Siringmakar 21: “Baby Blues, apa dan bagaimana penanganannya?”

Pemateri: Hilda Meriyandah (Dosen Institut Kesehatan Indonesia) Moderator: Wayan Dadang   Diskusi Apa itu Baby blues? Baby blues adalah sindrom […]

Pemateri: Hilda Meriyandah (Dosen Institut Kesehatan Indonesia)

Moderator: Wayan Dadang

 

Diskusi

Apa itu Baby blues?

centercitypediatrics.com

Baby blues adalah sindrom yang umumnya terjadi pada wanita pasca melahirkan. Biasanya terjadi di hari ke-4 atau 5 dan akan menghilang setelah 2 (dua) minggu. Munculnya pun sesekali, misalnya dalam sehari ada 2 atau 3 kali si ibu menangis tiba-tiba, merasa kelelahan yang sangat, atau bahkan hingga mengamuk. Kalau sudah lewat dari 2 minggu, dan frekuensi terjadinya lebih sering, maka dikenal dengan istilah PPD (Postpartum Depression), atau yang lebih parah disebut Psychosis.

Prevalensi terjadinya Baby blues?

Secara global, kejadian baby blues ini mencapai 80%. Artinya, hampir setiap ibu yang melahirkan mengalami ini. Jadi, dikategorikan sebagai sesuatu yang normal. Nah, yang perlu diperhatikan adalah frekuensi dan lama terjadinya.

Nah, tanda dan gejalanya bagaimana ya?

freepik.com

Berikut beberapa tanda dan gejala yang umum tampak:

  1. Menangis tanpa alasan yang jelas;
  2. Tidak sabar-an;
  3. Sensitif;
  4. Sulit beristirahat;
  5. Cemas atau jadi lebih khawatir;
  6. Kelelahan yang amat sangat;
  7. Insomnia (bahkan saat bayi sedang tidur);
  8. Perubahan mood yang sangat mendadak;
  9. Sulit berkonsentrasi.

Apa penyebab Baby blues ini?

Secara pasti, belum ada yang bisa menjelaskan hal ini. Akan tetapi beberapa riset menekankan bahwa terdapat berbagai penyebab, diantaranya:

  1. Perubahan hormon yang terjadi secara tiba-tiba (hormon hamil – melahirkan – menyusui);
  2. Kurangnya dukungan dari sekitar (suami-orangtua-tetangga).

Tidak perlu khawatir sebenarnya kalau merasakan hal-hal diatas (tanda dan gejala), yang perlu diwaspadai itu kalau setelah 2 minggu, ibu masih menunjukkan tanda-tanda yang akhirnya mengarah ke PPD. Nah, kalau PPD dan Psychosis sudah masuk kategori depresi, yaa. Dalam 5 tahun terakhir di Indonesia sendiri kejadian PPD meningkat lebih dari 7% (Sinaga, 2014).

parenting.firstcry.com

Jadi, PENTING untuk para ayah, jika istri tiba-tiba menangis atau meerasa failed (gagal) menjadi ibu karena belum bisa mengurus bayi, atau bayi menangis terus, harus ibu dibantu untuk dikuatkan, yaa. Beri pemahaman kalau perasaan-perasaan itu NORMAL!. Dan ibu -juga keluarga- akan melewati masa itu dengan mudah.

 

Kalau pada Ayah, ada Baby blues juga?

ADA!, dikenal dengan istilah Daddy blues (kalau lebih berat lagi, disebutnya Paternal Postnatal Depression atau PPND), tapi terjadinya lebih lambat dari yang dialami wanita. Umumnya terjadi 3-6 bulan pasca melahirkan.

blog.pregistry.com

Bagaimana Daddy blues ini bisa datang terlambat pada ayah?, menurut hasil riset terkini, yang menyebabkannya berbeda dengan yang terjadi pada ibu, antara lain:

  1. Kelelahan (pengaruh kurang tidur dan harus bekerja juga);
  2. Pengaruh tekanan finansial (merasa kurang mampu memenuhi kebutuhan ibu – anak);
  3. Nah ini yang paling berpengaruh: apakah si istri terkena depresi juga atau tidak.

Pencegahan dan penanggulangan Baby blues?

Berhubung Baby blues ini normal, dan penyebab utamanya karena hormon, jadi belum ada treatment khusus. Tetapi menurut Asosiasi Psikolog Amerika membuat beberapa cara yang bisa dilakukan:

natureplaywa.org.au
  1. Menjaga nutrisi seimbang;
  2. Menulis catatan perasaan pikiran;
  3. Mencari suasana lain, misalnya keluar rumah untuk cari udara segar;
  4. Jangan segan MINTA BANTUAN;
  5. Untuk di awal, tidak perlu berharap semua harus sempurna, jalani semampu ibu dan ayah.

Kalau sudah terlanjur Baby blues bagaimana?

  1. Yakinkan diri kalau ini semua akan berlalu;
  2. Saling mendukung;
  3. Minta bantuan dari profesional (kalau dirasa sudah semakin parah).
thegoodlife101.wordpress.com

Dari riset yang pernah saya lakukan sebelumnya, di Indonesia ini sekarang sudah mulai banyak keluarga nuclear (tinggal serumah dengan keluarga inti saja: ayah-ibu-anak). Jadi di masa ini, peran ayah menjadi sangat dominan. Kira-kira dukungan apa yang bisa Ayah lakukan?. Berikut hal-hal yang bisa Ayah lakukan untuk mendukung Ibu melalui masa baby blues:

  1. Dukungan emosional, seperti memberikan semangat, menguatkan, bilang “I love you”, atau memberikan pujian. Menghadiahi bunga juga boleh, hehe. Dengan itu ibu akan merasa dicintai dan tetap dihargai;
  2. Dukungan tangible, misalnya ayah membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, atau bantu menjaga bayi. Jadi ibu bisa ‘me time’ sesaat;
  3. Dukungan informasi, untuk para ayah yang sudah bergabung di grup ini sudah tahu nih kalau baby blues normal, tanda dan gejala nya apa. Jadi bisa diinformasikan kepada istri, bisa ditenangkan istrinya, atau mungkin ayah juga bisa update seputar info perkembangan bayi;
  4. Dukungan finansial, ya ini dukungan dalam bentuk menyediakan kebutuhan ibu dan bayi.

 

Sesi Tanya-Jawab (QnA)

  1. Halim: Q.1 Untuk dukungan dari suami, bagaimana jika suami tidak bisa mendampingi istri. Misalkan kerja di kota lain atau negara lain?. | A.1 Biasanya kalau ayah tidak di dekat ibu, insya Allah masih ada hal-hal yang tetap bisa dilakukan. Apalagi sekarang kan jaman sudah maju. Bisa tetap komunikasi via telpon atau video call, atau lainnya yang penting “Ibu tetap merasakan kehadiran Ayah”. Sekarang malah banyak juga yang suaminya dekat, tapi masih cuek untuk mendukung istri. Atau Suami bisa coba cari bantuan untuk istri, misal bantuan orangtua, kerabat atau PRT. || Q.2 Saya pernah baca ada ibu yang menyiksa bayinya. Apa yg dilakukan jika terjadi PPD pada saudara atau orang yang kita kenal?. |  A.2 Kalau sudah sampai menyiksa, ini kategorinya PPD atau psychosis, ya. Perlu bantuan dari profesional. Suami atau keluarga perlu berperan “ekstra” untuk memastikan anaknya aman. Bahkan di beberapa kasus, memang anaknya dijauhkan sesaat sampai si ibu benar-benar pulih. Untuk yang ada di Jakarta atau kota besar lain, sekarang di Puskesmas sudah ada layanan psikolog, insya Allah bisa lebih dibantu dan didampingi secara lebih optimal.
  2. Anonim:

    Sebelum melahirkan, hubunganku dengan mertua baik-baik saja. Sampai kemudian, sehari setelah melahirkan, aku mendapati banyak aturan dan larangan dari beliau. Sayangnya, kebanyakan aturan itu tak membuatku nyaman. Mungkin karena kondisiku belum sepenuhnya pulih, sehingga aku pun dengan mudah terbawa perasaan. Tangisanku pun pecah. Aku merasa segala aturan itu membuatku tertekan dan serba salah melakukan apapun.

    Karna tak bisa berontak atau sekadar membalas argumen, aku pun menjadi sedih berkepanjangan hingga berhari-hari. Aku harus melakukan sesuatu yang meski itu untuk kebaikanku, tapi tak membuatku nyaman, bahkan tertekan.

    Ditambah lagi, aku harus berada di rumah beliau sampai 40 hari kedepan. Suami hanya bisa menurut dan memintaku bersabar. Padahal, satu hari di rumah saja rasanya lama sekali. Tak ada yang bisa aku lakukan selain terus bersabar. Fyi, aku dan suami LDM, sehingga aku makin tidak betah tinggal lama-lama.

    Namun tak bisa dipungkiri, sesak itu datang setiap saat. Kembali aku menangis sesenggukan, bahkan hampir 2 hari sekali. Kesedihan itu kini berubah menjadi kesal. Ya, aku kesal dengan mertuaku. Sampai setiap gerak-geriknya pun aku menjadi sebal sendiri.

    Ibu mertua ku baik dan peduli. Saking peduli nya, bahkan soal aku makan dan mandi pun selalu diingatkan beliau. Anehnya, aku bahkan bertambah sebal. “Memang nya aku anak kecil, diatur setiap saat”, pikirku.

    Aku tahu, aku tak sepantasnya kesal pada mertua. Walau bagaimanapun, beliau orang tua suamiku dan banyak membantuku. Namun, karena aku tak diperbolehkan pulang sampai 40 hari, aku jadi sebal dengan beliau.

    Aku bahkan masih menangis sampai 3 minggu pasca melahirkan. Aku merasa stres dan tatapanku serasa kosong. Pertanyaannya (Q):Apakah ini termasuk baby blues?. Jika iya, jika aku terus begini, apakah bisa menyebabkan post partum?. Lantas bagaimana sikap yang harus aku ambil?. |
    A. Halo, Mba…

    Cerita yang Mba alami, juga cukup banyak dirasakan oleh orang lain. Terkadang, memang akhirnya tekanan yang membuat kita “kurang nyaman” atau bahkan sulit beradaptasi ya justru datang dari orang terdekat, orangtua atau mertua, kerabat, dll. Iya, itu dikategorikan sebagai sindrom baby blues, tapi insya Allah Mba bisa melewati ini. Apalagi kan baru melahirkan, dan hormon-hormon juga belum kembali seperti masa sebelum hamil. Apa yang bisa dilakukan?

    1. Beri waktu untuk diri sendiri;
    2. Coba bicara hati ke hati dengan mertua. Kalau dirasa agak sulit, bisa minta bantuan orang untuk menengahi, suami atau ipar, atau saudara lain.
    3. Kalau saran yang beliau berikan memang baik, coba diterima dan dilakukan. Tapi kalau justru aneh-aneh dan bersifat membahayakan, tidak perlu ya Mba. diajak bicara dan jelaskan dari sisi scientific-nya jika memungkinkan.
    4. Cari teman ngobrol!. Ini penting ya Mbaa.. kalau mau curhat, atau apapun, ke saya juga boleh 🙂

    Saya sendiri pun, masih sering debat seperti ini dengan mertua. Misal, memberikan anak kopi atau semacamnya. Saya jelaskan kalau justru membahayakan atau ada beberapa kasus yang menyebabkan kegawatan, hehe (contoh saja).

  3. Tubagus_USU: Q. Apakah efek baby blues bisa menular kepada ibu hamil (sebentar lagi mau melahirkan)?. | A. Hmm, sebenarnya kalau menular sih tidak, yaa, karena ini bukan penyakit menular, hehe (tidak ada mikroorganisme-nya). Tapi, biasanya kalau ada ibu yang sebentar lagi akan melahirkan, wajar sekali akan merasakan berbagai kekhawatiran, misal: takut menghadapi kelahiran, takut tidak bisa mengurus anak, takut sulit urus suami, dan lainnya. Jadi, yang perlu ditekankan kalau sudah dekat persalinan bayi adalah: Ibu pasti kuat dan bisa melewati semua fase dengan indah dan menyenangkan bersama ayah dan bayi. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Walau nantinya pasti akan mengalami perubahan hormon dan segala macam, insya Allah kalau mentalnya SIAP tidak akan kejadian segala ketakutan itu.
  4. Umi: Q. Bagaimana jika baby blues sudah menjadi PPD apakah ada penanganan lain selain periksa ke psikolog?. | A. Karena ini sudah kondisi yang lebih “membahayakan”, biasanya perlu pendampingan dari profesional. Nantinya, profesional atau psikolog ini yang akan mengarahkan. Tapi biasanya treatment  yang akan diberikan pun perlu bantuan dari keluarga.
    a. Mencukupi nutrisi dan aktivitas fisik
    b. Pemberdayaan keluarga
    c. Istirahat dan relaksasi, serta, monitor dan evaluasi dari profesional.
  5. Anis: Q.1 Apa yang sebaiknya dilakukan suami ketika istri baru saja melahirkan agar tidak terjadi baby blues?. Lalu, bagaimana peran teman atau sebagai tetangga bagaimana?. | A.1 Bentuk-bentuk dukungan oleh suami sudah saya jabarkan diatas ya, Mba? hehe.. Intinya ada 4 hal bentuk dukungan yang bisa dilakukan (Emosi, informasi, tangible, dan finansial). Kalau sebagai teman atau tetangga?, bisa melakukan hal-hal, seperti: Tawari bantuan!, ini penting karena biasanya mereka kewalahan dengann masa transisi, jadi akan sangat berarti; Hindari bicara hal-hal yang menyakitkan hati. Misal, si ibu melahirkan caesar, tidak usah di-julidin yaa, “ih pasti ga bisa ngeden deh!” atau apapun yang menyakiti perasaan si ibu; Dengarkan apa yang diceritakan atau dikeluhkan 🙂 || Q.2 Apa yang menyebabkan baby blues berlanjut menjadi PPD?. | A.2 PPD dapat disebabkan karena baby blues-nya tidak tertangani dengan benar. Misal, si ibu tidak mendapat bantuan atau dukungan yang optimal selama 2 minggu pasca persalinan. Atau tekanan yang didapat justru lebih besar dari dukungan yang diperoleh.
  6. Linda Ayuningsih: Q. Saya dapat pengalaman dari orangtua murid saya yang mengalami baby blues akibat LDM dengan suaminya (seorang nahkoda), dan suaminya itu ditahan sebagai tawanan di Aceh. Sedangkan ibu ini jauh dari orang tua dan keluarganya. Pertanyaan saya adalah, bagaimana bisa mengontrol perubahan hormon yang katanya normal ini jika kita jauh dari mertua/ orangtua, atau bahkan dari suami kita sendiri, tidak ada yang bisa kita mintai pertolongan. Dan bagaimana juga keadaannya jika kita seorang wanita karir juga?. | A. Ini kondisinya berarti si Ibu mungkin bisa mendapatkan bantuan dari tetangga atau teman yang mungkin berada di dekatnya. Atau jika memungkinkan si suami atau orangtua sesekali menelepon, menanyakan kabar, dan memberikan semangat. Jika memang diperlukan, bisa hubungi puskesmas atau psikolog terdekat Mba untuk ada teman berbagi 🙂 . Apalagi kalau wanita karir, biasanya akhirnya perlu bantuan orang lain untuk mengurus anak saat bekerja kan?, mungkin bantuan PRT atau baby sitter menjadi sangat diperlukan untuk ini. Setidaknya, mengurangi pekerjaan rumah, jadi ibu tidak terlalu kelelahan.
  7. Ahmad: Q. Kak, mau tanya mengenai cara penanggulangan yang nomor 6 bagian b, tentang menulis catatan perasaan pikiran. Setelah ditulis apa yang selanjutnya kita lakukan?. | A. Oh iya, biasanya dengan menulis ada rasa “lebih tenang”. Selain itu, dengan menulis setiap perubahan emosi kita bisa terlihat, apakah ada perbaikan dari hari kemarin?, atau mungkin jadi lebih buruk kondisi emosi kita?. Nah, hal ini juga akhirnya bisa menjadi catatan penting bagi suami atau bahkan psikolog yang mendampingi ibu.
  8. Anonim: Q. Kalau misal, saya menemukan kasus adik tingkat saya yang menikah di usia yang sangat muda dan sejak hamil sampai melahirkan selalu ada rasa takut, dan ingin selalu ada ibu nya disampingnya. Saat melahirkan dan menyusui pun sering sekali menangis bahkan berontak sampai tidak ingin melihat anaknya. Apakah ini yang karena pengaruh usia yang belum matang dan siap menerima tanggungan sebagai seorang ibu, dan juga bisa disebut sebagai gejala baby blues?. Ibu beliau yang terkadang selalu mengurusi anaknya sampai beberapa waktu memisahkan beliau dengan anaknya yang masih bayi. | A. Iyaa, ini gejala baby blues. Oh iya, maaf tadi di awal saya lupa menyebutkan ada beberapa faktor risiko terjadinya baby blues ini. diantaranya adalah:
    1. Usia (mental) yang belum matang;
    2. Riwayat depresi;
    3. Bimbang dengan kehamilan;
    4. Dukungan sosial yang minim;
    5. Konflik pernikahan.

    Nah, di kasus ini, penyebabnya bisa jadi karena usia yang belum cukup matang. Jadi, secara psikologis-nya pun belum siap untuk memiliki bayi.

     

  9. Halim: Q.1 Untuk baby blue pada ayah. Masih tidak umum di masyarakat tentang ini dan dari pihak ayah juga tidak terlalu memperhatikan. Apa yang perlu dilakukan ayah atau ibu?. | A.1 Isu mental di Indonesia ini memang seperti fenomena gunung es, sebenarnya kasusnya banyak, tapi yang tampak hanya sedikit. Membahas isu mental di beberapa kalangan masih dianggap tabu. Makanya, sekarang dari Kemenkes sendiri pun cukup gencar kampanye tentang menjaga kesehatan mental. Dan, penting juga untuk kita mencari informasi dan coba untuk membagikannya ke orang lain. Setidaknya, mulai kenali dari diri sendiri. Setelah tahu infonya, bisa deteksi kan?, bisa kenal tanda dan gejala nya baik di diri sendiri atau orang lain. Intinya, BERDAYA.

    Salut untuk Ayah dan ibu yang sudah mau bergabung dan mendengar tentang sharing topik ini. ||

    Q.2 Saya lihat di Jepang setiap pekan, misalkan di hari minggu, banyak anak yang main dengan ayahnya. Tanpa ibunya. Apakah ada hasil penelitian tentang budaya ini?. | A.2 Haha, Mas Halim tahu pisan yaa program ini. Iyap!. Jadi, di Jepang karena beberapa tahun terakhir angka kelahiran menurun dan disebabkan karena perempuannya tidak mau melahirkan (karena suaminya tidak mendukung). Akhirnya, pemerintah membuat program namanya IKUMEN. (Fyi, ikemen itu artinya ganteng/tampan). Jadi, seperti ada penanaman stigma kalau laki-laki yang tampan, adalah laki-laki yang ambil peran dalam mengurus anak. (Iku: caring).

 

Penutup

Kesehatan itu holistik. Tidak hanya fisik, tetapi juga mental. Dan masa pasca persalinan adalah masa transisi bagi ibu dan ayah. Maka, dukungan dalam bentuk apapun adalah hal yang sangat penting untuk kita berikan pada mereka. Karena orangtua yang sehat akan membentuk anak-anak yang berkualitas ❤❤

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top