Menyelamatkan ‘Surga Kecil’ Raja Ampat: Perspektif Ilmiah atas Hilirisasi Nikel

Peralihan global menuju energi rendah karbon menjadikan baterai kendaraan listrik dan teknologi penyimpanan energi sebagai elemen kunci dalam upaya dekarbonisasi. […]

Peralihan global menuju energi rendah karbon menjadikan baterai kendaraan listrik dan teknologi penyimpanan energi sebagai elemen kunci dalam upaya dekarbonisasi. Hal ini menyebabkan lonjakan permintaan nikel, yang merupakan bahan utama dalam baterai lithium-ion untuk kendaraan listrik dan penyimpanan energi terbarukan. Menurut International Energy Agency (2021), kebutuhan nikel diperkirakan meningkat drastis dari 80.700 ton (2020) menjadi 985.000 ton per tahun pada 2040. Indonesia, yang memiliki sekitar 22% cadangan nikel dunia (USGS, 2023),merespons dengan melarang ekspor bijih mentah dan membangun puluhan smelter untuk memperkuat industri dalam negeri dan mendukung dekarbonisasi (ESDM, 2020). Namun, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan, khususnya di wilayah bernilai konservasi tinggi seperti Raja Ampat.

Raja Ampat sebagai Kawasan Konservasi

Raja Ampat, yang dijuluki Emerald Karst of the Equator, ditetapkan sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark sejak 2023 dan mencakup lebih dari 3,66 juta hektar kawasan konservasi (UNESCO, 2023). Kawasan ini merupakan habitat penting bagi 75% spesies karang dunia, lebih dari 1.500 jenis ikan, serta ekosistem mangrove yang berperan dalam penyerapan karbon dan filtrasi logam berat. Meskipun wilayah ini tergolong kawasan konservasi yang seharusnya bebas dari aktivitas ekstraktif (Media Indonesia, 2020), proyek pertambangan dan hilirisasi nikel tetap dijalankan dengan dukungan pemerintah melalui narasi “nilai tambah nasional” dan “industri baterai kendaraan listrik”. Akibatnya, terjadi deforestasi lebih dari 494 hektar, kerusakan ekosistem laut dan terumbu karang, serta pencemaran dari limbah logam beracun seperti Ni²⁺, Fe3+, Pb2+, Cr⁶⁺, dan Co²⁺. Selain merusak lingkungan, sebagian besar izin tambang juga melanggar regulasi konservasi pulau kecil dan putusan Mahkamah Konstitusi yang belum dijalankan secara konsisten.

Metalurgi pada Nikel Laterit

Nikel (Ni) merupakan logam transisi yang penting dalam sektor industri modern, terutama sebagai bahan utama dalam pembuatan baterai lithium-ion, stainless steel dan paduan logam. Nikel di Indonesia, sebagian besar ditemukan dalam bentuk bijih laterit, yang terbentuk melalui proses laterisasi pada sabuk ofiolit. Proses ini terjadi di wilayah tropis lembab, seperti Sulawesi Tenggara, Maluku, Halmahera, hingga Papua Barat (termasuk Raja Ampat), di mana kerak samudera tua yang kaya mineral terangkat ke permukaan akibat tumbukan lempeng tektonik. Nikel dalam bijih laterit tidak ditemukan dalam bentuk bebas, melainkan terikat sebagai senyawa kompleks silikat seperti [Ni,Mg]₃Si4O10(OH)8, bersama logam lain seperti kobalt (Co) dan besi (Fe).

Dalam upaya menuju transisi energi bersih, nikel menjadi komponen penting dalam pengembangan penyimpanan energi terbarukan. Indonesia dengan pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, dituntut untuk mempercepat proses hilirisasi guna meningkatkan nilai tambah industri domestik. Namun, di balik peluang ekonomi yang ditawarkan, proses ekstraksi nikel terutama dari bijih laterit menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan. Hal ini disebabkan kandungan nikel dalam bijih laterit tergolong rendah (≤ 2%), dibutuhkan pengolahan dalam jumlah besar, yang berdampak pada tingginya konsumsi energi dan produksi limbah. Apabila limbah tambang nikel tidak dikelola secara tepat, maka dapat mencemari perairan dan merusak ekosistem pesisir. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, terutama di kawasan sensitif seperti Raja Ampat, yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia dan telah diakui oleh UNESCO.

Ekstraksi Logam Nikel dan Hilirisasinya

Nikel dalam batuan laterit diambil melalui proses ekstraksi. Ekstraksi adalah proses pengambilan logam dari bijihnya yang melibatkan beberapa tahapan seperti konsentrasi bijih, reduksi dan pemurnian. Berbagai metode ekstraksi nikel telah dikembangkan. Setiap metode memiliki karakterisasi reaksi kimia, kebutuhan energi serta dampak lingkungan yang berbeda. Adapun metode ekstraksi yang di maksud yaitu; pirometalurgi, hidrometalurgi dan biometalurgi.

  • Pirometalurgi (RKEF – Rotary Kiln Electric Furnace)

Pirometalurgi merupakan metode ekstraksi logam dari bijih menggunakan suhu tinggi, salah satunya RKEF atau dikenal sebagai tanur putar. RKEF adalah teknologi peleburan yang digunakan untuk memproses bijih laterit menjadi besi kasar nikel.  Berikut alur proses utama dalam teknologi RKEF:

TahapanPenjelasan
Pengeringan dan PemanasanTahapan ini adalah proses awal pemisahan nikel (Ni, R2) dan besi (Fe, R1) dari batuan laterit, melalui rotary klin hingga suhu 800 oC, melalui reaksi berikut;
 
 
Reduksi AwalProduk dari R1 dan R2 kemudian direduksi menggunakan karbon, dalam hal ini batubara (R5). Reaksi yang terjadi yaitu;
 
 
 
Dalam proses reduksi ini melibatkan (R5) dan menghasilkan (R3 dan R4) gas rumah kaca CO dan CO2. Selain itu proses reduksi ini membentuk gas lainnya seperti;
 
 
PeleburanLogam Ni dan FeO yang dihasilkan dari proses reduksi, dikumpulkan sebagai produk utama. Kemudian dipisahkan dari slag melalui electric furnace (1300 – 1500 oC). Slag berisi silikat, FeO, Cr dan Al2O3 yang dibuang sebagai limbah.

Metode RKEF ini paling banyak dilakukan di Indonesia. Metode ini paling sesuai untuk jenis nikel dari bijih laterit. Selain itu, biaya prosesnya relatif rendah dibanding alternatif lainnya. Namun, memiliki kelemahan yaitu:

  1. Konsumsi energi sangat tinggi, karena membutuhkan suhu > 1300 oC
  2. Menghasilkan emisi gas rumah kaca (seperti CO, CO2, SO2, NOx)
  3. Produksi limbah slag besar yang berpotensi mencemari tanah dan air

Kelemahan tersebut dapat menjadi risiko karena menyumbang perubahan iklim global. Hal inilah yang menjadi risiko besar dalam isu lingkungan Raja Ampat. Jika ditinjau dari risiko tersebut, tentunya tidak sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

  • Hidrometalurgi dan Biometalurgi

Teknologi ekstraksi nikel berbasis hidrometalurgi dan biometalurgi kini menjadi fokus utama karena keunggulannya dalam hal efisiensi energi, pengurangan limbah padat, serta kemampuan mengekstraksi nikel dari bijih berkadar rendah secara selektif. Dalam hidrometalurgi, nikel diekstraksi melalui proses pelindian (leaching) menggunakan asam kuat seperti H2SO4 atau HCl. Reaksi utamanya yaitu:

Ion Ni2+ yang terbentuk direaksikan dengan amonia sehingga membentuk kompleks koordinasi [Ni(NH3)6]2+. Metode ini dapat menghindari pembentuk limbah slag, tetapi menghasilkan limbah cair yang bersifat asam. Apabila tidak ditangani dengan baik berpotensi mencemari lingkungan.

Sementara itu, dalam bidang biometalurgi ekstraksi nikel dilakukan secara biologis melalui teknik bioleaching. Teknik ini memanfaatkan mikroorganisme kemosintetik seperti Acidithiobacillus ferrooxidans. Mikroba ini mengoksidasi ion Fe2+ menjadi Fe3+, yang kemudian berfungsi sebagai agen pelindian untuk melarutkan mineral nikel. Melalui persamaan reaksi;

Meskipun metode bioleaching lebih ramah lingkungan dan beroperasi pada suhu rendah, tantangannya terletak pada pengendalian pH dan kandungan logam limbah cair.

Dampak Nyata Hilirisasi pada Lingkungan ‘Raja Ampat’

Dari sudut organologam, limbah nikel yang masuk ke perairan Raja Ampat terutama hadir sebagai ion Ni2+ dan senyawa kompleks organik. Di lingkungan laut tropis, hingga 60% Ni terikat pada ligan organik misalnya humat atau fulvat yang terbentuk dari degradasi bahan organik dan senyawa silikat. Meskipun kompleksasi ini menurunkan fraksi Ni2+ bebas, ligan organik juga meningkatkan mobilitas logam, memfasilitasi transportasi dan akumulasi di sedimen mangrove atau terumbu karang. Di sana, bioleaching alami oleh mikroba maupun fluktuasi pH lokal dapat melepaskan kembali Ni2+, yang kemudian terakumulasi dalam jaringan invertebrata dan ikan, menganggu enzim seluler, serta menghambat proses fotosintesis alga dan zooplangkton yang vital bagi kesehatan terumbu.

Dari perspektif lingkungan, ekspansi tambang nikel di Raja Ampat telah merusak > 494 Ha hutan tropis dan memicu sedimen berat masuk ke perairan pesisir. Sedimentasi ini meningkatkan kekeruhan air, sehingga menyumbat ostia karang dan menghambat masuknya cahaya lebih dari 60% sehingga menurunkan laju fotosintesis hingga 40% dan memicu pemutihan massal. Akibatnya, habitat penetasan ikan dan lamun tergerus, mengancam stok perikanan lokal dan meruntuhkan keseimbangan ekosistem yang selama ini mendukung ekonomi masyarakat adat Raja Ampat.

Dalam kerangka perizinan lingkungan di Indonesia, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) diatur sebagai instrumen utama untuk mengevaluasi dan mengendalikan konsekuensi usaha atau kegiatan yang “berdampak penting” terhadap lingkungan hidup. Berdasarkan PP No 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, AMDAL didefinisikan sebagai kajian mendalam atas potensi perubahan fisik, biologi, kimia, sosial dan ekonomi yang timbul sebelum suatu kegiatan dilaksanakan (Hardono, Nasrullah and Hidayat, 2021). Dokumen AMDAL terdiri atas tiga komponen utama, yaitu: 1) Kerangka Acuan (KA), 2) Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) dan 3) Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL). Tiga komponen ini yang merinci strategi mitigasi dan mekanisme pemantauan dampak aktivitas pertambangan terhadap lingkungan. Proses penyusunannya wajib melibatkan pemrakarsa, pemerintah dan masyarakat terdampak melalui konsultasi publik. Keputusan yang dihasilkan berupa penerbitan Izin Lingkungan yang mencerminkan keseimbangan antara kelayakan ekonomi, sosial dan keberlanjutan ekologi.

Dalam kasus hilirasi nikel di kawasan Raja Ampat, AMDAL memegang peranan krusial karena aktivitas smelter dan infrastruktur pendukungnya berpotensi merusak ekosistem terumbu karang, hutan mangrove dan pasokan air bersih yang dijaga ketat oleh status UNESCO Global Geopark. Namun, laporan investigasi menunjukkan bahwa penerapan AMDAL dan UKL-UPL pada proyek pertambangan nikel di Raja Ampat belum konsisten, bahkan ada izin yang diberikan tanpa dokumen AMDAL lengkap atau tanpa pemantauan limbah yang ketat. Kondisi ini memunculkan risiko defoestasi, sedimentasi dan kontaminasi logam berat hingga lintas batas wilayah laut, sehingga menuntut perbaikan tata kelola AMDAL yang lebih akuntabel dan transparan dalam setiap tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan hilirisasi nikel.

Upaya ‘Green Chemistry’ untuk Menyelamatkan Surga Kecil bernama Raja Ampat

Dalam menghadapi tekanan industri hilirisasi nikel yang berpotensi merusak ekosistem sensitif seperti Raja Ampat, pendekatan kimia hijau (green chemistry) menawarkan solusi ilmiah yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Kimia hijau menekankan prinsip pencegahan pencemaran sejak awal proses, dengan cara mengurangi penggunaan bahan beracun, menekan limbah, dan meningkatkan efisiensi energi. Hal ini sangat relevan bagi Indonesia, yang ingin mengembangkan industri nikel tanpa mengorbankan keutuhan lingkungan hidup.

Implementasi nyata dari kimia hijau dalam industri nikel adalah penerapan teknologi ekstraksi ramah lingkungan, seperti:

  • Reduktor berbasis biomassa

Dalam proses RKEF, reduktor adalah agen pereduksi yang berfungsi mengubah nikel oksida menjadi logam nikel dalam bijih laterit. Umumnya reduktor yang digunakan adalah batubara atau kokas. Namun, penggunaan keduanya menghasilkan emisi CO2 berlebih serta berkontribusi pada pemanasan global. Penggunaan biomassa seperti cangkang kelapa sawit, serbuk gergaji, serat tebu atau sekam padi dapat digunakan sebagai pengganti batubara karena mengandung karbon reaktif yang dapat berfungsi sebagai reduktor. Biomassa tersebut dikarbonisasi melalui proses pirolisis untuk menghasilkan arang aktif atau biochar, yang kemudian digunakan dalam tanur putar RKEF bersama dengan bijih laterit. Adapun keunggulan biomassa sebagai reduktor yaitu:

NoAspekManfaat
1Ramah LingkunganReaksi reduksi melepaskan CO2 (karbon netral) yang lebih rendah sekitar 30 – 40% dibanding batubaraMenghasilkan abu slag yang lebih bersih dan mudah diproses ulang
2TerbarukanSumber biomassa dapat diperoleh dari limbah pertanian atau kehutanan

Penerapan reduktor berbasis biomassa sangat relevan untuk wilayah pertambangan nikel sensitif di Raja Ampat. Tentunya dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dari penggunaan batubara, mendukung ekonomi sirkular dan pemanfaatan limbah biomassa lokal.

  • Integrasi sumber energi terbarukan (solar dan angin)

Industri pengolahan nikel khususnya melalui metode pirometalurgi sangat bergantung pada energi fosil dengan konsumsi listrik dan panas yang tinggi, sehingga berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon. Dalam mendukung transisi menuju industri rendah emisi, integrasi energi terbarukan seperti tenaga surya (solar PV) dan angin (wind power) menjadi solusi strategis. Energi terbarukan dapat digunakan untuk menyuplai listrik langsung ke tanur listrik, sistem pemanas awal bijih (pre-heating), atau dikombinasikan dalam sistem hybrid bersama grid atau genset diesel. Selain mengurangi jejak karbon, penggunaan sumber energi bersih ini juga cocok untuk wilayah terpencil seperti Raja Ampat yang memiliki potensi radiasi matahari dan angin yang tinggi.

Penerapan energi terbarukan dalam proses hilirisasi nikel sejalan dengan prinsip kimia hijau, karena membantu menekan konsumsi batu bara, mengurangi limbah, dan meningkatkan efisiensi energi secara keseluruhan. Studi terbaru menunjukkan bahwa integrasi PLTS dalam RKEF dapat menurunkan konsumsi energi berbasis batu bara hingga 80%.  jika dioptimalkan untuk proses pengeringan dan peleburan. Proyek pilot di Tiongkok dan Finlandia telah menggunakan solar-assisted smelting dengan hasil penghematan emisi > 40%.

  • Sherritt-Gordon Process

Dalam metode hidrometalurgi, nikel diekstrak menggunakan pelarut kimia yang dapat dikontrol dan diregenerasi, seperti proses Sherritt-Gordon. Teknik ekstraksi ini menggunakan pelarut kompleksasi berbasis amonia (NH3) dan amonia karbonat ((NH4)2CO3), yang mampu melarutkan nikel secara selektif tanpa melarutkan logam pengotor lainnya, seperti Fe3+ dan Al3+. Reaksi yang terjadi yaitu;

Sistem amonia

Dalam proses ini, ion logam seperti Ni²⁺ membentuk kompleks larut seperti [Ni(NH3)6]2+ yang bersifat stabil dalam media basa ringan, sehingga mengurangi kebutuhan terhadap asam kuat seperti H₂SO₄ yang berisiko menghasilkan limbah asam tinggi.

Sistem amonia karbonat

Melalui kedua sistem ini, memungkinkan adanya daur ulang pelarut dan menghasilkan limbah yang lebih bersih.

Saat ini kombinasi antara hidrometalurgi Shrerritt dengan teknik biobleaching, menjadi solusi unggul dalam pengolahan nikel yang efisien dan berkelanjutan.

Dengan mengadopsi teknologi berbasis kimia hijau, Indonesia memiliki peluang untuk membangun industri nikel yang tidak hanya unggul secara ekonomi, tetapi juga sejalan dengan prinsip keberlanjutan ekologis dan nilai-nilai keadilan sosial, sebagaimana tercermin dalam ekonomi syariah. Pendekatan ini menjadikan hilirisasi nikel bukan sekadar proyek industri, tetapi bagian dari upaya kolektif untuk menjaga keberlangsungan alam dan generasi mendatang.

Artikel ini ditulis bersama oleh Rumpun Keilmuan Kimia Anorganik UMRI
Meidita Kemala Sari, Daviella David dan Nadila Rahmadini

Daftar Pustaka

Acar, İ. et al. (2025) ‘Sustainable Nickel Extraction from Low-Grade Ores via Trametes versicolor: A Bioleaching Case Study on Olivine and Serpentine’, Journal of Sustainable Metallurgy [Preprint].

Amalia Wijaya, A. et al. (2025) ‘PEMBERIAN DAN PENCABUTAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN NIKEL DI RAJA AMPAT DALAM PERSPEKTIF NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI’, JMA), 3(6), pp. 3031–5220.

Auriga Nusantara (2025) ‘Experts and advocates warn of nickel mining’s risk to precious marine region of Indonesia’, https://apnews.com/article/nickel-mining-coral-reefs-indonesia-evs-raja-ampat-c4dfe12a5bd97eac2f9e3a19f17b5b3c, 31 January.

Boroumand, Z. et al. (2025) ‘Enhanced oxidative bioleaching for nickel and metal recovery from arsenic ores moves toward efficient and sustainable extraction’, Chemosphere, 370.

Budiawan Sidik A, N.I. (2025) ‘Kompas (Raja Ampat Nickel Controversy, Reflection of Poor Mining Concession Governance)’, https://www.kompas.id/artikel/en-polemik-nikel-raja-ampat-cerminan-buruknya-tata-kelola-konsesi-pertambangan-2?utm_source, 11 June.

Erdiwansyah et al. (2021) ‘A critical review of the integration of renewable energy sources with various technologies’, Protection and Control of Modern Power Systems. Springer.

Gerold, E. et al. (2024) ‘Bio-metallurgical recovery of lithium, cobalt, and nickel from spent NMC lithium ion batteries: A comparative analysis of organic acid systems’, Journal of Hazardous Materials Advances, 13.

Hardono, B.S., Nasrullah, N. and Hidayat, B. (2021) ‘Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Ketidakpatuhan Amdal’, Media of Law and Sharia, 2(1).

Harvey, J.P. et al. (2022) ‘Greener reactants, renewable energies and environmental impact mitigation strategies in pyrometallurgical processes: A review’, MRS Energy and Sustainability, 9(2), pp. 212–247.

International Energy Agency (2021) The Role of Critical World Energy Outlook Special Report Minerals in Clean Energy Transitions. IEA Publications.

Kementerian ESDM (2020) ‘Hilirisasi Nikel Ciptakan Nilai Tambah dan Daya Tahan Ekonomi’, https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/hilirisasi-nikel-ciptakan-nilai-tambah-dan-daya-tahan-ekonomi, 14 October.

Liu, S. et al. (2021) ‘A Robust Recovery of Ni From Laterite Ore Promoted by Sodium Thiosulfate Through Hydrogen-Thermal Reduction’, Frontiers in Chemistry, 9.

Media Indonesia (2020) ‘Pacu Hilirisasi Nikel, Pemerintah Kebut Proyek Strategis Nasional’, https://mediaindonesia.com/ekonomi/362613/pacu-hilirisasi-nikel-pemerintah-kebut-proyek-strategis-nasional?utm, 20 November.

UNESCO (2023) ‘Raja Ampat UNESCO Global Geopark’, https://www.unesco.org/en/iggp/raja-ampat-unesco-global-geopark?utm_source. USGS (2023) ‘Mineral Commodity Summaries : Nickel’, United States Geological Survey. Edited by Mineral Commodity Summaries, January.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top