Ditulis Oleh Sintia Intan Agsari
Hemoglobin (Hb) merupakan protein utama tubuh manusia yang membuat darah berwarna merah. Fungsi fisiologi hemoglobin adalah mengatur pertukaran oksigen dan karbondioksida, menyuplai nutrisi ke jaringan tubuh, membantu kestabilan tahanan tekanan terhadap aliran darah dalam pembuluh darah perifer, sehingga sirkulasi darah yang dipompa ke jantung mempertahankan dari serangan virus dan bakteri berbahaya. Jumlah hemoglobin dalam darah normal adalah kira-kira 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut “100 persen”. Batas normal kadar hemoglobin untuk kelompok umur 6-14 tahun dan wanita dewasa adalah 12 gr/100 ml, untuk laki-laki dewasa 13 gr/100 ml, dan wanita hamil 11 gr/100 ml. Kadar Hb pada manusia ini bisa berubah-ubah dipengaruhi oleh gizi, kondisi besi, dan metabolisme dalam tubuh itu sendiri [1].
Salah satu gangguan medis terkait hemoglobin adalah anemia. Kadar hemoglobin dalam tubuh seseorang dapat mengalami gangguan. hemoglobin yang rendah menyebabkan pembentukan sel darah merah terganggu dan menyebabkan anemia Menurut Asian Development Bank (ADB) 2012[2] menyatakan bahwa sekitar 22 juta anak di Indonesia terkena anemia, yang menyebabkan kerugian potensi masa depan hingga 2,5%, dan menurut RISKESDAS 2018 [3] menyatakan bahwa 1 dari 2 hamil mengalami anemia yang akan berdampak pada ibu juga janinnya. Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena anemia beresiko menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar, olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi besi akan menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi bahkan kematian.
Agar anemia bisa dicegah atau diatasi maka diperlukan suatu metode pengukuran kadar hemoglobin darah sebagai upaya pencegahan bagi anemia itu sendiri. Namun alat yang umum digunakan di Indonesia saat ini adalah hematology analyzer dan fotometer yang harganya masih relatif mahal dan pengadaannya masih impor. Metode ini dilakukan dengan membaca intensitas warna sampel dengan alat fotometer kemudian dibandingkan dengan standar. Kekurangan dari metode ini adalah alat fotometer yang digunakan masih tergolong mahal jika diterapkan di Indonesia dan tingkat impornya masih tinggi, sehingga belum semua laboratorium memilikinya[4]. Oleh karena itu Indonesia membutuhkan eksplorasi dan pengembangan kembali suatu metode maupun alat pengukur hemoglobin darah yang lebih ekonomis, akurat, dan praktis.
Eksplorasi pengembangan suatu alat terbaru bernama “BEMO” sebagai pengukur kadar hemoglobin darah dari bakteri hemolitik Serratia marcescens telah dilakukan penelitian oleh penulis beserta tim dari Institut Pertanian Bogor pada 2019. Bila masyarakat selama ini kurang mengenal bakteri tersebut, bahkan keadaannya yang kurang dimanfaatkan, penulis justru sangat tertarik untuk menggali lebih dalam potensi bakteri tersebut. Alat terbaru yang tim penulis ciptakan menggunakan sensor berbasis enzim yang didapatkan dari sumber lokal (indigenous) untuk menggali keanekaragaman hayati di Indonesia yang berlimpah. Sensor berbasis enzim itu sendiri merupakan jenis biosensor yang menggabungkan senyawa hayati dengan suatu tranduser berupa detektor elektrokimia. Alat berbasis biosensor ini merupakan perangkat yang praktis dan akurat dalam pengujian biomolekul. Selain itu metode elektrokimia yang digunakan dalam pengembangan biosensor ini memiliki keunggulan dibanding metode spektrofotometri yaitu lebih sensitif dalam mendeteksi sampel dalam jumlah sedikit[5]. Enzim yang digunakan pada penelitian ini menggunakan enzim heme oksigenase yang pada penelitian sebelumnya oleh Koga et al. 2013[5] saat menggunakan enzim heme oksigenase yang diisolasi dari tikus dapat mendeteksi heme pada konsentrasi yang sangat kecil yaitu kurang dari 10 nM, sehingga keunggulan penggunaan enzim heme oksigenase ini sebagai basis deteksi pada biosensor adalah sensitivitasnya yang sangat tinggi. Penelitian yang dilakukan tim penulis ini merupakan salah satu pengembangan ilmu biokimia khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan enzim asal mikroba sebagai pengembangan metode pengukuran kadar hemoglobin darah dengan biosensor berbasis enzim heme oksigenase dari bakteri hemolitik isolat lokal berupa bakteri Serratia marcescens. Serratia marcescens dipilih pada penelitian ini karena merupakan bakteri dari isolat lokal serta memiliki tingkat patogenitas yang tidak terlalu tinggi dibanding bakteri Gram negatif lainnya, sehingga relatif lebih aman dan tidak memerlukan standar laboratorium yang tinggi.Pada saat proses peremajaan kultur yang tim penulis lakukan menunjukkan bahwa bakteri Serratia marcescens mampu menghasilkan enzim heme oksigenase yang ditandai oleh adanya zona bening disekitar kultur.
Alat BEMO ini bekerja dengan dengan sistem voltameter. Hasil yang didapatkan berupa ekstrak kasar heme oksigenase digunakan dalam proses amobilisasi pada pasta karbon berwarna hitam setelah dilakukan proses fraksinasi menggunakan ammonium sulfat. Elekroda Pasta karbon-Polianilin (EPK-Polianilin) yang dihasilkan dapat digunakan pada pengukuran voltamogram. Alat BEMO yang telah diamobilisasi dimasukkan ke dalam cc darah yang telah dilarutkan, kemudian terjadi proses pemecahan heme menjadi billiverdin, Fe2+, dan elektron bebas disekitar elektroda [6]. Elektron-elektron bebas ini akan mengalir menjadi aliran listrik yang akan dibaca oleh voltameter. Hasil yang dibaca oleh voltameter dapat dikonversikan menjadi satuan kadar konsentrasi hemoglobin gr/ml. Alat ini sangat berpotensi untuk semakin dikembangkan bagi masyarakat luas sebagai upaya deteksi dini anemia yang ekonomis dan pengobatan bagi anemia itu sendiri. Semakin dini mencegah, semakin kecil tingkat resiko yang ditimbulkan. BEMO merupakan bagian contoh kecil saja sebagai upaya meningkatkan popularitas bakteri isolat lokal kembali juga sebagai contoh kecil tentang betapa pentingnya menjaga kekayaan alam Indonesia dari kehancuran. Selain untuk kepentingan deteksi dini anemia yang ekonomis dan akurat, BEMO ini juga akan menjadi peluang besar untuk diadakan diberbagai layanan kesehatan guna mewujudkan Indonesia bebas anemia.
Gambaran Sistem Kerja Alat BEMO (Biosensor Heme Oksigenase
Sumber :
[1] Evelyn CP. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta (ID): Gramedia
[2] Asian Developmant Bank Annual Report 2012
[3] Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018
[4] Bachyar.B. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Buku kedokteran EGC.
[5] Koga S, Yoshihara S, Bando H, Yamasaki K, Higashimoto Y, Noguchi M, Sueda S, Komatsu H, Sakamoto H. 2013. Development of a heme sensor using fluorescently labeled heme oxygenase-1. Anal. Biochem. 433:2-9.
[6] Lehninger AL, Nelson DL, Cox MM. 2012. Principle of Biochemistry: 6th Edition. New York (USA): Macmillan Learning.