Pada pelajaran Biologi SMA, banyak dari kita pasti sudah mengetahui bahwa salah satu teori yang paling populer dipakai untuk menjelaskan sejarah evolusi manusia adalah teori yang digagas oleh ahli biologi evolusi berkebangsaan Inggris, Charles Darwin, dalam bukunya The Descent of Man dan The Origin of Species. Meski dianggap kontroversial, namun teori-teori evolusi Darwin telah banyak dipakai untuk memahami proses mutasi gen yang terjadi dalam suatu populasi, aliran gen serta dampak dari seleksi alam.
Namun, pada artikel ini saya tidak akan membahas teori evolusi Darwin, melainkan teori endosimbion. Teori yang menurut saya jauh lebih kontroversial dan cukup banyak diperbincangkan oleh para ahli biologi evolusi masa kini, dibandingkan teori evolusi Darwin.
Pengertian dan Latar Belakang Teori Endosimbion
Teori endosimbion merupakan teori yang menyatakan bahwa sel eukariotik—sel hewan, tumbuhan dan manusia—dahulunya berasal dari sel prokariotik primitif (bakteri fotosintetik) yang ‘dimakan’ oleh sel prokariotik berukuran besar (dalam hal ini archaea). Endosimbion sendiri berasal dari kata ‘endosymbiosis’ yang merujuk pada hubungan simbiotik antara dua sel atau lebih yang mana salah satunya hidup di dalam sel pasangannya. Bakteri fotosintetik yang hidup di dalam tubuh archaea menjalin hubungan saling menguntungkan antara satu sama lain hingga akhirnya berkembang dan menjadi cikal bakal munculnya sel eukariotik. Kalau kalian bingung dengan konsep endosimbiosis, mungkin bisa dianalogikan seperti salah satu film layar lebar berjudul Venom, dimana si symbiote hidup di dalam tubuh karakter utamanya.
Singkatnya, teori ini menganggap bahwa manusia, hewan dan tumbuhan merupakan hasil evolusi dari bakteri primitif. Kira-kira bagaimana respon kalian setelah mengetahui hal ini? Agak sulit untuk percaya pastinya.
Teori endosimbion sebenarnya merupakan konsep yang sudah cukup lama dirumuskan, yakni pertama kali pada tahun 1883 oleh seorang ilmuwan Jerman bernama Andreas Schimper. Ia berhipotesis bahwa kloroplas sebenarnya merupakan sianobakteri yang hidup di dalam sel. Hipotesis Schimper ini kemudian diselidiki lebih lanjut oleh ahli botani Rusia Konstantin Mereschkowski yang juga mengemukakan bahwa kloroplas merupakan simbion yang hidup di dalam sel tumbuhan. Hanya saja penelitiannya ini mengalami stagnasi dan dilupakan selama hampir satu abad, hingga pada tahun 1967 barulah teori endosimbion dikenal dan diterima oleh khalayak ilmuwan berkat tulisan-tulisan yang diterbitkan oleh ahli biologi Amerika, Lynn Margulis.
Teori yang dikembangkan lebih lanjut oleh Lynn Margulis ini juga awalnya kurang mendapat perhatian dan seringkali dicemooh oleh kalangan ilmuwan. Namun lambat laun teori ini akhirnya diterima dan dipelajari lebih jauh oleh para ahli biologi untuk mencari tahu bagaimana mekanisme evolusi tersebut terjadi sehingga bisa menghasilkan makhluk hidup multiseluler seperti hewan, tumbuhan dan manusia.
Mekanisme Endosimbiosis dan Munculnya Makhluk Hidup di Bumi
Sejarah evolusioner sel eukariotik yang dijelaskan melalui teori endosimbion sebenarnya masih hangat diperdebatkan sampai saat ini. Dalam teori endosimbion, bakteri yang berperan sebagai host (inang) merupakan archaea, bakteri yang juga hidup di dalam saluran pencernaan kita dan berperan sebagai penghasil gas metan. Sedangkan bakteri yang ‘dimakan’ oleh si archaea tadi (atau yang berperan sebagai symbiote) adalah bakteri fotosintetik non-sulfur serta sianobakteri. Asal-usul organisme multiseluler yang hidup di muka bumi saat ini bermula dari proses makan-dan-dimakan antara archaea dan bakteri fotosintetik yang dapat dilihat pada gambar berikut:
Ada dua peristiwa utama yang terjadi dalam proses endosimbiosis:
- Terbentuknya mitokondria, cikal bakal sel hewan dan tumbuhan
Pada proses ini, archaea ‘memakan’ sel bakteri fotosintetik non-sulfur yang bersifat anaerob. Karena kondisi bumi pada masa itu masih bersifat anoksigenik (tidak ada oksigen), bakteri anaerob merupakan satu-satunya organisme yang dapat bertahan hidup di bumi. Bakteri fotosintetik non-sulfur ini dapat mengubah cahaya matahari untuk menghasilkan energi (ATP) yang kemudian dimanfaatkan oleh archaea. Ketika oksigen akhirnya muncul, bakteri fotosintetik ini juga dapat mengubah dirinya sebagai konsumer materi organik dan menggunakan energi dari sumber tersebut untuk hidup. Proses pemanfaatan materi organik serta kemampuan untuk menghasilkan energi yang dimiliki oleh bakteri fotosintetik inilah yang menjadi cikal bakal munculnya mitokondria (organel penghasil energi utama dalam sel hewan dan tumbuhan). Seiring dengan berjalannya waktu, archea dan bakteri fotosintetik non-sulfur terus melakukan pertukaran gen hingga akhirnya bakteri fotosintetik tidak dapat lagi hidup di luar tubuh archea dan menjadi satu kesatuan dengan sel inangnya.
- Terbentuknya kloroplas
Pada fenomena endosimbiosis kedua, archaea yang telah bergabung dengan bakteri fotosintetik non-sulfur (dapat juga disebut protomitokondrion) ‘memakan’ lagi jenis bakteri fotosintetik lain, yakni sianobakteri yang dapat menghasilkan oksigen. Sehingga pada fenomena ini terjadi proses simbiosis antara 3 organisme dalam satu sel, yakni: archaea, bakteri fotosintetik non-sulfur dan sianobakteri. Agar proses simbiosis antara ketiganya ini dapat bekerja, salah satu pihak harus melakukan ‘adaptasi’ agar dapat hidup rukun bersama-sama. Pada fenomena ini, bakteri fotosintetik yang sebelumnya tidak dapat menggunakan oksigen, kemudian berevolusi hingga akhirnya dapat memanfaatkan oksigen yang dihasilkan oleh sianobakteri. Sianobakteri sendiri juga melakukan perubahan, yakni dengan mengeliminasi gen-gen yang memungkinkannya untuk hidup di luar tubuh archaea. Sehingga sianobakteri dapat menjadi satu kesatuan dengan archaea dan bakteri fotosintetik non-sulfur. Proses transfer gen antara ketiga organisme ini selama miliaran tahun akhirnya menghasilkan jenis sel fotosintetik baru yang disebut sebagai kloroplas, dan menjadi cikal bakal evolusi berbagai jenis tumbuhan, mulai dari alga hingga pohon raksasa.
Setelah melalui kedua peristiwa tersebut, sel eukariotik yang hidup bebas dan menyendiri akhirnya muncul dan membentuk sebuah kelompok (konsorsium) dengan sel-sel eukariotik lain. Karena kondisi bumi yang masih minim sumber makanan, sel-sel eukariotik ini bergabung dan membentuk koloni multiseluler dengan bantuan dua jenis protein yakni kolagen dan integrin. Protein ini berperan sebagai ‘lem’ yang mengikat sel-sel eukariotik agar dapat tumbuh bersama-sama. Sel-sel eukariotik ini kemudian membelah dan berdiferensiasi menjadi berbagai macam jenis sel seperti sel saraf, sel kulit, sel pencernaan, dan lain-lain. Itulah kenapa proses analisis gen yang dilakukan oleh ahli forensik dapat menggunakan sel kulit, rambut, atau tulang karena semua jaringan tersebut memiliki genom yang sama. Selama 1.5 miliar tahun sel-sel eukariotik ini terus berevolusi hingga akhirnya membentuk organisme tingkat tinggi seperti manusia, hewan dan tumbuhan.
Alasan Diterimanya Teori Endosimbion
Setelah mengetahui seluk-beluk teori endosimbion, kalian pasti masih merasa sulit untuk memahami dan menerima mengapa teori ini dipakai sebagai basis untuk menjelaskan asal-usul makhluk hidup di bumi. Ketika saya mengetahui teori ini untuk pertama kalinya, saya juga beranggapan kalau teori ini terkesan konyol dan kurang masuk akal. Tetapi setelah mempelajarinya dan membaca cukup banyak referensi, saya mulai bisa memahami mengapa teori ini akhirnya diterima oleh kalangan ilmuwan.
Ada beberapa bukti yang mendukung konsep endosimbiosis hingga diterima menjadi sebuah teori, yakni:
- Hasil analisis sekuens RNA ribosom yang dilakukan oleh Woese dan Fox mengungkapkan bahwa kloroplas dan mitokondria merupakan evolusi dari bakteri. Ini disebabkan karena RNA ribosom kloroplas dan mitokondria sama dengan RNA ribosom bakteri.
- Kloroplas dan mitokondria memiliki DNA-nya sendiri. DNA kedua organel ini tidak sama dengan DNA sel nukleus hewan dan tumbuhan.
- Kloroplas dan mitokondria memiliki ribosomnya sendiri.
- Mitokondria dan kloroplas bereproduksi melalui proses pembelahan biner, seperti halnya bakteri.
- DNA mitokondria dan kloroplas juga berbentuk sirkular seperti halnya bakteri. Sementara DNA sel nukleus berbentuk linear.
Meski telah menjadi sebuah teori, konsep endosimbiosis ini masih tetap kontroversial di kalangan para ilmuwan. Pasalnya, pembuktian secara in-vitro maupun in-vivo masih belum banyak dilakukan, sehingga beberapa ilmuwan cukup skeptis tentang kebenaran teori ini. Karena masih sedikitnya hasil penelitian mengenai topik ini, mungkin bisa dijadikan inspirasi bagi kalian yang tertarik dalam bidang biologi evolusioner.
Referensi:
- Falkowski, P.G. 2015. Life’s Engines: How Microbes Made the Earth Habitable. New Jersey: Princeton University Press.
Educator/Teacher | Writer | Researcher.