Hipotesis Mengenai Hubungan Skripsi dan Penemuan Jati Diri

Ditulis oleh Gea Melinda – Prospective Student of Kobe University Japan Di bangku SD, saya pernah bercita-cita kelak dapat menjadi […]

Ditulis oleh Gea Melinda – Prospective Student of Kobe University Japan

Di bangku SD, saya pernah bercita-cita kelak dapat menjadi seorang ilmuwan. Hal ini terinspirasi dari kartun di sebuah stasiun televisi yang menceritakan tentang anak berIQ fantastis dan diilustrasikan sebagai anak laki-laki berkepala lebih besar daripada ukuran kepala anak sebayanya. Menginjak bangku SMP, mimpi ini terasa semakin nyata. Saya terpilih untuk mewakili kota dalam ajang olimpiade biologi tingkat provinsi. Saya juga aktif mengikuti pelatihan siswa berprestasi di bidang biologi hingga kompetisi penelitian tingkat SMP. Preparat, mikroskop, dan laboratorium sekolah mengisi kehidupan masa SMP saya.Seperti kata pepatah, jalan hidup siapa yang tahu. Di bangku SMA, saya malah terseok-seok mengikuti kelas akselerasi. Saya memang selalu unggul dalam pelajaran biologi namun waktu untuk mengikuti lomba dan meneliti nyaris nihil. Saya sibuk mengejar materi dan remedial di pelajaran lain. Waktu menggelincir cepat hingga tak terasa saya sudah memasuki bangku kuliah. Di bangku kuliah saya menyadari bahwa impian untuk menjadi ilmuwan benar-benar mustahil. Bagaimana tidak, saya bahkan gagal di ujian masuk jurusan kedokteran! Di pikiran polos gadis berusia belasan tahun saat itu, ilmuwan biasanya adalah para dokter yang berjuang mencari vaksin suatu penyakit atau antidote dari suatu racun.

Singkat cerita, saya tersesat di jurusan kuliah saya yang bahkan namanya baru saya dengar ketika akan mendaftar. Yang saya tahu, jurusan tersebut masih di ranah kesehatan dan paling tidak, saya akan belajar hal-hal yang berkaitan dengan biologi. Saya pun harus merantau ke pulau sebrang untuk menuntut ilmu karena di kota asal saya jurusan tersebut belum tersedia. Akan tetapi, lagi-lagi saya kecewa karena ternyata saya ada di dunia vokasi yang dipersiapkan untuk lapangan kerja, bukan dunia akademisi apalagi laboratorium. Mau pindah jurusan, orang tua tidak mengamini. Mau tetap di jurusan tersebut, setengah hati rasanya. Akhirnya, saya tetap bertahan dan terus bertanya-tanya, apa peran saya bagi masyarakat dengan profesi saya nantinya? Apa benar teori dan praktek yang saya pelajari selama ini bisa menyembuhkan penyakit tertentu seperti yang saya pelajari? Saya kumpulkan sedikit demi sedikit motivasi dan jawaban atas keraguan saya.

Masa tingkat akhir pun tiba walau keraguan akan profesi saya belum bisa saya tuntaskan. Saya pun dihadapi dengan dunia magang dan skripsi. Keduanya mendorong saya secara mandiri untuk mengenal jurusan kuliah saya. Saya harus menemukan jawaban paling tidak untuk hipotesis skripsi saya! Sebelum magang atau di jurusan saya disebut sebagai praktek klinik, saya harus menuntaskan sidang proposal penelitian karena biasanya pengambilan data dilakukan di tempat praktek klinik, yaitu rumah sakit. Memang benar, sebagian besar teman angkatan mengambil data di rumah sakit, tepatnya di poli rehabilitasi fisik. Sebaliknya, saya berusaha out of the box dan mengambil data di komunitas pekerja konveksi. Oleh karena itu, sebelum menjalankan praktek klinik di luar kota, saya harus menuntaskan proses pengambilan data saya. Omong-omong skripsi saya berjudul Pengaruh Pemberian Ischemic Compression dan Penguluran Pasif terhadap Penurunan Nyeri Sindroma Nyeri Miofasial Upper Trapezius pada Pekerja Konveksi (jika diterjemahkan dalam bahasa awam, skripsi ini bercerita tentang terapi untuk nyeri leher).

Tantangan pertama dalam pengambilan data adalah mencari konveksi yang bersedia menjadi tempat penelitian. Hal ini tidak mudah karena beberapa konveksi besar menganggap proses penelitian mengganggu kinerja karyawan atau bahkan karyawannya sendiri enggan karena merasa sudah terlalu lelah bekerja. Sejatinya, penelitian saya sendiri adalah pemberian terapi pada karyawan (sebagai subjek penelitian) untuk membuktikan efektivitas terapi tersebut dalam menurunkan nyeri leher. Bisa dibilang, para karyawan diberikan kesempatan konsultasi dan berobat gratis namun apalah daya, penolakan dan ketidaktahuan adalah kenyataan yang harus saya terima. Melalui bantuan seorang teman, saya mendapatkan dua tempat konveksi skala mikro yang bersedia menjadi tempat penelitian. Saya melakukan penelitian selama satu bulan dengan memberikan terapi dua kali seminggu. Saya biasanya mengunjungi rumah pekerja satu persatu karena para pekerja konveksi tersebut adalah penduduk sekitar tempat konveksi berada dan mayoritas adalah ibu rumah tangga.

Jurusan saya yang belum cukup dikenal membuat saya harus telaten menjelaskan apa jurusan saya, apa tujuan saya memberikan terapi, dan apa saja yang harus ibu-ibu tersebut lakukan atau tidak lakukan untuk mencegah nyeri leher bertambah parah. Nyeri leher memang hal yang sepele dan bagi ibu-ibu tangguh yang bekerja di konveksi serta di rumah, nyeri tersebut seringkali diabaikan. Ketika pengukuran nyeri awal sebelum pemberian terapi, pernah saya temui seorang ibu yang mengalami kekakuan leher dan otot di sekitar lehernya teraba sangat keras akibat spasme (kontraksi otot terus menerus) yang berkepanjangan. Beliau sama sekali tidak mengeluh dan tidak pernah sadar akan keadaan lehernya. Postur tubuh yang salah, nyeri yang diabaikan, dan ketidaktahuan masyarakat inilah yang berpotensi menyebabkan penyakit sepele dapat menjadi bom waktu karena apabila penyakit sepele tidak ditangani dan dibiarkan berlarut-larut dapat menjadi penyakit degeneratif yang perlu pengobatan jangka panjang. Tentu saja hal ini akan menyebabkan kerugian bagi pekerja dari sisi produktivitas maupun finansial.

Selain itu, seiring dengan proses pengambilan data yang saya lakukan, pekerja yang sebagian besar datang dari masyarakat menengah ke bawah menjadi lebih mawas diri terhadap kesehatan fisiknya. Banyak warga atau tetangga yang bukan subjek penelitian turut berkonsultasi tentang kesehatan. Warga mengeluh bahwa mereka sebenarnya sadar ada yang salah dengan tubuhnya namun tidak tahu harus berobat ke mana? ke dokter tulang, saraf, atau pengobatan alternatif saja cukup? Walau penelitian saya sebenarnya berkaitan dengan permasalahan nyeri, saya merasakan manfaat yang lebih saat saya bisa terjun langsung ke masyarakat. Jika pengambilan data dilakukan di rumah sakit, pasien yang kita temui sebagian besar tentu telah mempunyai pengetahuan tentang penyakitnya dan apa yang mereka harus lakukan untuk mengobatinya. Ketika kita turun langsung ke masyarakat, lapisan masyarakat yang kita edukasi akan lebih luas. Ada golongan masyarakat yang takut berobat ke dokter, ada golongan masyarakat yang tidak percaya dengan dunia kesehatan modern, hingga ke golongan manula yang hidup mandiri sehingga susah menjangkau fasilitas kesehatan terdekat.

Tantangan kedua adalah proses transfer ilmu dari saya (mahasiswa/peneliti) kepada pekerja konveksi (subjek penelitian). Menggunakan manusia sebagai subjek penelitian tentu memiliki bidang garap yang lebih kompleks terkait kondisi sosial, ekonomi, psikologi, hingga agama. Terkadang ada hari saat subjek penelitian terlihat begitu lelah setelah dikejar target jahitan dan sedikit ogah-ogahan menjalani terapi. Terdapat pula keraguan dari subjek tentang keberhasilan terapi karena lebih terbiasa minum ramuan X atau datang ke pengobatan tradisional Y. Dunia kesehatan Indonesia memang masih bersaing dengan pengobatan tradisional, dukun, hingga sangkal putung (tempat menyembuhkan segala penyakit, katanya).

Di luar itu semua, bagian paling menyenangkan dari dunia kesehatan adalah ketika pasien atau subjek penelitian dengan sumringah menyatakan lehernya sudah bisa ditekuk maksimal atau pusing-pusing serta rasa berat di bahunya menjadi berkurang. Akhirnya, skripsi saya selesai dan alhamdulillah secara statistik dinyatakan terdapat penurunan nyeri pada subjek penelitian saya sehingga dapat dikatakan terapi yang diberikan efektif. Proses mengerjakan skripsi ini tidak hanya masalah menyelesaikan hipotesa namun juga sedikit meredam krisis kepercayaan di benak saya. Mungkin nyeri selalu dipandang sebelah mata dan dianggap bisa sembuh sendiri. Mungkin berhasil menurunkan nyeri bukanlah inti permasalahan yang sebenarnya karena sungguh tubuh manusia lebih kompleks daripada kerumitan yang kita pelajari selama ini. Akan tetapi, semoga menurunkan nyeri dapat mencegah penyakit degeneratif dan menekan kemungkinan-kemungkinan progresivitas lainnya. Semoga minimal dengan terjun langsung di masyarakat, saya menuntaskan ketidaktahuan di kalangan masyarakat mengenai masalah kesehatan yang mereka hadapi. Sesungguhnya yang lebih bahaya daripada masalah kesehatan adalah ketidaktahuan akan eksistensi masalah itu sendiri.

Bagi saya pribadi, melalui penelitian ini saya seperti menemukan jawaban atas pertanyaan yang selama ini menggantung di benak. Penelitian sederhana dan masih banyak kekurangan ini pula yang menghantarkan saya mengenal dan terjun di dunia penelitian secara langsung. Alhamdulillah setelah beberapa bulan wisuda, bermodalkan research proposal yang saya susun berdasarkan penelitian skripsi dan bantuan seorang profesor dari Jepang, saya berhasil mendapatkan letter of acceptance conditional dari universitas idaman di Jepang. Beriringan dengan surat sakti tersebut, saya menerima kabar yang tak kalah luar biasa, yaitu saya menjadi salah satu penerima beasiswa LPDP untuk melanjutkan kuliah jenjang magister luar negeri dengan negara tujuan Jepang. Jepang adalah negara yang terkenal dengan program magister yang sebagian besar harus dilalui melalui research work atau orientasi perkuliahan di penelitian. Saya merasa Dia mengarahkan saya ke mimpi masa kecil saya, yaitu terjun di bidang penelitian atau di masa kecil saya menyebut pelakunya sebagai ilmuwan. Saya merasa Dia membiarkan skripsi menjadi batu loncatan untuk terjun ke dunia penelitian yang lebih jauh. Maka dari itu, semoga kalian tidak menggarap skripsi untuk sekadar lulus ya! Percayalah, skripsi bisa menjadi lebih bermakna jika kita (si penulis dan peneliti) menakdirkannya untuk seperti itu.

Tak jarang kita temui mahasiswa yang fobia akan skripsi. Skripsi memang tak selalu mudah dan mulus namun kelulusan bukanlah hal mustahil. Kata dosen saya, skripsi yang baik adalah skripsi yang dapat diselesaikan. Semoga skripsi tak sekadar menjawab hipotesis penelitian namun juga menjadi jawaban akan jati diri kita di bangku kuliah.

Salam dari lulusan Fisioterapi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Yuk Gabung di Komunitas Warung Sains Teknologi!

Ingin terus meningkatkan wawasan Anda terkait perkembangan dunia Sains dan Teknologi? Gabung dengan saluran WhatsApp Warung Sains Teknologi!

Yuk Gabung!

Di saluran tersebut, Anda akan mendapatkan update terkini Sains dan Teknologi, webinar bermanfaat terkait Sains dan Teknologi, dan berbagai informasi menarik lainnya.