Permasalahan Sampah Plastik sebagai Ancaman Dunia
Keadaan di Indonesia saat ini menunjukkan perkembangan di bidang industri yang sangat pesat. Kemajuan di bidang industri selain dapat menopang kehidupan manusia, tetapi dapat pula mengancam kehidupan manusia, seperti bertambahnya buangan limbah yang tergolong B3 (Bahan Beracun Berbahaya). Beberapa limbah plastik tergolong ke dalam B3, dimana bahan kimia yang dilepaskannya dapat mengancam kesehatan dan lingkungan hidup. Plastik dapat menutup saluran air, bahkan dilansir oleh National Geographic Indonesia pada Januari 2019, diketahui beberapa hewan laut mengira bahwa sampah plastik adalah makanannya. Hal ini diakibatkan karena laut di dunia saat ini sedang darurat sampah plastik. Beberapa kali telah ditemukan sampah plastik kemasan makanan yang berasal dari belasan tahun lalu, terbawa dari daratan ke laut. Dibutuhkan waktu yang cukup lama agar sampah plastik tersebut dapat terurai. Polimer plastik memang tidak mudah untuk dipecah oleh organisme. Jika permasalahan ini dibiarkan, maka populasi hewan-hewan laut di dunia akan terus menurun.
Tujuan awal diciptakannya kantong plastik tahun 1959 oleh Sten Gustaf Thulin adalah untuk mensubstitusi penggunaan kantong kertas. Mengutip dari BBC News Indonesia, saat itu plastik dibuat untuk mengurangi penebangan pohon dalam pembuatan kantong kertas. Kantong plastik dinilai dapat menyelamatkan bumi karena bersifat paling reusable dibandingkan kantong kertas dan kantong kain. Namun, kepraktisan dalam pemakaian kantong plastik dan harganya yang cukup murah, membuat manusia modern tidak lagi menggunakannya berulangkali. Niat baik dalam penyelamatan bumi, kini justru mengancam keberlanjutan alam.
Manusia dapat menghasilkan sampah plastik sebanyak 2,12 miliar ton per tahun (The World Counts, 2019). Penelitian Jambeck et al. (2015) mengatakan bahwa Indonesia adalah penyumbang sampah plastik terbanyak kedua di dunia, setelah China. Sebagian besar sampah plastik tersebut dipastikan masuk ke laut, mengingat 71% wilayah Indonesia merupakan lautan. Berdasarkan data The World Bank tahun 2018, diperkirakan Indonesia menyumbangkan sekitar 9 juta ton sampah plastik per tahun dan 3,2 juta ton diantaranya berupa sedotan. Pada bulan November 2019, media internasional ramai menyoroti laporan Internasional Pollutants Elimination Network (IPEN) yang mengungkap bahwa telur-telur ayam di Desa Bangun dan Tropodo, Jawa Timur, Indonesia mengandung polutan berbahaya, seperti  kandungan dioksin yang tinggi, PCBs, PBDEs, SCCPs, dan PFOS.
Penemuan Mikroorganisme Pendegradasi Sampah Plastik
Plastik sudah menjadi kebutuhan bagi manusia. Plastik tersusun atas polimer-polimer bahan kimia aditif. Plastik diklasifikasikan menjadi thermostat dan thermoplastik. Polimer thermoplastik bersifat tidak tahan panas dan bisa didaur ulang, sedangkan polimer thermostat sebaliknya.
Sifat plastik yang sulit untuk terdegradasi di alam menjadi permasalahan utama bagi lingkungan. Apa itu degradasi? Degradasi adalah suatu reaksi perubahan senyawa atau molekul kimia menjadi komponen yang lebih sederhana (Yatim, 2007). Biodegradasi merupakan degradasi substrat yang memerlukan bantuan enzim yang dihasilkan oleh organisme hidup. Tempat Pembuangan Sampah (TPS) seringkali menjadi tempat para ilmuwan dalam menemukan mikroorganisme pendegradasi plastik.
Dunia penelitian pada tahun 2018, dikejutkan dengan penemuan seorang peneliti di Royal Botanical Gardens, Kew, London, yang mengklaim bahwa fungi atau jamur Aspergillus tubingensis yang ditemukan di TPS Islamabad, Pakistan ini dapat mendegradasi limbah plastik dalam hitungan minggu. Sebelumnya, penelitian Khan et al. (2017) melaporkan bahwa jamur ini mampu mendegradasi plastik jenis polyester polyurethane (PU). Spesies jamur ini sudah ditemukan sejak tahun 1934 oleh Raoul Mosseray. Selain itu, Gajendiran et al. (2016) melaporkan bahwa jamur Aspergillus clavatus mampu mendegradasi plastik jenis low density polyethylene (LDPE) selama 90 hari. Penelitian Rohmah et al. (2018) juga membuktikan bahwa A. terreus mampu mendegradasi plastik dalam hitungan bulan. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa Trichoderma spp. mampu mendegradasi sampah plastik jenis PET. Penemuan-penemuan tersebut menunjukkan kemajuan di bidang mikodegradasi.
Bakteri juga dieksplorasi oleh para ilmuwan untuk menjadi agen pendegradasi sampah plastik. Bakteri dianggap lebih menarik untuk dikembangkan dalam skala industri karena perkembangbiakkannnya lebih cepat dibandingkan fungi. Berdasarkan riset Yoshida et al. 2016, bakteri yang mampu memecah rantai PET menjadi mono-(2-hydroxyethyl) terephthalate (MHET) berhasil ditemukan, yaitu Ideonella sakaiensisis 201-F6. Kondisi optimum yang dibutuhkan bakteri ini untuk menguraikan plastik jenis PET adalah pada suhu 30ºC.
Mengenal Enzim PETase
Mikroorganisme pendegradasi plastik memiliki enzim khusus yang mampu memecah ikatan kimia molekul plastik. Salah satu enzim tersebut adalah polyethylene terepthalate hydrolase (PETase). Enzim ini mampu mencerna sampah plastik jenis polyethylene terepthalate (PET). Jenis plastik PET (berkode 1) paling banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari, seperti botol air mineral, jus, soft drink, dan sebagainya. PET secara alami dapat terdegradasi sendiri, namun perlu waktu berabad-abad untuk bisa hancur.
Penelitian Yoshida et al. (2016) dilakukan dengan menginkubasi film PET oleh konsorsium mikroba dengan bantuan enzim PETase pada suhu 30ËšC selama 18 jam, menunjukkan hasil bahwa PETase mampu memecah rantai mono(2-hydroxyethyl) terephthalic acid (MHET) sebagai produk utama, sedangkan terephthalic acid (TPA) dan bis(2-hydroxyethyl) TPA (BHET) sebagai produk sampingan. PETase juga mampu menghidrolisis BHET menjadi MHET. Hidrolisis MHET menjadi asam tereftalat and etilen glikol dilakukan oleh enzim MHETase.
Skrining bakteri yang terpapar PET di lingkungan dilakukan oleh para peneliti tersebut dan berhasil mengisolasi bakteri baru, yaitu Ideonella sakaiensis 201-F6, yang mampu menggunakan PET sebagai sumber energi dan karbon utama. Saat strain ini tumbuh pada PET, akan dihasilkan dua enzim yang mampu menghidrolisis PET. Kedua enzim tersebut harus mengkonversi PET secara efisien menjadi terephthalic acid dan ethylene glycol, yang merupakan monomer ramah lingkungan. Penelitian tentang biodegradasi PET atau pemanfaatannya untuk mendukung pertumbuhan mikroba pendegradasi plastik ini masih sedikit dilakukan. Untuk itu, PETase perlu dikembangkan lebih jauh lagi dalam membantu menghancurkan plastik PET.
Kini, semakin marak gerakan mengurangi kantong plastik yang dilakukan agar beralih menggunakan kantong kertas atau kain. Justru kedua kantong tersebutlah yang lebih berdampak buruk bagi lingkungan. Sebaiknya, yang perlu dikurangi adalah kebiasaan dalam menggunakan plastik yang hanya sekali pakai. Baik kantong plastik, kertas, atau kain haruslah digunakan secara bijak, karena dampak negatif timbul akibat penggunaan yang berlebihan. Ide dalam menjadikan plastik sebagai alat tukar cukup menarik perhatian. Pengembangan di bidang sains dan teknologi dalam menciptakan plastik yang aman dan dapat di daur ulang, maupun bioplastik yang lebih cepat didegradasi sangat diperlukan. Selain itu, peran pemerintah dibutuhkan dalam menaikkan harga plastik untuk meminimalkan penggunaannya.
DAFTAR REFERENSI:
G. B., 2019. Hewan Laut Mengira Sampah Plastik sebagai Makanan, Mengapa? (https://nationalgeographic.grid.id/read/131605210/hewan-laut-mengira-sampah-plastik-sebagai-makanan-mengapa?page=all)
Gajendiran, A., Krishnamoorthy, S. & Abraham, J., 2016. Microbial Degradation of Low-Density Polyethylene (LPDE) by Aspergillus clavatus Strain JASK1 Isolated from Landfill Soil. 3 Biotech, 6(52), pp. 1-6.
Hajid, S. & Pradana, A., 2019. Kantong Plastik: Awalnya Diciptakan untuk Selamatkan Bumi – BBC News Indonesia (https://www.youtube.com/watch?v=VuBwiWRNhvo)
IPEN, 2019. Alarming Levels of Dioxins, PFOS, & Other Banned Chemicals Found in Eggs Sampled Near Plastic Waste Hot Spots in Indonesia (https://ipen.org/news/plastic-waste-poisons-indonesia%E2%80%99s-food-chain)
Jambeck, J. R., Geyer, R., Wilcox, C., Siegler, T. R., Perryman, M., Andrady, A., Narayan, R. & Law, K. L., 2015. Plastic Waste Inputs from Land into the Ocean. Science, 347(6223), pp. 768-772.
Khan, S., Nadir, S., Shah, Z. U., Shah, A. A., Karunarathna, S. C., Xu, J., Khan, A., Munir, S. & Hasan, F., 2017. Biodegradation of Polyester Polyurethane by Aspergillus tubingensis. Environmental Pollution, 225, pp. 469-480.
Rohmah, U. M., Shovitri, M., Kuswytasari, K., 2108. Degradasi Plastik oleh Jamur Aspergillus terreus (LM 1021) pada pH 5 dan pH 6; serta Suhu 25° dan 35° Celcius. Jurnal Sains dan Seni ITS, 7(2), pp. 2337-3520.
Widyaningrum, G. L., 2018. Jamur Asal Pakistan Ini Bisa Memakan Plastik, Solusi Mengatasi Sampah? (https://nationalgeographic.grid.id/read/13937013/jamur-asal-pakistan-ini-bisa-memakan-plastik-solusi-mengatasi-sampah?page=all)
Yatim, W., 2007. Kamus Biologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Yoshida, S., Hiraga, K., Takehana, T., Taniguchi, I., Yamaji, H., Maeda, Y., Toyohara, K., Miyamoto, K., Kimura, Y. & Oda, K., 2016. A Bacterium that Degrades and Assimilates Poly(Ethylene Terephthalate). Science, 351(6278), pp. 1196-1199.
https://www.worldbank.org/en/country/indonesia
https://www.theworldcounts.com/counters/waste_pollution_facts/plastic_bags_used_per_year
https://2016.igem.org/Team:TJUSLS_China/Description
http://2016.igem.org/Team:UoA_NewZealand/Project