Beberapa tahun terakhir ini, kecerdasan buatan menjadi topik riset paling populer untuk banyak kalangan ilmuwan dunia. Kelebihan yang dimiliki oleh kecerdasan buatan yang mampu meniru jaringan saraf otak manusia memberikannya sebuah kelebihan tersendiri dalam memprediksi suatu masalah, sekaligus untuk mengambil keputusan yang lebih akurat.
Dalam menyelesaikan sebuah masalah, kecerdasan buatan mampu bekerja lebih cepat dari pada manusia, baca juga Pengacara Kecerdasan Buatan Lebih Cepat dan Akurat dibanding Pengacara Manusia. Selain itu, kecerdasan buatan juga lebih hemat sumber daya energi. Banyak kelebihan yang ditawarkan oleh kecerdasan buatan dalam upaya memecahkan permasalahan umat manusia yang kompleks sampai hari ini. Para ilmuwan-ilmuwan kecerdasan buatan terbaik dunia dan juga perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Google pun ikut berlomba-lomba dalam mengembangkan kecerdasan buatan yang kian canggih, baca juga Auto Machine Learning (AutoML): Sebuah Kecerdasan Buatan yang Mampu Membangun Kecerdasan Buatan Sendiri dari Google
Seiring dengan perkembangan kecerdasan buatan yang semakin pesat, banyak pula orang-orang yang kontra terhadapnya. Salah satunya adalah ditakutkan bahwa kecerdasan buatan suatu saat dapat menguasai manusia secara sepenuhnya atau manusia akan diperbudak oleh robot. Selain itu, hal-hal yang paling mengerikan dari teknologi kecerdasan buatan adalah apabila kecerdasan buatan diubah menjadi senjata oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, baca juga Slaughterbots, Film Pendek Mengerikan Tentang Robot Otonom yang Mampu Membantai Manusia.
Dibalik banyaknya rasa khawatir dan takut masyarakat dunia terhadap bahaya dan dampak yang ditimbulkan oleh kecerdasan buatan, ilmuwan-ilmuwan pun berlomba-lomba untuk memanfaatkan kecerdasan buatan pada tujuan positif. Tentunya dalam upaya memecahkan masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan cepat oleh umat manusia. Salah satu dari sekian banyak penggunaan kecerdasan buatan tersebut adalah seperti yang dilakukan oleh dua ilmuwan Jepang yaitu Takao Yoshikane & Kei Yoshimura dari Universitas Tokyo. Mereka menggunakan kecerdasan buatan untuk memecahkan masalah seperti mencari tahu arah penyebaran bahan radioaktif dari sebuah kecelakaan nuklir.

Dalam artikel ilmiah yang mereka terbitkan di jurnal nature scientific reports dengan judul “Dispersion characteristics of radioactive materials estimated by wind patterns“, menyatakan bahwa mereka telah berhasil menggunakan kecerdasan buatan untuk memprediksi penyebaran bahan radioaktif berdasarkan pola arah angin untuk 33 jam lebih awal dimana bahan-bahan radioaktif akan tersebar. Hasil dalam penelitian mereka berdua tersebut memiliki tingkat akurasi hingga 85% dan pada musim hujan dengan cuaca yang lebih mudah untuk diprediksi maka tingkat akurasi bisa mencapai 95%[1][2].
Penerapan kecerdasan buatan yang mereka lakukan tersebut menggunakan algoritma pembelajaran mesin (Machine Learning). Seperti halnya pada manusia untuk dapat belajar dan kemudian dapat mengambil sebuah keputusan, kecerdasan buatan pun harus dilatih dahulu dengan sejumlah data yang disebut sebagai proses pembelajaran. Kecerdasan buatan yang mereka gunakan untuk mampu memprediksi arah pola angin penyebaran bahan radioaktif tersebut terlebih dahulu dilatih menggunakan data-data pola cuaca dari beberapa tahun. Data-data pelatihan tersebutlah yang akan digunakan kecerdasan buatan untuk dapat mengambil keputusan dalam memprediksi penyebaran-penyebaran bahan radioaktif ketika terjadi insiden kecelakaan nuklir[3].
Pengetahuan prediksi arah penyebaran dan dimana jatuhnya bahan-bahan radioaktif secara cepat menjadi sangat penting dalam upaya menentukan dimana lokasi-lokasi evakuasi untuk misi penyelamatan masyarakat disekitar kawasan kecelakaan unit nuklir. Kita tahu bahwa saat terjadi kecelakaan, katakanlah misalnya unit PLTN (Pembangkit Listrik tenaga Nuklir) Fukushima Jepang pada 7 tahun lalu. Hal pertama yang terjadi pada masyarakat saat itu adalah panik yang berlebihan yang dapat mempersulit evakuasi. Namun, dengan adanya kecerdasan buatan yang mampu memprediksi lebih akurat dimana letak jatuh bahan radioaktif tersebut, pemerintah atau unit terkait juga bisa menentukan secara cepat dimana lokasi evakuasi yang tepat dan aman tanpa harus panik. Jadi, tidak akan mempersulit selama proses evakuasi, kemudian waktunya pun cukup lama yaitu 33 jam.
Harapannya adalah dengan adanya kecerdasan buatan dalam upaya membantu sebuah kasus kecelakaan nuklir dapat membantu pemerintah atau lembaga-lembaga terkait lebih mudah dalam menangani sebuah insiden kecelakaan nuklir terutama proses evakuasi masyarakat. Dan juga, semoga jika Indonesia membangun PLTN, kecerdasan buatan tersebut dapat menjadi poin penting dalam upaya menambah rasa yakin masyarakat untuk menggunakan teknologi nuklir dalam menyuplai listrik tanah air, baca juga Mengenal Lebih Dekat Reaktor Daya Eksperimental, Reaktor Nuklir Desain Anak Negeri.
[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=VvkmvE3feZs[/embedyt]
Referensi:
- Institute of Industrial Science, University of Tokyo. 2018. “Artificial Intelligence Accurately Predicts Distribution of Radioactive Fallout”. University of Tokyo, 3 Juli 2018 (https://www.iis.u-tokyo.ac.jp/en/news/2932/) diakses pada 14 Juli 2018.
- Yoshikane, Takao & Kei Yoshimura. 2018. “Dispersion characteristics of radioactive materials estimated by wind patterns”. Nature Scientific Reports, 2 Juli 2018 (https://www.nature.com/articles/s41598-018-27955-4) diakses pada 14 Juli 2018.
- Papadopoulos, Loukia. 2018. “New AI Can Predict the Distribution of Radioactive Fallout During Nuclear Disasters”. Interesting Engineering, 4 Juli 2018 (https://interestingengineering.com/new-ai-can-predict-the-distribution-of-radioactive-fallout-during-nuclear-disasters) diakses pada 14 Juli 2018.