Gunung Fuji, ikon Jepang yang terkenal dengan puncak bersalju, kini menghadapi perubahan iklim yang signifikan. Pada akhir Oktober 2024, puncak Gunung Fuji masih belum tertutup salju, menandai rekor terlama tanpa salju sejak pencatatan dimulai 130 tahun lalu.
Biasanya, salju pertama muncul sekitar 2 Oktober setiap tahunnya. Namun, tahun lalu, salju pertama tercatat pada 5 Oktober, meskipun sebagian besar mencair pada awal November akibat suhu hangat. Pada 2024, prakiraan lokal menyebutkan bahwa salju pertama mungkin muncul pada pagi hari tanggal 7 November.
Sumber: theguardian.com
Perubahan ini mencerminkan tren baru dimana suhu yang lebih hangat mempengaruhi pola salju dan air. Jepang mengalami musim panas terpanas kedua berturut-turut, dengan suhu hangat berlanjut hingga musim gugur. Ternyata, krisis iklim berpengaruh pada penurunan salju di belahan bumi utara selama bertahun-tahun terakhir.
Fenomena El Niño, yang menghangatkan permukaan air di Samudra Pasifik timur, juga berperan dalam meningkatkan suhu. Musim dingin yang lebih hangat tidak hanya mempengaruhi salju, tetapi juga pariwisata, ekonomi lokal, serta pasokan makanan dan air. Secara global, tahun lalu adalah tahun terpanas sejak pencatatan dimulai, dan para ilmuwan memperkirakan bahwa 2024 akan melampaui rekor tersebut.
Gunung Fuji dan Pariwisata
Perubahan iklim ini menimbulkan tantangan bagi pariwisata di sekitar Gunung Fuji. Pemandangan puncak bersalju yang ikonik menjadi daya tarik utama bagi wisatawan. Namun, dengan berkurangnya salju, daya tarik ini mungkin menurun, mempengaruhi ekonomi lokal yang bergantung pada pariwisata.
Secara keseluruhan, kondisi terkini Gunung Fuji mencerminkan dampak nyata dari perubahan iklim. Perubahan pola salju dan suhu tidak hanya mempengaruhi ekosistem lokal, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi di sekitarnya. Perlu upaya kolaboratif antara pemerintah, komunitas lokal, dan wisatawan untuk menjaga kelestarian Gunung Fuji sebagai warisan alam dan budaya Jepang.
Climate Crunch: Dunia di Titik Kritis Perubahan Iklim
Apa yang terjadi pada Gunung Fuji menjadi salah satu tanda titik kritis pada kondisi iklim kini. Laporan terbaru dari PBB memperingatkan bahwa dunia semakin dekat dengan “climate crunch.” Istilah ini merujuk pada titik kritis ketika dampak perubahan iklim menjadi tidak terkendali, dengan konsekuensi luas bagi manusia dan ekosistem. Dunia akan berhadapan dengan tantangan besar dalam memenuhi target iklim dan pentingnya tindakan cepat untuk membalikkan tren berbahaya ini.
Ancaman dari Climate Crunch
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa emisi gas rumah kaca global terus meningkat meskipun ada komitmen dari banyak negara. PBB menegaskan bahwa untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C, perlu pengurangan emisi hingga 42% pada tahun 2030 dari level emisi di tahun 2019. Namun, saat ini dunia masih berada di jalur yang mengarah pada kenaikan suhu melebihi target. Kenaikan suhu tersebut tidak hanya memicu bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan, tetapi juga mengancam ketahanan pangan, meningkatkan risiko kesehatan, dan memperburuk ketimpangan sosial.
Ketertinggalan dalam Aksi Global
Meskipun Konferensi Perubahan Iklim COP telah menjadi platform diskusi penting, aksi nyata di tingkat nasional sering kali tertinggal. Laporan PBB juga menyoroti perlunya kerja sama internasional yang lebih erat dan investasi besar dalam teknologi energi bersih, seperti tenaga surya dan angin, untuk mencapai transisi energi. Selain itu, negara-negara berkembang menghadapi tantangan tambahan, termasuk pendanaan dan akses teknologi. Kesenjangan ini harus segera diatasi melalui skema pendanaan global yang adil, seperti Dana Hijau untuk Iklim (Green Climate Fund).
Tantangan dan Harapan di Masa Depan
Meski situasi tampak suram, ada secercah harapan dari pertumbuhan komunitas lokal, organisasi non-pemerintah, dan pemimpin muda yang telah mengambil langkah konkret untuk mengurangi emisi dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan. Inisiatif seperti penghijauan perkotaan, pengelolaan limbah yang lebih baik, serta pendidikan tentang keberlanjutan mulai menunjukkan dampak positif.
Pentingnya Memulai Aksi untuk Iklim
Jurnal “The Urgency of Climate Action and the Aim for Justice in Energy Transitions” menyimpulkan bahwa kebutuhan mendesak dalam mewujudkan aksi untuk iklim tidak hanya penting untuk mengurangi dampak lingkungan, tetapi juga harus memperhatikan aspek keadilan dalam transisi energi. Berikut adalah penjelasan, mengenai alasan mengapa aksi segera untuk menanggulangi krisis iklim menjadi hal yang penting dan bagaimana pendekatan keadilan dapat memperkuat efektivitas respons terhadap krisis iklim.
Krisis Iklim: Ancaman dan Kompleksitas
Perubahan iklim semakin memperlihatkan dampaknya melalui peristiwa cuaca ekstrem, kenaikan permukaan laut, dan penurunan keanekaragaman hayati. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah berulang kali menekankan bahwa penundaan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca akan memperburuk risiko yang tidak dapat diperbaiki. Sebagai contoh, banyak efek perubahan iklim, seperti pencairan lapisan es dan kehilangan habitat, bersifat irreversibel dan seiring waktu akan semakin sulit penangananannya. Oleh karena itu, tindakan segera dalam menanggulangi krisis iklim menjadi kunci untuk mencegah bencana lingkungan yang lebih besar.
Namun, urgensi ini sering kali berbenturan dengan kebutuhan untuk memastikan keadilan. Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadap perubahan iklim justru menghadapi dampak terburuknya. Komunitas termarjinalkan sering kali memiliki akses terbatas terhadap keputusan yang memengaruhi mereka, memperburuk ketidakadilan yang sudah ada.
Keberlanjutan dan Keadilan dalam Transisi Energi
Jurnal ini juga membahas pentingnya transisi energi yang adil. Transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan tidak hanya bertujuan untuk mengurangi emisi, tetapi perlu untuk memastikan distribusi manfaat dan biaya yang setara. Keadilan energi menjadi penting dalam konteks ini, dengan menekankan akses yang adil terhadap sumber daya energi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Misalnya, rancangan proyek energi terbarukan harus bertujuan untuk memberdayakan komunitas lokal daripada membebani mereka dengan biaya sosial dan lingkungan yang tidak proporsional.
Selain itu, konsep transisi yang adil menggarisbawahi perlunya perlindungan bagi pekerja di industri berbasis fosil. Langkah-langkah seperti pelatihan ulang dan menciptakan green job menjadi strategi penting untuk memastikan transisi yang inklusif tanpa meninggalkan kelompok tertentu dalam ketidakpastian ekonomi.
Dinamika antara Urgensi Aksi untuk Iklim dan Keadilan
Pada satu sisi, urgensi untuk bertindak dapat mengorbankan prinsip keadilan. Pengambilan keputusan secara terburu-buru sering kali mengabaikan partisipasi masyarakat yang terkena dampak, menciptakan ketidakadilan prosedural. Di sisi lain, penundaan aksi dengan alasan mempertimbangkan keadilan dapat memperparah dampak perubahan iklim, terutama bagi generasi mendatang. Oleh karena itu, keseimbangan antara urgensi dan keadilan harus menjadi fokus utama dalam kebijakan perubahan iklim.
Rekomendasi untuk Aksi Kolektif untuk Iklim
Memulai aksi terhadap krisis iklim memerlukan pendekatan holistik yang menggabungkan urgensi dengan keadilan. Beberapa langkah yang direkomendasikan antara lain:
- Peningkatan Kesadaran Publik: Mengkomunikasikan urgensi krisis iklim secara efektif kepada masyarakat untuk mendorong dukungan terhadap kebijakan transisi energi.
- Kebijakan Inklusif: Melibatkan berbagai kelompok, termasuk komunitas termarjinalkan, dalam proses pengambilan keputusan untuk memastikan keadilan.
- Investasi dalam Inovasi Hijau: Mendukung penelitian dan pengembangan teknologi energi terbarukan yang berkelanjutan.
Dengan bertindak sekarang, kita tidak hanya dapat mengurangi dampak buruk perubahan iklim, tetapi juga menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua.
Referensi
Van Bommel, et al. 2023. The urgency of climate action and the aim for justice in energy transitions – dynamics and complexity. Diakses pada 26 November 2024 dari https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2210422423000734
Elliot, David. 2024. No-snow record for Japan’s Mount Fuji, and other nature and climate stories you need to read this week. Diakses pada 26 Noveber 2024 dari https://www.weforum.org/stories/2024/11/no-snow-mount-fuji-nature-cop-16-climate-change/
UN News. 2024. ‘Climate crunch time is here,’ new UN report warns. Diakses pada 26 November 2024 dari https://news.un.org/en/story/2024/10/1156071