Menolong merupakan salah satu perilaku prososial yang dilakukan oleh seseorang untuk orang lain. Perilaku menolong juga dikenal dengan istilah altruisme atau altruistik. Tentunya dengan memberikan pertolongan, kita memberi keuntungan kepada pihak yang ditolong. Tidak jarang kita menemukan perilaku menolong dalam kehidupan sehari-hari yang justru memberikan dampak bahaya atau kerugian lainnya pada pihak yang memberikan pertolongan. Sehingga timbul pertanyaan “mengapa seseorang menolong?”.
Baca juga: Bom Atom dan Penyesalan Einstein
Alasan orang menolong sangat beragam. Mulai dari alasan sederhana hingga alasan yang kompleks dan rumit. Sederhananya seseorang menolong karena merasa iba, sehingga muncul motivasi untuk memberi bantuan (menolong). Alasan kompleksnya, seseorang menolong agar dianggap baik demi mendongkrak popularitas atau agar dapat mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya (menang pemilu, misalnya). Melalui tulisan ini, kita akan mengulas secara ilmiah alasan dibalik perilaku menolongnya seseorang.
-
Seseorang cenderung menolong kerabat atau orang lain yang memiliki kedekatan dengan dirinya.
Menurut salah satu kajian teori evolusi yang bernama “Kin Protection (Perlindungan Kerabat)” tentang perilaku menolong, seseorang memiliki kecenderungan yang tinggi untuk memprioritaskan pertolongan kepada kerabat atau orang-orang terdekatnya. Hal ini masih sejalan dengan konsep teori Darwin, terkait kelangsungan hidup, bahwa dengan memberikan pertolongan pada kerabat atau orang terdekat memiliki peluang yang lebih besar untuk melestarikan gen dari keturunan tersebut.
Lebih dalam, Al-Qur’an tanpa diragukan lagi kebenarannya telah mengajarkan kita untuk senantiasa memberikan pertolongan kepada kerabat-kerabat atau orang terdekat kita yang membutuhkan pertolongan. Hal ini terdapat dalam Q.S Al-Baqarah (2): 177 dan Q.S. Al Isra’ (17): 26. Juga diperjelas oleh Rasulullah SAW melalui hadist. Hal ini lebih menguatkan alasan kenapa seorang muslim (terutama) memberikan prioritas lebih untuk menolong kerabat atau orang terdekatnya, baru setelahnya orang lain yang memerlukan pertolongan.
-
Seseorang menolong untuk ditolong kembali.
Wajar saja jika seseorang memberikan pertolongan kepada orang lain dengan harap akan ditolong kembali ketika sewaktu-waktu ia mengalami kesusahan. Konsep perilaku menolong yang satu ini dijelaskan dalam teori timbal-balik biologis (biological resiprocity). Menurut teori ini, seseorang memberikan pertolongan sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu dirinya mengalami kesusahan, orang yang pernah ditolongnya tersebut akan memberi pertolongan.
Dalam konsep perilaku menolong ini, timbul kekhawatiran pada diri seseorang jika ia tidak memberikan pertolongan, kemungkinan orang tersebut juga tidak akan mendaapat pertolongan disaat mengalami kesusahan. Konsep diri yang seperti ini menghadirkan motivasi untuk menolong orang lain yang mengalami kesusahan. Pertolongan yang diberikan juga tidak sebatas hanya menolong kerabat atau orang terdekat saja, tapi lebih mencakup lingkungan secara lebih luas.
-
Seseorang menolong karena melihat orang lain menolong.
Motivasi menolong yang demikian dijelaskan dalam teori belajar sosial (social learning theory). Sesuai dengan konsep teori ini, bahwa seseorang menolong karena adanya proses belajar melalui observasi terhadap orang lain yang dianggap sebagai tokoh prososial (versi pribadi). Dari proses belajar tersebut, muncullah motivasi dalam diri seseorang untuk meniru perilaku prososial tokoh tersebut. Alhasil seseorang yang melakukan proses belajar tadi, turut berperilaku prososial, salah satunya memberi pertolongan pada orang lain.
Namun perlu digarisbawahi, dalam teori belajar, apa yang tampak sebagai altruis bisa saja mengandung kepentingan pribadi yang terselubung. Kepentingan pribadi ini dapat berupa hal yang positif atau buruknya dapat berupa suatu kepentingan yang mengarah pada hal negatif. (Deaux, Dane, dan Wrightsman, 1993) memberikan contoh bahwa seseorang mungkin merasa lebih baik setelah memberikan pertolongan, atau orang menolong untuk menghindari perasaan bersalah atau bisa jadi karena hal-hal tertentu ia menghindari perasaan malu bila tidak menolong.
-
Seseorang menolong untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Perilaku menolong yang seperti ini merupakan perilaku prososial yang mengharapkan pamrih. Pamrih yang diharapkan bisa berupa materi (misalnya, uang atau jenis harta lainnya) bisa juga berupa nonmateri (misalnya, penghargaan, pujian, prestise, dan lain-lain). Perilaku ini dijelaskan dalam teori pertukaran sosial (social exchange theory). Teori ini mengatakan bahwa interaksi sosial yang dibangun menekankan pada prinsip untung-rugi.
Dalam hal ini, perilaku menolong sangat mempertimbangkan keuntungan dan kerugian bagi pelakunya. Tokoh prososial yang menganut konsep ini dalam perilaku menolongnya, sangat memperhitungkan keuntungan (ganjaran) yang diterima dengan kerugian yang akan dikeluarkannya. Semaksimal mungkin ia menekan kerugian untuk mendapatkan keuntungan atau ganjaran atas perilakunya yang sebesar-besarnya, mirip seperti prinsip ekonomi. Inti dari motivasi menolong yang satu ini adalah kuat didasari oleh kepentingan pribadi (self-interest).
-
Seseorang menolong karena empati terhadap penderitaan orang lain.
Hipotesis empati-altruistik dalam teori empati mengungkapkan bahwa salah satu hal yang memotivasi seseorang untuk melakukan perilaku menolong adalah perasaan empati. Melalui perhatian yang diberikan terhadap penderitaan orang lain, menghasilkan tindakan untuk mengurangi penderitaan tersebut. Inti dalam teori ini, seseorang menolong orang lain karena orang lain sedang butuh pertolongan dan dengan berbuat baik, tokoh prososial bisa merasakan kebahagiaan untuk dirinya sendiri.
-
Seseorang menolong untuk menghindari perasaan negatif.
Permodelan perilaku menolong yang seperti ini dinamakan sebagai negative-state-relief model atau model mengurangi perasaan negatif. Ketika melihat penderitaan orang lain mungkin saja seseorang merasakan ketidaknyamaanan, semisal terganggu, risih, atau perasaan tidak nyaman lainnya. Contohnya, ketika ada seorang pengemis di depan rumah, mungkin saja ada seseorang yang merasa tidak nyaman atau terganggu atas kehadiran pengemis tersebut. Sehingga ia memberi sejumlah uang pada pengemis tadi, dengan tujuan agar pengemis tersebut cepat meninggalkan rumahnya.
Perilaku menolong yang dicontohkan dalam ilustrasi di atas merupakan salah satu bentuk pemodelan perilaku menolong untuk mengurangi perasaan negatif. Bagi orang yang ditolong perilaku tersebut termasuk mencerminkan prososial, namun siapa sangka jika terdapat ketidaknyamanan atas kehadiran pengemis dalam hati kecil tokoh prososial tersebut. Sehingga perilaku menolong yang demikian sejatinya adalah untuk menolong dirinya sendiri (self-help) agar terbebas dari suasana hati yang tidak menyenangkan.
-
Seseorang menolong agar dapat merasakan kebahagiaan.
Seringkali dengan memberikan kebahagiaan kepada orang lain, seseorang bisa ikut bahagia. Inilah yang menjadi salah satu alasan seseorang memberikan pertolongan kepada orang lain. Tokoh prososial berharap orang yang ditolongnya tersebut dapat bahagia melalui pertolongannya, sehingga ia pun dapat merasakan kebahagiaan yang serupa. Hal seperti ini dinamakan sebagai hipotesis kesenangan empatik (emphatic joy hypothesis). Teori ini mengatakan bahwa seseorang menolong karena ia yakin pertolongannya tersebut dapat memberikan hasil positif bagi orang yang ditolong.
-
Seseorang menolong agar mendapat timbal balik dari pertolongannya tersebut.
Teori yang mengupas alasan dari perilaku menolong yang satu ini adalah teori perkembangan kognisi sosial. Dalam teori ini dijelaskan bahwa perilaku menolong melibatkan banyak proses kognitif, seperti persepsi, penalaran, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan lain-lain. Sebelum melakukan tindakan menolong, tokoh prososial hendaknya memahami kebutuhan dari orang yang akan ditolong, sehingga pertolongan yang diberikan akan tepat sasaran.
Penelitian yang mengkaji hubungan antara perilaku menolong dengan perkembangan kognisi sosial mendapatkan hasil bahwa perilaku menolong mengharapkan dampak atau timbal balik kepada tokoh perilaku prososial. Lourenco (1993) menampilkan sebuah kasus bahwa seorang ibu memarahi anaknya karena memberikan uang tabungan kepada temannya untuk membeli buku (uang tabungannya tersebut jumlahnya lebih banyak dari harga buku). Hal ini dilakukan anak tersebut semata-mata agar mendapat bantuan untuk mengerjakan PR dari temannya tersebut. Kasus tersebut cukup memberi contoh bagaimana perilaku menolong berhubungan dengan harapan mendapat timbal balik dari orang yang ditolong.
-
Seseorang menolong karena sebelumnya pernah ditolong.
Ini merupakan salah satu alasan konkrit kenapa seseorang menolong. Dalam hidup ini kita mengenal istilah norma sosial. Salah satu bagian dari norma sosial adalah norma timbal balik. Sosiolog Alvin Gouldner (1960), mengemukakan bahwa salah satu norma yang bersifat universal adalah norma timbal-balik. Dalam norma ini, menganut prinsip bahwa seseorang harus menolong orang yang pernah menolongnya. Prinsip dalam norma timbal balik ini persis dengan prinsip balas budi.
-
Seseorang menolong karena berkewajiban untuk menolong.
Masih berkaitan erat dengan norma sosial, perilaku menolong yang satu ini didasari oleh norma tanggung jawab sosial (the social-responsibility norm). Norma ini menganut prinsip bahwa kita harus menolong orang yang membutuhkan pertolongan tanpa mengharapkan balasan di masa datang. Norma ini memberi motivasi untuk menolong orang-orang yang lebih lemah dari dirinya, seperti orang yang cacat, orang yang sudah tua, atau seorang kakak yang memberi pertolongan kepada adiknya yang masih kecil ketika terjatuh, Sarwono (2002).
Perilaku menolong sejatinya tidak lepas dari pamrih. Melalui pengkajian beberapa alasan seseorang memberikan pertolongan yang dikupas dari teori-teori perilaku prososial, sebagian besar menyebutkan bahwa perilaku prososial didasari pada kebutuhan atau tujuan pribadi. Hanya saja yang membedakan antara satu orang dengan yang lainnya adalah jenis pamrih atau level pamrih yang diharapkan. Level pamrih terendah adalah untuk membuat kebahagiaan pada diri sendiri atas perilaku menolong yang dilakukan. Sedangkan level pamrih tertinggi adalah untuk memenuhi kebutuhan materi dan nonmateri, seperti yang telah dicontohkan pada paragraf pertama tulisan ini. Dengan demikian, hendaknya kita melakukan tindakan prososial dengan pamrih yang serendah-rendahnya. Menanamkan prinsip bahwa kebahagiaan tertinggi adalah ketika melihat orang lain bahagia.
REFERENSI
Devita Retno. 4 Oktober 2018. “10 Teori Prososial dalam Psikologi Sosial Secara Singkat” (online), (https://dosenpsikologi.com/teori-prososial-dalam-psikologi-sosial, diakses tanggal 9 November 2019).
Reza. 18 November 2015. “Mana yang Lebih Utama Sedekah pada Orang Miskin atau Kerabat” (online), (https://www.dream.co.id/news/mana-yang-lebih-utama-sedekeh-pada-orang-miskin-atau-kerabat-151117p.html, diakses tanggal 19 November 2019).
Tim Penulis Fakultas Psikologi UI. 2019. Psikologi Sosial Edisi 2. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.