diuji cenderung tidak berubah atau hanya menunjukkan kenaikan sebesar 4 kali lipat saja[6]. Jadi, dapat disimpulkan bahwa keempat senyawa pseudopeptida bersifat menghambat terbentuknya resistensi bakteri.

Pada uji lebih lanjut, dua di antara empat pseudopeptida yang diteliti, yaitu Pep16 dan Pep19 tidak menunjukkan adanya toksisitas pada sel darah merah dan sel ginjal manusia, mencit, embrio, dan zebrafish[6]. Kedua pseudopeptida itu juga terbukti efektif dalam melawan Staphylococcus aureus yang resisten metisilin (MRSA), yang tergolong bakteri gram positif pada uji in vivo menggunakan mencit yang terkena penyakit sepsis ringan dan parah. Keduanya aman digunakan dalam kadar yang tepat atau melebihi dosis aktifnya tanpa berpotensi menimbulkan kerusakan ginjal. Adapun, efektivitas antibakteri pseudopeptida Pep16 dan Pep19 juga terbukti pada uji in vivo model lain dengan mencit yang terinfeksi kulitnya oleh bakteri gram negatif, Pseudomonas aeruginosa[6].

Aktivitas senyawa heptapseudopeptida dalam membunuh bakteri multiresisten ini dapat dijelaskan dengan melakukan pengamatan di bawah mikroskop elektron SEM dan TEM. Sel MRSA yang telah diberi perlakuan dengan pseudopeptida memiliki bentuk sel yang menggelembung dan menunjukkan adanya penyimpangan dari bentuk aslinya[6]. Dinding selnya terkikis, sedangkan membran selnya terlepas dan mengalami deformasi. Pep16 dan Pep19 diketahui memiliki aktivitas yang paling tinggi pada membran MRSA, selaras dengan aktivitasnya pada uji in pada mencit berpenyakit sepsis dan infeksi kulit. Pada pengamatan menggunakan sel bakteri gram negatif, yaitu E. coli, semua pseudopeptida dapat mengakibatkan kematian sel dengan cara menembus ke dalam lapisan membran dalam dan luar E. coli lalu menimbulkan gangguan di dalam sel[6]. Pep19 terbukti memiliki aktivitas yang paling tinggi dalam melawan bakteri gram negatif yang resisten. Aktivitas antibakteri pseudopeptida ini diduga kuat berasal dari kapasitas asam amino non-alami yang dapat memperkuat ikatan antara senyawa tersebut dengan membran sel bakteri. Kuatnya ikatan antar keduanya memicu permeabilitas membran dan kematian pada sel bakteri[7].

blank

Gambar 2. Struktur molekul Pep19[6]

            Berdasarkan hasil risetnya, gabungan tim peneliti dari Prancis ini mengklaim bahwa kedua pseudopeptida, yaitu Pep16 dan Pep 19 yang disintesis dari senyawa toksin dari Staphylococcus aureus tersebut merupakan kandidat obat yang sangat menjanjikan untuk dikembangkan sebagai antibiotik baru. Selanjutnya, mereka berencana melakukan uji coba klinis fase 1 pada manusia[8]. Mereka juga telah memegang izin paten dan mendirikan start-up untuk kepentingan pengembangan senyawa obat ini. Diharapkan bahwa penelitian semacam ini dapat terus dikembangkan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah resistensi bakteri terhadap antibiotik di seluruh dunia.

REFERENSI

[1] Agung. 2017. Mewaspadai Ancaman Resistensi Antimikroba. https://ugm.ac.id/berita/13254-mewaspadai.ancaman.resistensi.antimikroba. Diakses pada 12 Juli 2019.

[2] Nismawati, Sjahril, R., dan Agus, R. 2018. Deteksi methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada pasien rumah sakit universitas hasanuddin dengan metode kultur. Prosiding Seminar Nasional Megabiodiversitas Indonesia. 15-21.

[3] Estiningsih, D., Puspitasari, I., dan Nuryastuti, T. 2016. Identifikasi infeksi multidrug resistant organisms (mdro) pada pasien yang dirawat di bangsal neonatalintensive care unit (nicu) rumah sakit. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi 6: 243-248.

[4] Adrizain, R., Suryaningrat, F., Alam, A.,, dan Setiabudi, D. 2018. Incidence of multidrug resistant, extensively drug-resistant and pan-drug-resistant bacteria in children hospitalized at dr. hasan sadikin general hospital bandung Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 125:1-4.

[5] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Masalah Kebal Obat Masalah Dunia. http://www.depkes.go.id/article/view/1459/masalah-kebal-obatmasalah-dunia-.html. Diakses pada 12 Juli 2019.

[6] Nicolas, I., Bordeau, V., Bondon, A., Baudy-Floc’h, M., dan Felden B. 2019. Novel antibiotics effective against gram positive and negative multi-resistant bacteria with limited resistance. PLOS Biology 17 (7): 1-23.

[7] Anonim. 2019. New Antibiotics Effective Without Triggering Resistence, Mouse Study Shows. https://www.sciencedaily.com/releases/2019/07/190709141249.htm. Diakses pada 12 Juli 2019.

[8] Inserm Press Office. 2019. New Antibiotics Developed by Inserm and Universite’ de Rennes 1.https://presse.inserm.fr/en/new-antibiotics-developed-by-inserm-and-universite-de-rennes 1/35666/. Diakses pada 12 Juli 2019.

[9] Anonim. 2018. Fast Facts: Antibiotic-Resistant Bacteria. https://vitalrecord.tamhsc.edu/fast-facts-antibiotic-resistant-bacteria/. Diakses pada 13 Juli 2019.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Yuk Gabung di Komunitas Warung Sains Teknologi!

Ingin terus meningkatkan wawasan Anda terkait perkembangan dunia Sains dan Teknologi? Gabung dengan saluran WhatsApp Warung Sains Teknologi!

Yuk Gabung!

Di saluran tersebut, Anda akan mendapatkan update terkini Sains dan Teknologi, webinar bermanfaat terkait Sains dan Teknologi, dan berbagai informasi menarik lainnya.