Bagaimana Cara Mengukur Usia Bumi?

Ditulis oleh Shafa Salsabila Kurniawan Pada 1956, Claire Cameron Patterson mempublikasikan hasil penelitiannya mengenai perkiraan usia bumi, yaitu: 4.55 ± […]

blank

Ditulis oleh Shafa Salsabila Kurniawan

Pada 1956, Claire Cameron Patterson mempublikasikan hasil penelitiannya mengenai perkiraan usia bumi, yaitu: 4.55 ± 0.7 miliar tahun—nominal yang cukup mendekati usia bumi yang disepakati hingga kini oleh para saintis. Namun, bagi manusia sendiri, 100 tahun sudah merupakan waktu yang sangat panjang untuk hidup. Lantas bagaimana saintis tersebut menghitung usia bumi?

Jawaban dari pertanyaan klise tersebut bermuara pada kilas balik ketika Henry Becquerel menemukan fenomena radioaktivitas pada 1896. Pada waktu itu, Becquerel melakukan eksperimen dengan menggunakan garam uranium yang terekspos sinar matahari diletakkan di atas plat fotografi dan dibungkus dengan kain hitam. Yang terjadi kemudian, Uranium memancarkan radiasi internal yang menyebabkan plat fotografi menghitam, yang kemudian dinamakan dengan fenomena radioaktivitas[1]. Becquerel bersama-sama dengan Marie dan Pierre Curie pun meneliti serta mengembangkan penelitian mereka yang memiliki titik tengah pada fenomena radioaktivitas dan dianugerahi hadiah Nobel di bidang Fisika atas hasil kerja mereka pada 1903—yang menjadikan Marie Curie sebagai wanita pertama yang memenangkan hadiah Nobel.

Seperti yang kita semua tahu, hadiah Nobel hanya dinominasikan kepada orang-orang yang kontribusinya dalam bidang-bidang yang tercakup telah terbukti secara nyata. Lalu, di mana letak revolusionernya hasil kolaborasi dari Becquerel dan sejoli Curie ini?

Sebelum ditemukannya fenomena radioaktivitas, semua orang percaya bahwa atom suatu unsur tidak dapat berubah menjadi atom dari unsur lain—seperti yang tersurat dalam teori atom Dalton. Namun bertahun-tahun setelah penemuan fenomena radioaktivitas dipublikasikan, anggapan yang telah mendarah daging dan menjadi dasar dari ilmu kimia tersebut patah seketika. Dengan patahnya pondasi dari suatu disiplin ilmu, maka perlu penyusunan ulang yang sedikit-banyak akan menyebabkan perubahan pada aspek-aspek dari disiplin ilmu tersebut. Dengan ditemukannya radioaktivitas serta penemuan Polonium dan Radium, pengembangan yang dilakukan pada bidang ini dapat dilakukan secara masif dalam waktu yang relatif singkat. Salah satu hasil dari pengembangan besar-besaran ini adalah penemuan senjata nuklir dalam bentuk bom atom, yang kemudian membentuk stereotipe yang populer di antara masyarakat awan bahwa nuklir tidak seharusnya digunakan karena berbahaya dan mematikan. Anggapan itu tidak sepenuhnya salah, mengingat seberapa parahnya kondisi pasca pemboman di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. Namun, pada sisi lain, penemuan fenomena radioaktivitas ini membuka jalan bagi pengembangan disiplin ilmu fisika nuklir serta pengembangannya di bidang medis, instrumentasi, serta berbagai bidang lain. Salah satu dari hasil pengembangannya yang manfaatnya telah dikenal luas adalah teknik pendataan radiometrik (radiometric dating).

Apa itu Pendataan Radiometrik?

Pendataan radiometrik adalah suatu teknik untuk mengetahui umur suatu material atau benda dengan menggunakan prinsip radioaktivitas[2]. Teknik ini umumnya digunakan untuk mengukur umur fosil atau batuan. Nah, sekarang pertanyaannya menjadi: bagaimana prinsip radioaktivitas dapat digunakan untuk menentukan umur suatu material?

Untuk mempermudah, mari kita ambil contoh dari cara penentuan umur fosil dengan teknik ini. Meski tidak disadari, semua makhluk hidup di muka bumi menyerap isotop radioaktif C-14 (radiokarbon). Radiokarbon terbentuk secara alami ketika radiasi kosmik yang berasal dari luar angkasa berinteraksi dengan nitrogen di atmosfer yang kemudian teroksidasi dan menghasilkan CO2 yang akan diserap oleh tumbuhan hijau. Asupan CO2 yang diserap tumbuhan akan terus terakumulasi selama tumbuhan tersebut hidup dan ketika tumbuhan tersebut mati, dimakan hewan atau manusia, maka isotop radiokarbon akan berpindah. Baru ketika makhluk hidup tersebut mati, pengakumulasian isotop radiokarbon berhenti dan jumlahnya akan berkurang secara konstan. Maka, dengan mengetahui jumlah atom radiokarbon awal dan akhir, kita dapat mengetahui berapa lama usia fosil[3]. Konsep ini analog dengan cara yang digunakan untuk mengukur usia bumi oleh Clair Cameron Patterson. Namun, yang digunakan oleh Patterson untuk mengukur usia bumi adalah sampel dari meteorit.

Mengapa Meteorit Digunakan?

Dalam sejarah, tercatat ada sederet ilmuwan yang mempublikasikan hasil perkiraan mengenai usia bumi dengan berbagai metode, namun hanya Clair Cameron Patterson-lah yang berhasil melakukan perhitungan dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi, mendekati usia bumi sebenarnya. Patterson menggunakan teknik radiometric dating, atau tepatnya, lead-lead dating. Sesuai namanya, teknik ini dilakukan dengan menganalisis kadar isotop timbal radioaktif. Sampel dengan kandungan isotop timbal radioaktif yang dianalisis Patterson diambil dari meteorit[4]. Mengapa begitu?

Bumi kita tersusun atas mineral dan batuan yang membentuk berbagai lapisan. Sebagian besar batuan mineral di bumi tersusun atas unsur-unsur tertentu dan tidak terkontaminasi oleh unsur lain, namun ada sebagian lain batuan yang mengandung isotop radioaktif[5]. Batuan jenis ini unsur-unsur penyusunnya akan berubah seiring dengan berjalannya waktu dan pada akhirnya akan menghasilkan suatu unsur stabil yang non-radioaktif. Maka dengan prinsip yang sama yang digunakan untuk menghitung usia fosil, dapat diketahui usia batuan tersebut.

Gampangnya, bila kita ingin memperkirakan usia bumi, kita bisa mengukur usia batuan tertua yang ada di bumi. Namun pada praktiknya, hal tersebut cukup sulit dilakukan karena siklus pembaruan yang terus menerus terjadi pada batuan, sehingga akan terbentuk lapisan-lapisan baru pada permukaan bumi yang menimbun lapisan-lapisan yang lebih tua, dan pada akhirnya, lapisan yang lebih tua tersebut akan mengalami reformasi lagi[5].

Solusi Patterson untuk mengatasi ini adalah dengan mengambil meteorit sebagai sampel. Ia berasumsi bahwa meteorit dan bumi seharusnya terbentuk pada waktu yang kurang lebih sama (karena meteorit merupakan benda angkasa yang jatuh ke bumi, dapat ditarik kesimpulan meteorit tidak mengalami dinamika seperti yang dialami batuan di bumi)[6]. Maka, diambillah sampel-sampel meteorit dari beberapa tempat, salah satunya adalah dari kawah Arizona, yaitu meteorit Canyon Diablo. Meteorit Canyon Diablo dipilih karena ukurannya yang cukup besar dan merupakan representatif dari meteorit langka karena mengandung mineral sulfida, alloy nikel-besi, dan mineral silikat[7].

Bagaimana Cara Mengukur Usia Bumi?

Setelah mendapatkan sampel, tentunya, proses berikutnya adalah persiapan sampel. Meski terlihat sepele, namun jika langkah ini tidak dilakukan dengan cukup teliti, akan berdampak cukup signifikan, seperti yang dialami Patterson di awal penelitiannya. Selama beberapa tahun penelitian, hasil perhitungan yang ia dapatkan fluktuatif dan setelah 6 tahun, barulah Patterson menyadari bahwa sampel yang ia gunakan tercemar timbal. Kemudian ia merombak ulang penelitiannya, mendirikan lab baru, dan mensterilkan semua peralatan dengan asam beserta sampel yang akan ia gunakan.

Setelah disterilkan, sampel-sampel meteorit yang didapat Patterson diukur kadar berbagai isotop timbalnya (Pb-206/Pb-204, Pb-207/Pb-204, dan Pb-208/Pb-204) dengan spektrometer massa, hingga didapat data seperti pada Tabel 1[4].

blank

Tabel 1. Kadar isotop timbal pada berbagai meteorit yang diuji oleh Clair C. Patterson[4]

Rasio timbal dari 3 meteorit pertama memiliki estimasi error 2%, sedangkan sisanya memiliki estimasi error 1%. Data kadar isotop tersebut kemudian dikalkulasi dengan persamaan berikut untuk mendapatkan perkiraan usia bumi:

blank

dimana R1 = Pb-206/Pb-204 dan R2 = Pb-207/Pb-204 dari meteorit yang berbeda a dan b, k = U-238/U-235 saat ini (137.8), λ1 = konstanta peluruhan U-235 (9.72 x 10-10 tahun-1), λ2 = konstanta peluruhan U-238 (1.537 x 10-10 tahun-1), dan T adalah usia material (komposisi)[4].

Dari data rasio Pb-206/Pb-204 dan Pb-207/Pb-204, dapat diplot grafik berupa garis lurus yang slope-nya memberikan nilai 4.55 x 109 tahun dengan margin error 1,5% yaitu sekitar 70 juta tahun, sehingga usia bumi dapat dituliskan sebagai: 4.55 ± 0.07 x 109 tahun—seperti yang kita kenal sekarang[4].

DAFTAR PUSTAKA

[1] Blaufox, M. 1996. Becquerel and the discovery of radioactivity: Early concepts. Seminars in Nuclear Medicine. DOI : 10.1016/S0001-2998(96)80019-5

[2] IUPAC. Compendium of Chemical Terminology, 2nd ed. (the “Gold Book”). Blackwell Scientific Publications, Oxford (1997). XML on-line corrected version: http://goldbook.iupac.org (2006-) created by M. Nic, J. Jirat, B. Kosata; updates compiled by A. Jenkins. ISBN 0-9678550-9-8. DOI : https://doi.org/10.1351/goldbook.

[3] Wood, Rachel. 2012. Explainer: what is radiocarbon dating and how does it work?. Diakses dari: https://theconversation.com/explainer-what-is-radiocarbon-dating-and-how-does-it-work-9690 pada tanggal 15 Mei 2019.

[4] Patterson, C. 1956. Age of meteorites and the Earth. Geochimica et Cosmochimica Acta, 10 (4): 230–237, Bibcode:1956GeCoA..10..230P. DOI : 10.1016/0016-7037(56)90036-9

[5] Peppe, Daniel J., Deino, Alan L. 2013. Dating Rocks and Fossils Using Geologic Methods.  Diakses dari: https://www.nature.com/scitable/knowledge/library/dating-rocks-and-fossils-using-geologic-methods-107924044 pada tanggal 10 Mei 2019.

[6] Morley, Caroline. 2012. Astrophysical Classics: Measuring the Age of the Earth.  Diakses dari: https://astrobites.org/2012/08/26/astrophysical-classics-measuring-the-age-of-the-earth/ pada tanggal 10 Mei 2019.

[7] The Meteoritical Society. 2019. Meteoritical Bulletin Database: Canyon Diablo. Diakses dari: https://www.lpi.usra.edu/meteor/metbull.php?code=5257 pada tanggal 15 Mei 2019.

1 komentar untuk “Bagaimana Cara Mengukur Usia Bumi?”

  1. jadi usia bumi masih ditetapkan diatas asumsi yaa, yakni penciptaan benda angkasa termasuk bumi terjadi dalam waktu yang sama. kenapa peneliti berasumsi gitu yaa? padahal bisa aja kan penciptaanya berangsur-angsur. kalo gitu apa bisa dibilang bahwa usia matahari dan bintang-bintang lainnya juga sama dengan usia bumi ya?

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Yuk Gabung di Komunitas Warung Sains Teknologi!

Ingin terus meningkatkan wawasan Anda terkait perkembangan dunia Sains dan Teknologi? Gabung dengan saluran WhatsApp Warung Sains Teknologi!

Yuk Gabung!

Di saluran tersebut, Anda akan mendapatkan update terkini Sains dan Teknologi, webinar bermanfaat terkait Sains dan Teknologi, dan berbagai informasi menarik lainnya.