Kebakaran rentan terjadi di lahan gambut. Deforestisasi dan degradasi hutan menyebabkan lahan gambut mengalami pengeringan. Pengeringan terjadi pada sistem drainase lahan. Sistem drainase mengering karena lahan dikeringkan untuk kegiatan pertanian atau panen gambut. Akibat pengeringan pada lahan gambut, 5% emisi karbondioksida (CO2) terlepas ke atmosfer dunia[1] dan penurunan tanah (subsidence) terjadi, serta lahan gambut pun semakin mudah tersulut api. Api mudah disulut karena salah satu sifat fisik tanah gambut ialah bersifat mengering tidak balik[2]. Artinya, lahan gambut yang sudah mengalami pengeringan tidak mampu menyerap air jika lahan tersebut kembali dibasahi. Karena sifat itulah, api mampu menyebar, bahkan merambat menuju lapisan bawah permukaan gambut hingga kedalaman tertentu sehingga pemadaman lahan gambut semakin sulit dikendalikan.
Gambar 1. Kebakaran lahan gambut
(Sumber: https://fajar.co.id/2018/08/23/bahaya-api-sudah-kepung-pemukiman/ )
Kebakaran lahan gambut terjadi pada temperatur rendah dan suhu panasnya memuncak pada 450-700⁰C sehingga pembakarannya tidak sempurna (kebakaran terjadi tanpa suplai oksigen yang cukup atau pada suhu rendah[3]). Kebakaran tersebut termasuk jenis pembakaran yang membara (smouldering combustion) sehingga kebakaran tidak menghasilkan nyala api[4] (flameless) dan menyebar pada temperatur rendah dan stabil. Untuk memadamkan api, terdapat tiga metode utama, yaitu pendinginan (cooling), penutupan (smouthering), dan terbakar habis (burn out). Salah satu contoh metode pendinginan adalah menggunakan air, sedangkan untuk metode penutupan ialah menggunakan busa.
Selama ini kita sering melihat bahwa kebakaran dipadamkan oleh air karena apa yang kita ketahui adalah air dapat memadamkan api, namun apakah air efektif untuk memadamkan kebakaran di lahan gambut? Jawabannya dapat kita temukan pada paper Mohamad Lutfi Ramadhan, Pither Palamba, Yulianto Sulistyo Nugroho, dan rekan lainnya dari Departemen Teknik Mesin, Universitas Indonesia yang meneliti pemadaman kebakaran lahan gambut menggunakan air[5] dan busa[6].
Kabut air (water mist) merupakan salah satu cara pemadaman api dengan air. Kemampuan kabut air dipengaruhi oleh tekanan, ukuran tetesan air, dan densitas air yang dikeluarkan.
Kebakaran gambut diuji dengan seperangkat alat percobaan apparatus (experimental apparatus). Seperangkat alat tersebut terdiri dari kontainer terisolasi berukuran 100x100x100 mm3 dan memiliki lubang berdiameter 6 mm untuk mempertahankan nyala api. Suhu pembakaran diukur pada jarak 15, 50, dan 85 mm dan kedalaman 25, 50, dan 75 mm. Gambut berasal dari Provinsi Sumatera Selatan dan Papua. Gambut akan dibakar, kemudian dibiarkan hingga gambut dapat terbakar tanpa pemantik api. Selanjutnya pembakaran dipadamkan oleh kabut air selama 15 menit. Kabut air berasal dari air yang melewati bejana tekan dan pengukur tekanan, kemudian air dikeluarkan dari pipa semprot. Penelitian bertujuan untuk mengetahui volume air untuk pemadaman pembakaran pada kabut air yang disemprot pada ketinggian 10 cm.
Gambar 2. Desain percobaan apparatus
(Sumber: Ramadhan dkk., 2017))
Pembakaran gambut diuji terlebih dahulu untuk mempersiapkan analisis penekanan kebakaran menggunakan kabut air. Analisis yang dilakukan meliputi waktu terbakar, suhu maksimal, dan ukuran partikel, dan massa gambut yang hilang setelah pembakaran.
Kebakaran gambut membutuhkan waktu yang panjang untuk dipadamkan dengan kabut air. 15 menit hanya cukup untuk menurunkan suhu gambut bara api yang membakar gambut pada kedalaman 0-50 mm. Berbeda dengan kondisi tanah pada kedalaman 75 mm yang memiliki temperatur yang lebih stabil karena kabut air lebih cepat menguap daripada kabut air yang mengenai tanah gambut yang lebih dangkal. Hal tersebut menyebabkan pengapian (proses dimulainya pembakaran[7]) terjadi berkali-kali pada berbagai sampel karena air tidak mampu mencapai tanah yang lebih dalam. Total air yang dibutuhkan untuk pemadaman bara api pada masing-masing sampel adalah sekitar 6 liter/kg gambut.
Meskipun kabut air mampu memadamkan kebakaran di lahan gambut, permasalahan sumber daya air dan oksigen belum teratasi secara tuntas. Wilayah yang terbakar dapat mengalami kekurangan air sehingga sulit untuk menentukan kapasitas air untuk memadamkan kebakaran. Gambut pun mengalami pengapian berulang kali pada kedalaman tertentu karena kandungan oksigen pada kedalaman tersebut cenderung stabil meskipun permukaan yang lebih atas telah dibasahi. Karena itulah, pemadaman kebakaran dengan busa diuji coba.
Hingga penelitian berlangsung, observasi dan penelitian yang berkaitan dengan pemadaman kebakaran di lahan gambut menggunakan busa masih sedikit. Karena busa cenderung lebih padat dibandingkan air, variabel yang digunakan pun berbeda.
Metode dan sebagian alat dari percobaan kabut air tetap digunakan pada percobaan busa. Kontainer tetap digunakan, namun kontainer diisi oleh sampel gambut yang berasal dari Provinsi Kalimantan Tengah. Setelah pembakaran menghasilkan bara api, sumbu api dimatikan, namun tidak seperti percobaan kabut air yang dibiarkan selama 30 menit untuk menghasilkan bara, waktu pada percobaan kabut diperpanjang hingga 60 menit agar bara api menyebar ke sisi kontainer. Suhu pembakaran tetap diukur pada jarak 15, 50, dan 85 mm dan kedalaman 25, 50, dan 75 mm. Pemadaman akan dilakukan dengan ketebalan busa yang beragam, yaitu 2.5, 5, 7.5, dan 10 cm. Busa yang digunakan berjenis busa kelas A.
Temperatur lapisan atas dan bawah busa pada tanah gambut berbeda. Lapisan busa berperan sebagai penghambat udara luar, sehingga lapisan busa menyebabkan udara panas pada gambut terperangkap. Akibatnya suhu lapisan bawah busa lebih tinggi.
Gambar 3. Foto kualitatif inframerah pada lapisan busa setebal 10 cm
(Sumber: Ratnasari dkk., 2018)
Perbedaan ketebalan busa menyebabkan perbedaan karakteristik pemadaman kebakaran di lahan gambut. Semakin tebal busa yang dihasilkan maka semakin cepat bara api dipadamkan. Selain itu semakin jauh jarak gambut dari titik api maka semakin lama waktu yang dibutuhkan bagi gambut pada jarak tersebut untuk terbakar habis sehingga waktu penurunan suhu gambut semakin lama. Kemudian lapisan busa yang tipis membuat pemadaman harus dilakukan berulang kali. Hal ini terjadi pada busa berketebalan 2.5 dan 5 cm. Setelah lapisan busa pertama terbentuk, suhu panas gambut menurun, namun api belum sepenuhnya padam (pengapian ulang), bahkan suhu panas meningkat pada lapisan busa 5 cm, sedangkan lapisan busa pertama perlahan-lahan menghilang. Akhirnya busa berketebalan 5 cm diaplikasikan kembali sebanyak 1 kali, sedangkan busa 2.5 cm diaplikasikan ulang sebanyak 2 kali agar bara api padam sepenuhnya.
Dibandingkan dengan massa gambut yang hilang tanpa pemakaian busa (74.05%), massa gambut paling sedikit hilang pada gambut berlapis busa setebal 2.5 cm, yaitu 31.4%, sedangkan massa gambut yang hilang terbanyak pada gambut dengan lapisan busa setebal 10 cm, yakni sekitar 60%.
Gambar 3. Massa yang hilang setelah pembakaran antara gambut tanpa busa hingga busa setebal 10 cm
(Sumber: Ratnasari dkk., 2018)
Rata-rata total busa yang diperlukan untuk memadamkan bara api di lahan gambut adalah 3.8 liter/kg gambut, total yang lebih sedikit daripada total kabut air. Rata-rata total air yang dibutuhkan untuk memadamkan api menggunakan metode busa adalah 3.4 liter/kg gambut. Busa dengan ketebalan 10 cm paling efektif dari segi waktu untuk diterapkan pada pemadaman api di lahan gambut. Pemadaman kebakaran di lahan gambut dengan busa lebih efektif daripada kabut air karena busa menjadi penghalang antara api dan udara, khususnya oksigen[7][8] sehingga sirkulasi oksigen terhambat, suhu panas menurun, kemudian api secara berangsur-angsur padam.
Sumber:
[1] University of Leicester, Department of Geography. (-). Drainage: A key concern for tropical peatland (Reseacrh Report). Leicester, Inggris: Page Sue. Diambil dari https://www2.le.ac.uk/departments/geography/research/projects/tropical-peatland/threats-to-tropical-peatlands
[2] Agus, F. dan Subiksa, I.G.M. (2008). Lahan gambut: Potensi untuk pertanian dan aspek lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Center (ICRAF). Diambil dari http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/book/BK0135-09.pdf
[3] Incomplete combustion process(es). (2019). GreenFacts Scientific Board. Diambil pada 26 Mei 2019 dari https://www.greenfacts.org/glossary/ghi/incomplete-combustion-processes.htm
[4] Flameless. (2019). Merriam-Webster. Diambil pada 26 Mei 2019 dari https://www.merriam-webster.com/dictionary/flameless
[5] Ramadhan, M.L., Palamba, P., Imran, F.A., Kosasih, E.A., dan Nugroho, Y.S. (2017). Experimental study of the effect of water spray on the spread of smoldering in Indonesian peat fires. Paper dipresentasikan di IAFSS 12th Symposium 2017, Lund, Swedia. doi: 10.1016/j.firesaf.2017.04.012
[6] Ratnasari, N.G., Dianti, A., Palamba, P., Ramadhan, M.L., Prayogo, G., Pamitran, A.S., dan Nugroho, Y.S. (2018). Laboratory scale experimental study of foam suppression on smouldering combustion of a tropical peat. Paper dipresentasikan di 3rd European Symposium on Fire Safety Science, Nancy, Perancis. doi: 10.1088/1742-6596/1107/5/052003
[7] Ignition. (2019). Cambridge Dictionary. Diambil pada 28 Mei 2019 dari https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/ignition
[8] Maturidi. (2015, 17 September). Jepang uji coba padamkan gambut dengan busa. Ekuatorial. Diambil pada 26 Mei 2019 dari https://www.ekuatorial.com/id/2015/09/jepang-uji-coba-padamkan-gambut-dengan-busa/#!/loc=-10.644412051422307,479.94049072265625,8