Merdeka dari polusi udara tampaknya masih diserukan seluruh masyarakat Indonesia. Kondisi udara yang semakin tercemar terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia dan diperparah dengan fenomena El Nino. Jika Jakarta dan sekitarnya mengalami polusi udara akibat pembakaran PLTU dan bahan bakar kendaraan bermotor yang berlebih. Sumatera, Kalimantan, dan beberapa wilayah di Papua justru mengalami polusi udara akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terutama lahan gambut. Tercatat dari Januari-Agustus 2023 melalui PUSDALOPS BNPB telah terjadi 446 kasus karhutla, dengan wilayah karhutla terbesar yaitu Kalimantan Barat seluas 12.537,57 ha dan Riau seluas 990,59 ha, dipastikan angka ini akan terus meningkat.
Dampak dari karhutla nyata adanya. Tahun 1997 terjadi karhutla di Riau dan Kalimantan. Dampak yang terjadi adalah kabut asap yang menutupi langit seluruh wilayah Asia Tenggara dan sebagian Australia hingga menyebabkan kecelakaan pesawat Garuda jenis Airbus 300 GA 152 jatuh di Deli Serdang, Sumatera Utara. Tahun 2015 kembali terjadi karhutla di wilayah Sumatera dan Kalimantan, diperkirakan sebesar 1.6 juta ton gas CO2 dilepaskan di langit Indonesia. Wabah kabut asap kembali terjadi di tahun 2019, dengan pusat karhutla di Sumatera dan Kalimantan. Dimana lebih dari 1.64 juta ha lahan gambut dan hutan yang hangus terbakar dan diperkirakan 624 juta ton gas CO2 dan gas rumah kaca lainnya terlepas ke langit Indonesia. Tahun ini, bukan tidak mungkin akan terjadi kembali. Ancaman karhutla berpotensi meningkat karena kemarau panjang yang disebabkan fenomena El Nino.
Kabut asap merupakan bentuk dari polusi udara yang mengandung berbagai gas berbahaya seperti; uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), sulfur oksida (SO2), senyawa organik volatil, dan ozon (O3). Namun, tidak hanya gas saja, kabut asap juga mengandung partikel berbahaya sisa pembakaran materi organik seperti debu, partikel karbon hitam, dan kotoran lainnya yang berukuran kecil. Gas CO2 paling banyak ditemukan dalam kabut asap, karena terjadi pembakaran sempurna yang cukup lama pada permukaan lahan gambut. Secara tidak langsung karhutla menyumbang perubahan iklim yang cukup besar.
Jika kita (manusia) menyerukan merdeka dari polusi udara, maka alam akan berbunyi merdeka dari manusia yang serakah!
Lahan Gambut dan Karhutla
Lahan gambut terbentuk dari bahan-bahan organik seperti akar pohon, ranting, daun, dan kayu yang tidak membusuk secara sempurna sehingga menumpuk dan membuat lapisan. Hal ini membuat gambut menyimpan karbon dengan sangat tinggi, dan tingkat keasaman gambut menjadi sangat tinggi (pH<4). Artinya lahan gambut memiliki tingkat kesuburan yang sangat rendah, karena unsur hara yang sangat sedikit sehingga hanya beberapa jenis tumbuhan tertentu yang dapat hidup. Lahan gambut tentunya memiliki peran penting dalam kehidupan seperti; mencegah perubahan iklim, mencegah banjir dan kekeringan, menunjang perekonomian masyarakat sekitar, dan habitat bagi keanekaragaman hayati.
Lahan gambut diketahui merupakan penyimpan karbon (carbon storage) yang paling tinggi dibandingkan jenis lahan dan vegetasi lainnya. Indonesia memiliki luas lahan gambut mencapai 13 juta ha dan diperkirakan dapat menyimpan 57 gigaton karbon. Cadangan karbon yang tersimpan di dalam tanah gambut dapat terlepas ke udara, jika lahan gambut mengalami kekeringan atau dialihfungsikan. Pengalihanfungsi lahan gambut menjadi area perkebunan dan industri masih terus terjadi hingga saat ini. Alih fungsi lahan gambut dilakukan dengan metode pengeringan, pembakaran (paling murah) dan penebangan pohon. Diperkirakan saat lahan gambut dialihfungsikan menjadi perkebunan akan melepaskan 427 ton karbon/ha.
Karhutla gambut yang terjadi umumnya disebabkan karena persiapan pembukaan lahan oleh perusahaan maupun masyarakat. Lahan gambut yang telah mengalami pengalihfungsian akan mengalami penyusutan akibat berkurangnya kandungan air pada tanah. Akibatnya permukaan lahan gambut kekurangan tumbuhan dan kehidupan, sehingga permukaannya menjadi kering. Kondisi permukaan lahan gambut yang kering ini akan membuatnya rawan terbakar. Selain itu, tanaman dan semak belukar kering juga dapat menjadi bahan bakar api yang sangat mudah terbakar, bahkan dengan sumber api yang kecil sekalipun.
Kebakaran pada lahan gambut didominasi dengan pembakaran tanpa api yang berlangsung lama, bahkan sampai berbulan-bulan. Api juga menjalar ke lapisan dalam gambut yang berisi banyak bahan organik seperti daun, cabang, batang pohon, yang menjadi bahan bakar untuk api tetap dapat membara di bawah permukaan gambut, meskipun api di permukaan gambut terlihat padam. Hal ini disebabkan karena karbon yang tersimpan pada lapisan dalam gambut ikut terbakar.
Karhutla Gambut Mempercepat Laju Pemanasan Global
Saat lahan gambut terbakar, maka akan menghasilkan kabut asap yang mengandung gas rumah kaca. Kabut asap yang terbentuk akibat adanya uap air (H2O) mengikat partikel karbon hitam dan debu, sehingga langit tampak berwarna abu-abu samar. Selain itu terdapat gas berbahaya seperti CO2, CO, dan CH4. Metana atau CH4 merupakan jenis gas rumah kaca yang 21 x lebih berbahaya dibandingkan CO2, karena kemampuan menahan panas yang lebih tinggi. Tidak hanya lebih berbahaya, metana yang terlepas akibat dari kebakaran lahan gambut jumlahnya bisa mencapai hingga 10 x lipat lebih banyak daripada kebakaran di jenis lahan lain.
Gas CO2 sejatinya akan mengalami daur karbon di alam. Namun, karena jumlahnya terus bertambah dan carbon storage yang juga terus-menerus habis, maka CO2 akan berlebih dan terperangkap di udara. Hal ini juga mendukung kenaikan suhu bumi, serta bila terkena air hujan akan memunculkan peristiwa hujan asam. Gas rumah kaca yang dilepaskan ke udara dapat menahan panas dari matahari sehingga meningkatkan suhu bumi. Proses yang dikenal sebagai efek rumah kaca ini dapat mempercepat laju perubahan iklim.
Fenomena El Nino yang Tidak Bisa Disalahkan!
Polusi udara yang terjadi sekarang ini dikatakan dapat diperparah oleh fenomena El Nino. El Nino adalah fenomena pemanasan suhu muka laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Pemanasan SML ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Singkatnya, El Nino dapat memicu terjadinya kekeringan bagi wilayah Indonesia.
Jika dihubungkan dengan wabah kabut asap di Indonesia, fenomena El Nino ini tidak dapat disalahkan. Fenomena El Nino bersifat regular dan pasti terjadi dalam jangka waktu tertentu. Namun, fenomena El Nino dapat meningkatkan kondisi suhu permukaan lahan gambut. Ditambah, kondisi lahan gambut di Indonesia yang telah kering sehingga semakin mungkin untuk terbakar habis tanpa sumber api.
Dampak Wabah Kabut Asap bagi Manusia
Sejauh ini (Januari-Agustus 2023) wabah kabut asap sudah mulai terlihat, namun masih tergolong tipis. Sejak Maret 2023 kabut asap tipis sudah terlihat di Dumai, Riau. Agustus 2023, kabut asap sudah terlihat di langit Kalimantan Barat. Meskipun tipis, tapi sudah dikategorikan parah jika dilihat dari jumlah kasus yang tercatat oleh PUSDALOPS BNPB. Dampak nyata yang dirasakan manusia dari kabut asap adalah masalah kesehatan, yaitu infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data Informasi dan Humas BNPB melalui laporan Kemenkes, dampak kabut asap akibat karhutla pada tahun 1997 mengakibatkan 20 juta orang mengalami ISPA. Tahun 2015, tercatat ada sekitar 500 ribu orang mengalami ISPA. Sedangkan tahun 2019 terdapat 919.516 orang yang mengalami ISPA akibat karhutla, dengan pasien terbanyak diwilayah Riau yaitu 275.793 orang.
Menurut penuturan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pasien ISPA di Indonesia sebelum Covid-19, mencapai 50 ribu pasien. Sekarang, akibat polusi udara jumlah pasien ISPA meningkat hingga 200 ribu pasien (24 Agustus 2023). Angka ini dipastikan akan terus meningkat akibat dari wabah polusi udara. Polusi udara menyebabkan penyakit pernafasan yang cukup serius, dan bisa mengakibatkan stroke hingga kematian. Partikel karbon hitam yang berukuran kecil atau partikulat PM 2.5 dan gas lainnya tidak hanya merusak paru-paru, tetapi juga dapat menghambat kinerja pembuluh darah dan jantung.
Selain kesehatan, sejatinya karhutla juga menyebabkan kerugian ekonomi Negara. Saat polusi udara semakin meningkat, dapat menyebabkan gangguan kenyamanan masyarakat dalam berkegiatan. Seperti saat ini, Jakarta dan sekitarnya diberlakukan WFH akibat polusi udara. Secara tidak langsung perputaran ekonomi masyarakat akan terkendala, akibat tidak adanya masyarakat yang bekerja di lingkungan luar. Kemudian diwilayah lahan gambut, masyarakat yang bekerja bergantung hasil perkebunan akan terganggu, sebab tanaman ikut terbakar. Penurunan produktivitas akibat terganggunya aktivitas dan mata pencaharian adalah dampak ekonomi yang cukup nyata dari polusi udara.
Selain itu, pemerintah pasti akan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk menangani karhutla. Mulai dari pemadaman, pengusutan kasus, bantuan untuk masyarakat, dan restorasi lahan. Belum lagi jika wabah kabut asap terjadi, ada tambahan biaya untuk proses penanganannya. Menteri Kesehatan RI juga menambahkan, bahwa pasien ISPA yang meningkat juga menyebabkan kenaikan klaim BPJS Kesehatan yang cukup besar, yakni 10 triliun. Dipastikan polusi udara di Indonesia yang terjadi sekarang ini sangat mempengaruhi ekonomi Negara.
Penutup
Karhutla yang terus menerus terjadi di Indonesia dan diperparah dengan fenomena El Nino, dikhawatirkan wabah kabut asap yang akan kembali terjadi pada tahun ini. Tetapi temuan lokasi, karhutla kebanyakan terjadi akibat pembukaan lahan. Dimana keserakahan terhadap eksploitasi lahan gambut menjadi lahan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit masih terus berlangsung, ditambah hilirisasi industri dan proses perizinan yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Sudah saatnya masyarakat, pelaku industri, dan pemerintah memberi perhatian yang cukup serius terhadap polusi udara ini. Bekerja sama dalam mengurangi dan mencegah polusi udara, agar keberlangsungan alam Indonesia yang terus lestari.
Referensi
Kompas Lestari, 2023, Karhutla di Kalbar Meluas, Ini Upaya Mitigasi Kementrian LHK. Diakses pada [25 Agustus 2023] melalui: https://lestari.kompas.com/read/2023/08/24/200000986/karhutla-di-kalbar-meluas-ini-upaya-mitigasi-kementerian-lhk?page=all
Kompas Regional, 2023, Sudah 50 Hektar Lahan Gambut di Indragiri Hulu Riau terbakar. Diakses pada [24 Agustus 2023] melalui: https://regional.kompas.com/read/2023/08/13/111536678/sudah-50-hektar-lahan-gambut-di-indragiri-hulu-riau-terbakar?page=2
Page, S., Rieley, J., and Banks, C., 2011, Global and Regional Importance of the Tropical Peatland Carbon Pool, Global Change Biology, 17(2): 798-818.
Pantau Gambut, 2023. Diakses pada [25 Agustus 2023] melalui: https://pantaugambut.id/pelajari
PUSDALOPS BNPB, 2023, Laporan Harian PUSDALOPS BNPB 23 Agustus 2023. Diakses pada [24 Agustus 2023] melalui: https://pusdalops.bnpb.go.id/2023/08/24/laporan-harian-pusdalops-bnpb-rabu-23-agustus-2023/
Rachman, A., 2023, Menkes: Pasien ISPA Naik jadi 200.000 Orang Akibat Polusi. Diakses pada [26 Agustus 2023] melalui: https://www.cnbcindonesia.com/news/20230824113849-4-465754/menkes-pasien-ispa-naik-jadi-200000-orang-akibat-polusi
Ramadhi, A., Prakoso, A., Perdana, W.A., Amukti, R., Maulana, J., Aprillianno, Y., dan Abas, I., 2023, Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) pada Area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Tahun 2023, Pantau Gambut: 1-70.