Mengetik tanpa menyentuh: Penggunaan Brain-to-Text-Transcription pada Brain Computer Interface sebagai Media Input Tulisan dengan Menggunakan Sinyal Otak

Sejak dahulu, manusia terus mengembangkan cara untuk menyimpan informasi yang mereka temukan. Seperti misalnya bangsa mesopotamia kuno di tahun 3500 […]

Sejak dahulu, manusia terus mengembangkan cara untuk menyimpan informasi yang mereka temukan. Seperti misalnya bangsa mesopotamia kuno di tahun 3500 SM menyimpan tulisan cuneiform mereka melalui ukiran pada tablet-tablet batu. Cara menulis yang memakan waktu cukup lama ini terus dipertahankan hingga ditemukannya tinta dan papyrus oleh bangsa mesir kuno di tahun 2600 SM. Seiring perkembangan zaman, manusia semakin membutuhkan metode menulis yang jauh lebih cepat dibanding menulis dengan menggunakan tinta dan kertas. Oleh sebab itu terciptalah berbagai penemuan seperti mesin cetak, mesin ketik, sampai ke penggunaan keyboard pada smartphone ataupun komputer yang kita kenal. Apabila diperhatikan, semua metode menulis itu memiliki kesamaan yaitu masih dibutuhkannya bagian tubuh berupa tangan untuk menuangkan informasi tersebut ke dalam suatu media. Hal ini tentu menyulitkan para penyandang disabilitas yang mengalami kelumpuhan di bagian tangan untuk menyampaikan isi pikirannya dalam bentuk tulisan. Hal inilah yang mendasari tim peneliti dari Stanford University dan Institusi lainnya untuk mengembangkan metode brain-to-text transcription, sebuah metode yang memungkinkan pengguna untuk membayangkan tulisan dan tulisan tersebut akan tampil dengan sendirinya pada layar.

Jadi bagaimana metode Brain-toText-Transcription ini bekerja? Sebagai permulaan, dipasang array mikroelektroda pada bagian girus presentral dari partisipan. Kemudian, paritisipan diminta untuk memikirkan tulisan huruf satu per satu dalam pikiran mereka. Sinyal otak dari pikiran tersebut kemudian direkam dan diterjemahkan ke dalam berbagai bentukan garis seperti pada bagian D di gambar berikut:

Bentuk garis tersebut diproyeksikan kembali pada latent space 2 dimensi yang dapat mempermudah komputer dalam mengelompokan huruf-huruf yang sama ke dalam suatu area. Dengan demikian, komputer dapat menemukan hubungan dari aktivitas otak pada gambar bagian C ke huruf yang sesungguhnya pada bagian E. Melalui cara ini, dapat diperoleh akurasi karakter huruf yang tinggi yaitu sebesar 94%. Untuk membentuk sebuah kalimat, dikembangkan metode untuk melatih Recurrent Neural Network untuk mengubah aktivitas saraf tersebut menjadi probabilitas yang menggambarkan kemungkinan setiap karakter ditulis pada setiap saat dalam waktu. Secara sederhana, hal ini mirip seperti fitur “autocorrect” yang biasa ditemukan pada smartphone. Dengan proses pelatihan selama 5 hari, akurasi dari Brain-to-Text-Transcription meningkat secara drastis yaitu hanya terdapat persentase kesalahan sebesar 0.17% pada keseluruhan kalimat.

Selain ketepatan, diperlukan juga kecepatan agar Brain-to-Text-Transcription dapat digunakan oleh penyandang disabilitas agar dapat berkomunikasi dengan baik. Metode yang sudah ada saat ini yaitu dengan menggunakan sinyal otak untuk menggerakan kursor dapat mencapai kecepatan penulisan 40 karakter per menit. Namun, dengan metode baru yang ada pada artikel ini, kecepatan menulis itu dapat ditingkatkan menjadi 72 sampai 90 karakter per menit dengan akurasi yang sangat tinggi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Untuk mencapai kecepatan menulis ini, diperlukan tahapan lebih lanjut yaitu membuat neural network yang sudah ada mengubah lagi huruf-huruf yang ada pada gambar bagian D di atas ke dalam bentuk garis yang lebih mudah diproses oleh neural network tersebut. Proses ini penting karena rupanya huruf alphabet yang kita kenal terkadang dianggap sebagai huruf yang sama oleh neural network seperti huruf m dan n, huruf o dan c, serta beberapa huruf lainnya. Seperti inilah bentuk dari huruf yang diproses ulang oleh neural network:

Teknologi Brain-to-Text-Transcription yang diterapkan pada Brain Computer Interface ini masih memerlukan pengembangan lebih lanjut agar dapat digunakan oleh orang-orang yang tangannya menderita kelumpuhan. Hal ini dikarenakan Teknologi ini masih memiliki beberapa kekurangan. Diantaranya adalah belum bisanya digunakan huruf kapital, dan belum ditemukannya metode yang tepat untuk menghapus tulisan. Selain itu, dapat dicermati di paper aslinya bahwa hanya terdapat satu partisipan pada eksperimen ini. Hal ini disebabkan karena Brain Computer Interface memerlukan prosedur yang invasif, yaitu array elektroda dipasangkan langsung ke bagian girus presentral otak sehingga diperlukan pembedahan yang menimbulkan ketidaknyamanan pada partisipan. Proses pembedahan ini juga menjadikan besarnya biaya pemasangan Brain Computer Interface. Meskipun demikian, hal ini sudah menjadi langkah yang besar dalam pengembangan Brain Computer Interface. Pengembangan lebih lanjut seperti dibuatnya versi non-invasif dari alat ini dapat meningkatkan keterjangkauan penggunaannya sebagai sebagai alat bantu bagi penderita kelumpuhan tangan.

Seiring dengan dikembangkannya versi non-invasif dari Brain Computer Interface, besar kemungkinannya bahwa alat ini pada akhirnya dapat diintegrasikan pada teknologi yang digunakan oleh masyarakat umum. Kemudahan dalam mengetik yang ditawarkan oleh alat memiliki potensi yang besar untuk diimplementasikan sebagai metode mengetik pada berbagai perangkat. Dengan pesatnya perkembangan Teknologi Augmented Reality dan Virtual Reality, bukan hal yang mustahil bahwa di masa depan metode mengetik ini diintegrasikan ke dalam kedua sistem tersebut untuk menciptakan suatu alat yang mempermudah manusia dalam bertukar informasi satu sama lain.

Referensi:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top