Proses pengoperasian yang mudah dan sensitivitas instrumen analisis yang baik merupakan hal yang diinginkan oleh mereka yang bekerja di dunia industri maupun instansi pendidikan dan lembaga penelitian dalam melakukan proses analisis laboratorium. Salah satu yang sering menjadi objek pada proses analisis adalah logam berat. Secara sederhana logam berat didefinisikan sebagai logam yang memiliki massa jenis lebih dari 5 g/mL [1].
Secara luas beberapa logam berat telah digunakan sebagai katalis untuk mempercepat reaksi kimia dan dalam bidang kesehatan telah memberikan peran yang cukup besar seperti penggunaan silver nanopartikel sebagai anti bakteri. Namun disisi lain logam berat juga dapat memberikan dampak negatif bagi manusia dan lingkungannya ketika kadarnya melebihi ambang batas.
Berangkat dari permasalahan tersebut maka perlu dilakukan analisis kontaminasi logam berat pada air, makanan dan benda-benda lainnya untuk menjaga kesehatan manusia. Beberapa metode yang ssering digunakan adalah analisis secara spektrofotometri menggunakan instrumen Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS), Inductively Coupled Plasma Optical Emission Spectrophotometry (ICP-OES) dan Inductively Coupled Plasma Mass Spectra (ICP-MS) [2].
Instrumen-instrumen tersebut sering digunakan karena menjadikan proses analisis menjadi lebih cepat dan sederhana. Namun disisi lain kelemahan dari instrumen tersebut adalah ukurannya yang cukup besar, komponen instrumen yang kompleks dan biaya analisis yang cukup mahal. Pengembangan metode analisis logam berat dengan instrumen yang lebih sederhana dapat dilakukan dengan pengembangan biosensor.
Pengembangan sebelumnya telah dilakukan oleh peneliti dari Lund University (Swedia) dan University of Birmingham (Inggris) yang membuat biosensor untuk mendeteksi logam berat. Beberapa logam berat yang pernah diteliti diantaranya kadmium (Cd2+), merkuri (Hg2+), timbal (Pb2+) dan lain-lain. Biosensor yang dikembangkan menggunakan protein yang diimobilisasi bersama senyawa organik dari kelompok tiol pada permukaan elektroda emas sebagai elektroda kerja pada sistem analisis secara potensiometri. Biosensor berbasis protein untuk mendeteksi logam berat didasarkan pada ikatan kimia yang kuat antara ion logam dan protein baik secara hidrofobik, van der waals, hidrogen, koordinasi logam dan efek elektrostatik/magnetik[1].
Pengembangan biosensor untuk mendeteksi dan menentukan kadar logam berat pada sampel terus dilakukan. Pada bulan Januari 2018 para peneliti dari McGill University (Kanada) telah melaporkan sebuah penemuan terbaru terkait biosensor berbasis protein yang berasal dari Tobacco Mosaic Virus (TMV). Virus tersebut sering menyerang tanaman seperti tembakau yang ditandai dengan perubahan warna daun, ukuran yang mengecil dan distorsi jaringan. TMV merupakan salah satu dari sekian banyak virus perusak tanaman yang dapat diekstraksi dengan mudah dari jaringan tanaman dan dikristalisasi [3].

Para peneliti memanfaatkan mutasi sistein pada TMV sebagai sinyal transduser yang mampu mendeteksi secara selektif dan menentukan kadar ion logam berat yang didasarkan pada pengukuran intensitas fluoresensi tritofan pada TMV sebagai fungsi konsentrasi. Pemilihan mutasi sistein (S123 C) sebagai sinyal transuder karena lebih mudah diakses untuk meningkatkan pengikatan ion logam yang dipilih. Protein pada TMV dapat berada dalam bentuk yang berbeda dengan pengaruh pH, suhu, kekuatan dan konsentrasi ion. Percobaan pada penelitian ini dilakukan pada pH 8,5, 14 μM, temperatur ruang dan konsentrasi ion 10 mM. Pada kondidi tersebut protein TMV berada dalam bentuk monomer atau oligomer kecil.

Pada penelitian ini digunakan logam divalen (bermuatan 2+) dalam hal ini kadmium (Cd2+), timbal (Pb2+), zink (Zn2+) dan nikel (Ni2+) yang berasal dari larutan Cd(NO3)2, Pb(NO3)2, Zn(NO3)2 dan Ni(NO3)2. Ion-ion logam tersebut dipilih karena memiliki afinitas (keterikatan) yang tinggi terhadap gugus senyawa tiol sistein TMV. Larutan tersebut digunakan untuk menitrasi protein atau sub unit TMV tersuspensi dalam larutan penyangga (buffer phosphate) untuk membentuk kompleks protein-logam. Konsentrasi ion-ion yang bertindak sebagai penitran tersebut berada pada kisaran 0 μM hingga 450 μM. Kompleks yang terbentuk selanjutnya dianalisis secara spektrofometri. Untuk panjang gelombang eksitasi 285 nm, TMV dalam kondisi depolimerisasi menunjukkan emisi maksimum pada 332 nm berasal dari triptofan bebas yang mengalami pergeseran dari 355 nm.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang hanya menggunakan protein asli, pada penelitian ini selain digunakan protein asli juga digunakan protein yang telah terdenaturasi (protein terurai) baik secara kimia maupun secara fisika (pemanasan). Menurut laporan hasil penelitian, yang didasarkan pada konstanta asosiasi (kecenderungan terbentuk kompleks protein-logam) ion kadmium (Cd2+) dan timbal (Pb2+) lebih kuat daripada ion seng dan nikel baik menggunakan protein TMV asli maupun yang terdenaturasi.
Konstanta asosiasi (Tabel 1) diperoleh dengan membuat plot Stem-Volmer dengan intensitas fluoresensi sebagai fungsi konsentrasi ion (Gambar 3).
Gambar 3. A) Plot Stern–Volmer untuk penentuan konstanta asosiasi pada ion Cd2+, Pb2+, Zn2+ dan Ni2+ untuk beberapa bentuk protein TMV. B) Plot log (I0 / I − 1) versus log [M] ketika TMV dititrasi dengan empat bentuk garam yang berbeda (Cd(NO3)2, Pb(NO3)2, Zn(NO3)2 dan Ni(NO3)2.
Tabel 1. Konstanta asosiasi Stern–Volmer (Ks-v) protein-logam dengan tiga jenis perlakuan (asli, denaturasi dengan panas dan denaturasi dengan Triton X-100.
“Protein dari TMV yang mudah diekspresikan oleh bakteri E. coli atau terdapat pada tanaman dari famili nightshade, membuatnya menjadi sinyal transduser yang murah dan mudah tersedia untuk pengikatan logam berat. Selain itu, peralatan operasi yang sederhana menjadikannya potensial untuk digunakan dalam berbagai analisis lingkungan.”Ungkap para peneliti.
Pengembangan biosensor berbasis protein dari TMV ini dapat terus dilakukan. Beberapa kelebihan sebagaimana yang telah diungkapkan para peneliti yaitu proses analisisnya lebih cepat, mampu mendeteksi dengan akurat dan dapat diintegrasikan secara portabel. Selain itu pengembangan juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan protein virus maupun logam dari jenis yang lainnya.
Referensi
[1] Duffus, J., H., 2002, Heavy Metals, A Meaningless Term?, Pure Appl. Chem, 74(5), 797
[2] Bayram, S., S., Green, P., Blum, A., S., 2018, Sensing of Heavy Metal Ions by Intrinsic TMV Coat Protein Fluorescence, Spectrochimica Acta Part A: Molecular and Biomolecul Spectroscopy, 195, 21-24
[3] Kelman, A., Pelczar, M., J., Pelczar, R., M., Shurtleff, M., C., Plant Desease, https://www.britannica.com/science/plant-disease/Introduction, diakses pada 15 Mei 2018 pukul 11.41 WIB.